Sukses

Wafatnya Pramoedya dan Jejak Perlawanan Menjadi Manusia Merdeka

Idealisme dan keberanian Pram mengkritik kebijakan pemerintah melalui karyanya membuat Pram menghabiskan hampir separuh hidupnya di balik tahanan dan penjara.

Liputan6.com, Jakarta - Minggu, 30 April 2006 dunia sastra Indonesia berduka. Pramoedya Ananta Toer wafat sekitar pukul 08.55 WIB di rumahnya di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur. Sastrawan yang dua kali dinominasikan menerima Nobel ini meninggal karena komplikasi diabetes dan jantung.

Pram, kebanyakan orang memanggilnya, sempat dilarikan ke Rumah Sakit St. Carolus Jakarta dan dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) semalam. Dalam catatan Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com, Pram sadarkan diri dan meminta pulang. Keluarga kemudian membawanya ke rumah Pram di Utan Kayu. Kondisi Pram mulai memburuk sejak awal tahun.

Idealisme dan keberanian Pram mengkritik kebijakan pemerintah melalui karyanya membuat Pram menghabiskan hampir separuh hidupnya di balik tahanan dan penjara. Pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 2 Februari 1925 ini menekuni dunia sastra sejak di bangku sekolah dasar.

Di era Sukarno, misalnya, ia masuk bui karena bukunya Hoakiau di Indonesia yang mengkritik kebijakan bagi etnis Tionghoa. Pada 1965, Pram diasingkan di Pulau Buru karena kiprahnya sebagai redaktur harian terbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) bentukan Partai Komunis Indonesia.

Pada era Orde Baru, Pramoedya Ananta Toer kembali dijebloskan ke penjara selama 15 tahun karena tuduhan subversif. Hukuman penjara tanpa persidangan itu membuat Pram harus rela tidak bertemu dengan anak-anaknya yang sedang tumbuh kembang.

Hidup di balik jeruji tak membuat Pram kehilangan semangat. Ia terus menelurkan berbagai karya sastra. Di antaranya tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Sosok Pram juga penuh dengan kontroversi. Ketika mendapatkan Ramon Magsasay Award pada 1995, sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia, di antaranya Mochtar Lubis, Taufik Ismail dan H.B. Jassin menulis surat '"protes'" ke yayasan Ramon Magsasay. Mereka menuduh Pram sebagai "pembunuh" sastrawan yang berada di luar Lekra. Seorang sastrawan netral seperti Iwan Simatupang dalam surat-suratnya termasuk yang mengeluhkan sepak terjang orang-orang Lekra yang dipimpin Pram.

Di usia tuanya, Pram terus berkiprah. Karya terakhirnya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendles diterbitkan Oktober 2005. Dalam kondisi sakit Pram juga terus mengerjakan sebuah ensiklopedia yang menjadi ambisinya. Sampai akhir hayatnya

Pramoedya Ananta Toer dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Pejompongan, Jakarta Pusat. Selain tahlil dan tahmid, lamat-lamat terdengar juga bait-bait syair Internationale--lagu komunis internasional yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia--mengiringi jenazah Pram.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Membaca Pram, Membaca Indonesia

Saat zaman represi pada era Orde Baru, karya-karya Pram diberangus. Aktivitas Pram di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berhaluan kiri setidaknya memengaruhi pandangan orang tentang karya-karyanya yang dianggap berbau komunis.

Namun, Hasta Mitra berani menjadi penerbit progresif yang pertama kali menerbitkan karya-karya Pram pada zaman Soeharto. Meski, para pembaca kala itu perlu sembunyi-sembunyi untuk bisa menikmati perenungan Pram dalam karya-karyanya.

Zaman bergulir, pada era Reformasi karya Pram justru bukan hanya menjadi bacaan sastra, melainkan menjadi potret lengkap kehidupan sosial, politik, dan sejarah masyarakat Indonesia yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dipelajari banyak orang, termasuk Max Lane, kritikus sastra asal Australia.

Max Lane merupakan orang pertama yang memperkenalkan karya-karya Pram kepada dunia pada zaman Soeharto. Dirinya bahkan adalah orang yang menerjemahkan tetralogi Pulau Buru ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Inggris, Australia, dan Amerika.

Dari pergumulan bertahun-tahun melalui proses menerjemahkan dan interaksinya dengan banyak karya Pram, hingga diskusi langsung bersama Pram, Max menuliskan analisisnya yang dikumpulkan dan dituangkan ke dalam buku Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia yang diterbitkan Penerbit Djaman Baroe, Yogyakarta, dan diluncurkan Sabtu (12/8/2017), oleh Dewan Kesenian Jakarta di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki.

Buku tersebut berisi esai dan artikel yang berupaya memberi gambaran umum tentang karya-karya Pram, menganalisis berbagai ide Pram tentang sejarah Nusantara, asal-usul Indonesia sebagai bangsa, dan tentang hubungan antara kasta dan kelas.

Dalam bukunya, Max mengungkapkan setidaknya bangsa Indonesia perlu paham, ada pesan terselubung dari Pram untuk pembaca tentang apa yang harus disadari dalam menghadapi masa depan Indonesia.

 

3 dari 3 halaman

Mengenalkan Pram ke Milenial

Beberapa waktu lalu jagad maya sempat dibuat heboh dengan sosok Minke yang akan diperankan artis Iqbaal Ramadhan. Pro dan kontra pun bermunculan, hingga kekhawatiran apakah novel berlatar sejarah yang panjang itu dapat terakomodasi dengan baik ke dalam film dengan durasi sekitar dua jam.

Terlepas dari pro dan kontra serta kehebohan terkait film tersebut, mungkin banyak yang belum tahu siapa Pramoedya Ananta Toer, sosok di balik terciptanya novel Bumi Manusia. Pram, demikian ia dikenal, lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925.

Pram, dijuluki sebagai Bapak Realisme Sosialis, semasa hidupnya aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) telah menelurkan lebih dari 50 karya sastra, dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, serta menjadi bahan ajar fakultas sastra di luar negeri.

Ayahnya, Mastoer Imam Badjoeri, seorang guru yang tadinya bekerja untuk sekolah dasar pemerintah, HIS, di Rembang. Ayahnya lantas menjadi kepala sekolah milik pergerakan Boedi Oetomo di Blora. Sementara ibu Pram, Saidah, adalah anak seorang penghulu.

Gaji guru Boedi Oetomo sangat kecil, sehingga ibunya harus menambah penghasilan dengan bekerja di sawah atau pekarangan rumah. Pram anak sulung. