Liputan6.com, Jakarta - Pada 29 April 2015 silam, tepat tengah malam 9 terpidana dieksekusi mati di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Sebelum dieksekusi, keluarga pun berdatangan untuk mengucapkan salam terakhir pada Selasa 28 April 2015. Termasuk keluarga duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Bali Nine adalah sebutan yang diberikan media massa kepada sembilan orang Australia yang ditangkap pada 17 April 2005 di Bali dalam usaha menyelundupkan heroin seberat 8,2 kg dari Indonesia ke Australia.
Ibu Myuran Sukumaran, Raji dan adiknya Brintha histeris. Sementara, Febyanti Herewila -- perempuan yang baru dinikahi Andrew Chan Senin malam sebelum eksekusi terpukul. Suara jeritan terdengar dari dalam kantor pelabuhan di mana keluarga menunggu sebelum menyeberang.
Advertisement
Pertemuan terakhir itu berlangsung hingga Selasa sore tadi pukul 14.00 WIB. Setelah itu, Chan, Myuran Sukumaran, dan 7 terpidana lain akan menghabiskan jam-jam terakhir mereka di sel isolasi.
Seperti dikutip dari News.com.au, Selasa (28/4/2015), Sukumaran mengajukan permohonan terakhir: agar diizinkan melukis hingga saat-saat terakhir. Pada 10 hari terakhir, ia menggambarkan saat-saat terakhir hidupnya. Dalam lukisan yang muram dan mengerikan.
Sementara, Chan minta diizinkan beribadah di gereja penjara bersama keluarganya.
Sementara terpidana mati kasus narkoba asal Australia, Andrew Chan resmi menikahi kekasihnya Febyanti Herewila. Kabar bahagia itu disampaikan adik Andrew, Michael Chan, usai menjenguk sang kakak bersama keluarga di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Besi, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
"Tadi siang digelar pesta. Andrew dan kekasihnya Feby telah menikah di tempat dirinya akan dieksekusi," ujar Michael di Dermaga Wijaya Pura, Cilacap, Jawa Tengah, Senin 27 April 2015.
Prosesi pernikahan disaksikan oleh keluarga dan teman-teman Andrew dan Feby yang datang menjenguk di Lembaga Pemasyarakatan Besi. Keluarga sendiri baru menggelar perayaan serupa pada Selasa 28 April 2015.
Walau sulit, keluarga mengaku bahagia bisa menyaksikan hari spesial Andrew di hari-hari akhirnya.
"Kami cukup beruntung dapat berkumpul di hari berbahagia tersebut. Memang sulit, namun cukup membahagiakan. Andrew dan Feby cukup dewasa untuk menentukan apa yang akan mereka lakukan," ujar adik Andrew, Michael Chan.
Michael mengungkapkan perasaan keluarga tentu sangat sedih di hari-hari terakhir jelang eksekusi mati Andrew Chan. Ia terus berharap pemerintah Indonesia mengampuni Andrew dan membatalkan hukuman mati.
Â
Â
Bernyanyi Hingga Peluru Menerjang
Menurut Michael, permintaan pertama yang diajukan Andrew adalah diizinkan bernyanyi hingga akhir.
Karina de Vega, seorang pendeta yang menjadi saksi eksekusi mengatakan, para terpidana mati yang beragama Kristiani bahkan sempat menyanyikan lagu pujian, seperti 'Amazing Grace' dan 'Bless Lord, O My Soul'. Seperti dalam paduan suara.
"Mereka yang bukan pemeluk Kristiani, saya yakin, juga menyanyikan lagu mereka dari dalam hati," kata Vega.
Nyayian itu akhirnya terhenti, suara mereka tercekat, oleh peluru yang menembus tubuh, saat eksekusi dilakukan, setelah pukul 00.30 WIB.
Michael menyebutkan, permintaan terakhir Andrew Chan adalah mengenakan jersey klub favoritnya. "Ia berniat mengenakan jerset Penrith," kata dia. "Dan ia melakukannya."
Penrith Panthers adalah klub rugby profesional asal Australia yang bermarkas di Penrith, pinggiran Sydney.
Kaus tim tersebut dikirimkan untuk Chan langsung dari Penrith, oleh pemain klub tersebut, James Segeyaro pada awal tahun 2015 lalu.
Permintaan terakhir Andrew Chan adalah dieksekusi tanpa penutup mata. "Ia tak mengenakan penutup mata, ia ingin menatap mata mereka (para eksekutor)," kata Michael.
Permintaan yang sama juga diajukan oleh Sukumaran. Dia menolak matanya ditutup saat eksekusi. Ia memilih untuk menatap langsung wajah-wajah anggota regu tembak, saat mereka berbaris, dan mengakhiri hidupnya.
Informasi soal itu terungkap dari Ben Quilty, pelukis ternama Australia yang berteman dengan Sukumaran.
