Liputan6.com, Jakarta - Hari Kartini , 21 April besok mengingatkan pada perjuangan RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita. Alhasil, sekarang ini, banyak perempuan yang berani menyuarakan dan memperjuangkan keyakinannya.
Bahkan, Antara melansir, ada dua sosok perempuan yang disebutnya sebagai martir di bidang lingkungan. Salah satunya adalah Asnir Umar (72).Â
Asnir Umar adalah warga Selayo Tanang Bukit Sileh Kanagarian Satu, Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Sumbar) yang menjadi martir untuk tanah mereka di Gunung Talang yang hendak dijadikan lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Advertisement
Dari 18 wilayah di Kabupaten Solok, 17 di antaranya menolak pembangunan pembangkit listrik tersebut. Dan setiap kali pihak perusahaan hendak masuk ke Gunung Talang, Asnir kerap berada di depan menghadang dan memimpin zikir ribuan warga dari 17 wilayah dari pagi hingga malam.
Mereka khawatir akan kehilangan lahan bertani seluas 27 ribu hektare yang selama ini menjadi sumber pendapatan mereka.Â
Menurut Asnir dari lahan tersebut penduduk bisa menanam sayur-mayur dan menghasilkan Rp 25 juta dari panen ubi jalar dari luas lahan kurang dari setengah hektare.Â
"Bukannya tidak setuju pembangunan, tapi hidup kami sudah cukup, dari sini kami sudah berangkat naik haji. Jadi sudah cukup, kami tidak menginginkan lainnya," kata Asnir seperti dilansir Antara, Sabtu (20/4/2019).
Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Uslaini mengatakan mediasi pernah dilakukan pada 14 Maret 2018. Hadir Wakapolda Sumbar, perwakilan Kementerian ESDM, dua kelompok warga dengan berpendirian berbeda, DPRD yang juga menghadirkan dua ahli panas bumi dari Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung.
Para ahli, menurut Uslaini, memang menjelaskan hal-hal baik dari panas bumi yang seharusnya dimanfaatkan dengan baik. Namun, kemudian mereka menyebutkan tingkat keberhasilan penggarapan potensi panas bumi mencapai 40 persen, sehingga jika ada 10 lubang yang dibor untuk mencari lokasi pas pembangkit kemungkinan hanya empat saja yang akan terpakai.
Masyarakat di Selayo Tanang Bukit Sileh Kanagarian Satu, lanjutnya, sangat khawatir jika kejadian di Rimbo Panti terulang di tempatnya. Mereka mengebor potensi panas bumi hingga di kedalaman 700 meter, namun sampai di kedalaman 400 meter mata bor patah dan membuat air panas dalam perut bumi mengalir ke mana-mana termasuk menerjang pertanian mereka sehingga tanaman mati.
"Mediasi yang dilakukan sebenarnya ada hasilnya, DPRD meminta perusahaan melakukan sosialisasi sampai masyarakat paham dan tidak demo lagi. Tapi kehadiran pihak perusahaan untuk mengecek lapangan lagi membuat masyarakat kembali resah, ujar Uslaini.
Sosok Kartini lainnya juga bisa ditemui pada Mama Aleta Baun (53). Perempuan ini menjadi martir bagi lingkungannya sejak era 1990-an dengan membela hak tanah masyarakat adat Suku Molo di Nusa Tenggara Timur (NTT) dari perusahaan tambang marmer.
Kegiatan ekstraksi tersebut memicu penggundulan hutan (deforestasi) yang berdampak pada terjadinya tanah longsor dan meracuni sungai yang menjadi sumber pangan masyarakat.
"Kami menolak empat lokasi tambang di NTT. Penolakan bupati atas aksi penolakan tambang oleh masyarakat yang dipikirkan pasti menyejahterakan rakyat. Tapi bagaimana jika tidak punya tanah? Sekalipun ada yang punya supermarket tapi pasokan sayur, beras dan lain-lain mau dari mana?" tanya Mama Aleta.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Perjuangan Menutup Tambang Marmer di NTT
Proses perjuangan untuk menutup empat tambang marmer tersebut, menurut dia, berjalan panjang dari 1999 hingga akhirnya ditutup semuanya 2010. Mereka harus berhadapan dengan perusahaan dan negara yang memberikan izin tambang.
Butuh kebersamaan atau kelompok, butuh pengorganisasian untuk menjangkau masyarakat dan itu tidak mudah.Â
Dalam perjuangannya mereka harus melewati 8 bulan penjara, pukulan di muka pengadilan, pembacokan di tengah jalan, melayangkan gugatan ke bupati, mendapat kata-kata kurang baik sebagai perempuan mulai dari pelacur, diancam dipenjarakan, anak-anak tidak bisa bersekolah ke kota, berpisah dengan anak dan suami berbulan-bulan saat berjuang di lapangan.
"Karena pilihan itu antara hidup bersama keluarga dan masyarakat, dan saya memilih masyarakat dan berjuang melawan tambang. Pada akhirnya kita bisa tutup empat tambang, rakyat bisa kembali mendapatkan tanah adatnya seluas 16.000 hektare," lanjutnya.
Â
Advertisement