Sukses

Ketidakberesan Birokrasi di Kemenag Versi Mahfud MD

KPK tengah menelusuri keterlibatan pejabat lain di Kementerian Agama dalam kasus suap jual beli jabatan yang menjerat Romahurmuziy.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mengembangkan kasus suap jual beli jabatan yang menjerat mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy. KPK tengah menelusuri keterlibatan pejabat lain di Kementerian Agama (Kemenag).

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud Md membeberkan ketidakberesan birokrasi yang ada di Kemenag. Berikut ulasannya, seperti dilansir merdeka.com, Kamis (21/3/2019):

1. Birokrasi Kemenag Tidak Beres

Mahfud MD menilai birokrasi Kemenag sudah tidak benar sehingga harus segera diselesaikan. Menurutnya, jika terus dibiarkan negara akan hancur.

"Dari sudut hukum, administrasi ini birokrasi Kemenag ini sudah enggak beres. Ada ketidakberesan yang harus diselesaikan. Kalau dibiarkan kayak gini terus hancur negara. Agama yang menjadi simbol moralitas kita yang paling depan di dalam keseluruhan institusi pemerintah rusak, apalagi yang lain. Oleh karena itu penataan harus betul-betul dilakukan," ungkap Mahfud.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 5 halaman

2. Diminta Uang Rp 5 Miliar Jika Ingin Jadi Rektor

Mahfud MD secara terang-terangan mengungkap kasus jual beli jabatan di Kemenag. Salah satun korbannya ialah Andi Faisal Bakti saat ingin menjadi rektor.

Mahfud mengungkap Andi Faisal dua kali menang pemilihan sebagai rektor. Pertama di UIN Alauddin Makassar, dan kedua di UIN Syarif Hidatullah Jakarta. Namun Andi Faisal tidak pernah dilantik dari dua kali kemenangannya itu. Rupanya aturan baru yang membuat Andi Faisal tidak dilantik sebagai rektor UIN Alauddin Makassar.

Aturan baru dibuat Kemenag itu menyebutkan jika yang boleh menjadi rektor ialah mereka yang sudah tinggal di UIN 6 bulan. "Andi Faisal Bakti ini dosen UIN Makassar, tetapi dia pindah ke Jakarta. Karena sesudah pulang dari Kanada, dia pindah tugas di Jakarta. Dia terpilih di sini. Dan aturannya bahwa harus 6 bulan itu, dibuat sesudah dia menang. Dibuat tengah malam lagi. Dibuat tengah malam. Tidak dilantik," beber Mahfud.

Andi Faisal dua kali terpilih sebagai rektor UIN Syarif Hidatullah Jakarta. Namun tetap tidak dilantik. Malah yang mengejutkan, Andi sempat diminta Rp 5 miliar supaya diangkat menjadi rektor UIN Alauddin Makassar.

3 dari 5 halaman

3. Banyak Rektor Ingin Bersaksi

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan sebenarnya banyak rektor-rektor yang ingin bersaksi soal kasus jual beli jabatan. Hanya saja para rektor masih enggan melaporkan. Padahal mereka bersedia menunjukan segala bukti yang ada.

"Buktinya (ada), termasuk dokumennya, siap nunjukkan bukti kalau dia (Rommy) bicara di sini tanggal sekian, jam sekian. Cuma orang kan takut. Saya bilang lapor ke saya biar saya yang sampaikan ke KPK," kata Mahfud MD.

4 dari 5 halaman

4. Mahfud MD Tahu Kasus Romi Sebelum Ditangkap

Mahfud MD mengaku sudah tahu sejak lama nama Romahurmuziy masuk dalam radar KPK. Hal ini diketahui dari nama Rommy dipanggil KPK dan disebut di pengadilan.

Mahfud membantah mendapat bocoran informasi dari KPK soal kasus Rommy. Ia tahu ada kasus Rommy dari KPK.

"Tidak benar saya diberitahu sama KPK. Saya tahu dari KPK. Tahu dari KPK dan diberitahu KPK itu beda. Tahu dari KPK itu artinya KPK sudah mengumumkan, nama Rommy itu sering dipanggil, menjadi pemberitaan disebut di pengadilan oleh jaksa bahwa ini ketemu Rommy," kata Mahfud.

5 dari 5 halaman

5. Mahfud MD Mengaku Tidak Ada Dendam

Mahfud MD meminta KPK membongkar kasus jual beli jabatan sampai tuntas. Permintaan itu bukan berarti dia dendam terhadap Romahurmuziy. Mantan ketua MK tersebut mengaku tidak dendam kepada Rommy. Permasalahannya dengan Rommy sudah selesai.

"Bongkar kasus ini sampai tuntas. Ngga ada dendam saya dengan Rommy. Sudah selesai Saya dengan Rommy. Sudah bertemu. Saya bilang kepada Asrul Sani ketika saya agak marah dengan Rommy itu, 'Mas Asrul ade saya itu Rommy kok sekarang lain, saya sekarang lebih mudah komunikasi dengan Anda dan Suharso Monoarfa," jelasnya.

 

Reporter: Desi Aditia Ningrum