Sukses

Penyebar Hoaks Bisa Dijerat UU Terorisme Jika Pelaku Terkait Jaringan Teroris

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, ada dua pendekatan yang dilakukan kepolisian dalam menangani perkara penyebaran hoaks.

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto yang akan menindak penyebar hoaks dengan UU Terorisme menjadi sorotan. Lalu apakah Polri akan menerapkan UU Terorisme untuk para penyebar hoaks?

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, ada dua pendekatan yang dilakukan kepolisian dalam menangani perkara penyebaran hoaks. Menurut dia, penyebar hoaks bisa saja dijerat dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme

"Pertama bahwa penyebar hoaks dapat dikenakan UU Nomor 5 Tahun 2018 karena sesuai Pasal 1 huruf 1 ada unsurnya adalah ancaman kekerasan atau menimbulkan suasana teror dan rasa takut secara meluas," ujar Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (21/3/2019).

Dedi menjelaskan, penyidik tentu lebih dulu akan menggali latar belakang pelaku dan mens rea atau niat pada perbuatannya tersebut. Jika pelaku terkait dalam jaringan teroris, maka polisi bisa menjeratnya menggunakan UU 5/2018.

"Mens rea atau unsur kesengajaannya untuk membuat rasa cemas, rasa takut, dan tentu intimidasi psikologis, itu bisa dikenakan Pasal 6 UU 5 Tahun 2018, apabila pelaku memiliki atau masuk dalam jaringan terorisme. Itu perlu pendalaman dan memeriksa saksi ahli untuk menguatkan konstruksi hukumnya," ucap dia.

"Kemudian bisa diterapkan juga Pasal 43A (UU 5/2018) upaya pencegahan untuk memitigasi berita narasi, foto, atau video yang sengaja diviralkan kelompok tertentu," sambungnya.

Polisi akan menggunakan perspektif penegakan hukum lain apabila dalam proses pembuktiannya pelaku tidak terbukti terkait dengan jaringan terorisme. Maka polisi akan menggunakan UU No 19 Tahun 2016 tentang ITE atau UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

"Apabila pelaku adalah masyarakat biasa dan unsur mens reanya boleh dikatakan dalam tanda kutip baru pertama kali menyebarkan berita, narasi, foto, video yang sifatnya hoaks, maka diterapkan UU ITE Pasal 27 Pasal 45," kata Dedi.

"Dan juga bisa diterapkan kalau buat gaduh, UU Nomor 1 Tahun 1946 Pasalnya 14, 15. Jadi proses penegakan hukumnya sangat tergantung dari hasil analisa dan secara komprehensif dilakukan oleh penyidik berdasarkan fakta hukum," ucap dia.

Mantan Wakapolda Kalimantan Tengah itu menegaskan, penerapan UU Terorisme bisa diterapkan kepada kasus penyebaran hoaks apabila pelaku terkait dalam jaringan teroris.

"Kalau bukan jaringan terorisme tidak dikenakan UU Terorisme. Secara spesifik seperti itu, tapi tergantung konstruksi dan fakta hukum. Penyidik Polri sudah 20 tahun menangani terorisme. Saya yakin penyidik profesional karena sudah berpengalaman panjang menangani terorisme," ujar Dedi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Wacana Menko Polhukam

Menko Polhukam Wiranto mengingatkan akan bahaya hoaks. Bahkan dia memandang sebagai sebuah teror, karena menakutkan masyarakat.

"Hoaks ini meneror masyarakat. Terorisme itu ada yang fisik ada yang nonfisik. Tapi kan teror. Karena menimbulkan ketakutan," ucap Wiranto di kantornya, Jakarta, Rabu (20/3/2019).

Dia lantas menarik lurus dengan terorisme. Di mana dia menilai dampak yang ditimbulkan mirip dengan terorisme, yaitu membuat masyarakat menjadi takut.

"Terorisme itu kan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS, itu sudah terorisme," ungkap Wiranto.

Karenanya, masih kata dia, pihaknya mewacanakan untuk menggunakan UU Terorisme untuk bisa melawan hoaks.

"Untuk itu maka kita gunakan Undang-undang Terorisme agar aparat keamanan waspada ini," tukasnya.

Wiranto meminta agar pihak keamanan segera menangkap bagi yang menyebar hoaks.

"Tangkap saja yang menyebarkan hoaks, yang menimbulkan ketakutan di masyarakat, karena itu meneror," pungkas Wiranto.