Liputan6.com, Jakarta MPR bekerjasama dengan Universitas Brawijaya menggelar Seminar Nasional yang mengusung tema Refleksi Konstitusi di Era 4.0 Dalam Upaya Penegakan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Korupsi di Ruang GBHN, Gedung Nusantara V, Kompleks MPR/DPR/DPD, Jakarta, Rabu (24/4).
Acara itu dihadiri oleh beberapa narasumber yaitu, Sesjen MPR RI Ma’ruf Cahyono, Anggota DPR RI Komisi V Taufiqulhadi, Hakim Agung Surya Jaya, Dosen Hukum Universitas Brawijaya Prija Djatmika, dan Laode M. Syarif selaku Wakil Ketua KPK. Dalam seminar ini, Ma'ruf mengatakan bahwa MPR serius dalam memberantas masalah korupsi.Â
Baca Juga
Selain itu, berkaitan dengan tindak pidana korupsi, Surya Jaya menyatakan sepakat bahwa subjek korporasi memang harus diperhitungkan, dalam rangka pembangunan sistem hukum dan politik hukum.
Advertisement
"Saya sepakat soal korporasi sebagai subjek yang harus diperhitungkan. Menempatkan korporasi sebagai subjek itu adalah konstitusional," katanya. Dia juga menjelaskan tiga pendapat ajaran tentang kesalahan korporasi. Pertama tidak perlu membuktikan tentang kesalahan korporasi. Kedua kesalahan korporasi disebut ada kesalahan orangnya.
"Ketiga kesalahan korporasi itu tersendiri. Tiga hal ini yang perlu dicamkan tentang tanggungjawab korporasi," jelasnya.
Terkait persoalan tindak pidana terhadap korporasi, Prija Djatmika menambahkan bahwa selama ini hukum belum banyak menindak korporasi sebagai subjek. "Dalam Pasal 35 KUHP yang ditindak itu pengurusnya bukan korporasinya. Jika RUU KUHP nanti diresmikan pengendali, pengelola, pengurus dan termasuk korporasi bisa diurus," katanya.Â
Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif menegaskan bahwa konstitusi tidak mudah untuk diubah. Dia meminta agar tidak menyamakan konstitusi dengan teknologi yang dinamis atau mudah berkembang seperti teknologi 4.0.
"By design hukum tertulis itu akan selalu tertinggal dengan perkembangan zaman. Sekarang yang dibicarakan itu tentang tanggung jawab korporasi, bukan hukum baru dan juga tidak ada hubungannya dengan 4.0," tegas Laode. Namun dia juga menyampaikan bahwa hukum itu tetap perlu menerawang masa depan. "Perlu sekali hukum itu sebagai kontrol sosial dan hukum juga social engineering."
Â
Â
Â
(*)