"Myuran berkata akan menatap mereka, bahwa tak akan ada yang bisa menutup matanya. Ia akan menghadapinya (eksekusi) dengan bermartabat," kata Quilty dalam siaran di 2GB Radio.
"Ia akan menghadapinya dengan kuat dan bermartabat. Aku tahu benar soal itu. Myuran ingin menunjukkan pada ibunya bahwa ia tidak cengeng."
"Ia ingin ibunya berpikir bahwa ia tabah, kuat, dan bermartabat. Menjadi putranya yang bisa dibanggakan."
Andrew, bahkan memeluk semua sipir pen jara sebelum dibawa ke lapangan, lokasi eksekusi. Beberapa penjaga dikabarkan meneteskan air mata.
Karina de Vega, seorang pendeta yang menjadi saksi eksekusi mengatakan, para terpidana tak mau mengenakan penutup mata ketika menghadapi regu tembak. Mereka ingin menatap langsung para eksekutor.
Semuanya berdoa, menurut keyakinan masing-masing. "Mereka semua memuji Tuhan-nya," kata Karina de Vega, seperti dikutip dari TVNZ.
Usai dieksekusi, jazad keduanya pun langsung diterbangkan ke Sydney, Australia untuk dimakamkan.
Advertisement
Surat Andrew Chan untuk Para Remaja
Sebelum meninggal dunia karena dieksekusi, Andrew Chan yang baru 29 tahun saat itu menulis surat yang seakan ditujukan untuk dirinya -- yang berusia 15 tahun, mengingatkan remaja itu bahwa ia sedang melakukan tindakan bodoh.
Chan mengaku, ia terlibat dengan narkoba dalam usia relatif muda. 15 tahun.
"Dear aku yang dulu, saat dewasa nanti, kau akan berada di penjara di Bali. Dan kau akan dieksekusi mati. Semua itu terjadi karena kamu berpikir bahwa mengonsumsi narkoba itu keren. Obat yang kau konsumsi membuatmu berpikir, 'oke untuk mengimpornya dan menghasilkan uang dari itu.' Keluarga dan teman-temanmu sangat sedih, hidupmu sendiri akan berakhir di depan regu tembak. Dari lubuk hati terdalam, kau bukan sosok yang buruk, namun narkoba membuatmu berbeda. Namaku, Andrew Chan."
Surat itu ditampilkan dalam sebuah film dokumenter untuk anak-anak SMA, Dear Me: The Dangers of Drugs.
Surat sepanjang 6 lembar itu juga ditujukan pada remaja Australia. Memperingatkan agar mereka menjauhi narkoba dan kejahatan.
"Aku tak tahu pilihan apa yang sedang kalian buat. Aku hanya ingin kalian ingat, "apakah pilihan itu bermanfaat?," kata Chan seperti Liputan6.com kutip dari News.com.au.
"Kalian semua masih muda dan sedang menghadapi pilihan penting dalam hidup. Apa yang kalian pilih saat ini menentukan seperti apa kalian di masa depan," tambah dia. Jika ingin jadi preman dan penjahat, aku akan bertemu dengan kalian di dalam sini (penjara)."
Namun, kata Chan, bagi mereka yang ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat dalam hidup, "Berhati-hatilah dan belajar dengan keras."
Dalam suratnya, Chan menyesali pilihan hidupnya yang salah -- yang membuatnya berakhir di balik jeruji besi di Lapas Kerobokan, Bali. Ia jadi penghuni penjara sejak 17 April 2005.
Chan divonis hukuman mati karena dinyatakan terbukti bersalah menjadi otak penyelundupan 8,3 kg heroin.
"Usiaku baru 29 tahun. Dan jujur, aku mungkin tak akan merayakan ulang tahunku yang ke-30. Berapa orang dari kalian yang berniat mengikuti jalanku? Aku harap apa yang kukatakan akan menembus pikiran dan hatimu. Dan sebagian besar dari kalian, kalaupun tidak semua, akan meraih sesuatu lebih daripada aku," kata Chan.
"Aku melewatkan banyak pernikahan, pemakaman, sesuatu yang sederhana seperti kehadiran keluarga di sisiku. Justru rasa sakit yang kusebabkan, tak hanya bagi diriku tapi juga untuk seluruh keluargaku. Sentuhan hangat, atau pelukan, bahkan tak mungkin bagiku yang terkutuk ini."
Chan menambahkan, ia tak punya apapun saat ini. Kecuali jeruji penjara untuk dipeluk. Ia tak punya kesempatan untuk melihat kelahiran anak pertamanya. Bahkan memiliki keturunan adalah hal mustahil.
"Hidupku adalah contoh sempurna dari kesia-siaan. Sampah. Kalian tak seharusnya mengalami hal yang sama."
Chan mendorong pemuda di Australia untuk mencari bantuan dari konseling sekolah, pusat kepemudaan, atau gereja. Agar tidak berakhir seperti dia.
Â