Liputan6.com, Jakarta - EH bersyukur bisa kembali ke Tanah Air dan berkumpul bersama keluarga meski memiliki pengalaman yang sangat pahit selama berada di negara orang. Perempuan asal Tangerang itu merupakan satu dari sekian banyak korban perdagangan orang atau human trafficking dengan modus pengiriman TKI ilegal.
Pengalaman tragis itu ia ceritakan saat penyidik polisi membongkar sindikat perdagangan orang di Gedung Bareskrim Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (9/4/2019).
Baca Juga
EH tak banyak berpikir saat ada agen yang datang ke rumahnya dan menawari pekerjaan di Arab Saudi dengan gaji Rp 5 juta per bulan ditambah bonus lainnya pada 2018 lalu. Dari lubuk hati, EH sebenarnya ingin bekerja di Indonesia, namun tuntutan kebutuhan ekonomi membuat dia menerima tawaran tersebut.
Advertisement
Saat itu, dia tidak memiliki cukup pengetahuan soal pemberlakuan moratorium penempatan TKI di sejumlah negara Timur Tengah. EH juga tidak menyadari dia akan menjadi korban perdagangan orang.
"Saya berangkat waktu bulan puasa. Dari berangkat ke Jakarta, terus ke Surabaya. Di sana ditampung selama dua minggu, lalu saya diberangkatkan ke Malaysia. Di sana saya bekerja tapi saya tidak digaji," ucap EH menceritakan awal penderitaannya.
Dari Malaysia, EH kemudian dikirim ke Dubai dan ditampung serta diperkirakan beberapa hari. Lagi-lagi, dia tidak memperoleh upah dari pekerjaannya itu. Dia kemudian dioper ke beberapa negara hingga ke Suriah.
"Dari sana (Dubai) saya dilempar lagi ke Turki. Di sana saya kerja selama dua minggu overtime tapi tidak digaji juga. Dilempar lagi ke Sudan. Dari Sudan saya dilempar lagi ke Suriah. Selama di Suriah saya kerja tiga bulan dan tidak dapat hasil sama sekali," katanya.
Meski bekerja tanpa upah bak seorang budak, EH tetap bertahan hingga tiga bulan di rumah majikannya. Dia tak cukup nyali melarikan diri di negara orang. Hingga akhirnya keberanian itu muncul saat teman senasibnya dari Lombok, NTB mengajaknya kabur menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Suriah.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Perlakuan Oknum Pejabat KBRI Suriah
Alih-alih mendapat perlindungan dari saudara sebangsanya, EH justru mendapat perlakuan tak baik dari oknum pejabat KBRI Suriah.
"Di sana saya mendapat perlakuan tidak enak dari orang Kedutaan. Di sana saya baik-baik minta pertolongan. Tapi apa jawabannya di sana? Malah mencaci maki saya. Menghina saya dan memulangkan saya ke agen," ucap EH dengan suara bergetar.
EH lantas menirukan percakapannya dengan oknum pejabat KBRI Suriah berinisial KH. Meski mendapat respons kurang baik, EH tetap mengadukan nasibnya yang tidak pernah digaji selama tiga bulan bekerja sebagai asisten rumah tangga di Suriah.
"Tidak digaji tapi tubuh kamu kan sehat, tidak kena pukul, tidak kena apa," kata EH menirukan omongan oknum pejabat KBRI Suriah yang dimaksud.
EH berharap, KBRI Suriah bisa membantu membawanya pulang ke Tanah Air. Atau setidaknya memberikan bantuan agar dirinya mendapatkan pekerjaan yang layak di Suriah.
"Enak saja. Kamu ingin pulang? Kalau ingin pulang tidak usah akting gitu deh. Kalau ingin pulang bisa tidak kamu ganti uang 8.000 dolar. Tahu tidak 8.000 dolar itu berapa? Rp 100 juta lebih. Kalau kamu bisa ngadain uang segitu saat ini juga, detik ini juga, kamu bisa pulang ke Indonesia," ujar EH kembali menirukan.
Oknum pejabat KBRI Suriah itu, kata EH, mengaku tidak memiliki wewenang mengurus kepulangannya atau membantu mencarikan pekerjaan yang layak. Bahkan oknum tersebut menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo bosan mengurus WNI di Suriah.
EH dinilai sama seperti beberapa WNI yang telah dideportasi dari Suriah dan Irak karena disinyalisasi hendak bergabung dengan kelompok teroris ISIS.
"Jokowi saja sudah capek mengurusi orang-orang seperti kamu. Sudah dipulangkan, sudah tahu negara konflik, tetap saja datang lagi," katanya menirukan.
"Tapi kan Pak saya baru pertama, saya tidak tahu apa-apa, Pak," ucap EH membela.
"Halah itu mah alasan saja. Jokowi itu teh sudah lelah, sudah capek, ngurusin TKW-TKW yang tidak tahu diri. Sudah dipulangin masih saja datang. Alasan saja," ujarnya kembali menirukan.
Hingga akhirnya oknum tersebut memilih menghubungi agen yang mengirimkan EH ke Suriah. Padahal EH sudah memohon agar tidak dikembalikan ke agennya karena takut tidak mendapat solusi tapi justru perlakuan kasar.
"Saya bisa apa? Kamu kan dari negara kamu dijual. Sedikit pun kamu nerima uang, ya harus terima, resiko. Mau dipukul, mau hidup, mau mati. Intinya kamu itu dijual. Saya tidak bisa apa-apa," katanya menirukan oknum pejabat KBRI.
Â
Advertisement
Diperkosa
Setelah kembali ke agen, EH justru dikirim ke Irak untuk dipekerjakan sebagai ART. Peristiwa yang tak kalah tragis menimpanya selama berada di Irak. Dia disiksa dan diperkosa oleh majikannya hingga hamil. Tak sampai di situ, dia juga difitnah hingga masuk bui.
"Kalau bukan karena orang kedutaan, kalau bukan karena dia tidak mau menampung saya, saya tidak akan terjadi seperti ini. Saya kena hukuman mati, saya disiksa, saya diperkosa, saya hamil juga di dalam sel. Saya dituduh mencuri tapi tanpa ada bukti saya dijebloskan ke penjara dalam keadaan hamil tiga bulan," ucap EH.
Dia akhirnya ditolong oleh beberapa pegiat dari organisasi migrasi internasional dibantu KBRI Baghdad, Irak. Dia akhirnya bisa pulang ke Tanah Air dan bebas dari hukuman di Irak meski tetap menyisakan luka batin yang dalam.
"Ini cukup di saya saja. Jangan sampai ada yang lain lagi yang berangkat ke Timur Tengah. Terutama saya ingin ngomong, saya tidak sakit hati, tidak dendam, tapi masih berbekas. Kalau bukan orang kedutaan (KBRI Suriah) saya nggak bakal terjadi begini," ucap wanita yang mengaku setahun menjadi korban human trafficking di negara orang itu menandaskan.
Dalam kasus ini, polisi telah menangkap seorang tersangka bernama M Abdul Halim Herlangga alias Erlangga. Dia merupakan agen yang memberangkatkan ratusan TKI secara ilegal, termasuk EH. Polisi juga masih memburu pelaku lainnya dalam jaringan tersebut.
Akibat perbuatannya itu, tersangka dijerat dengan Pasal 4 UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dan Pasal 81 UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Mereka terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar.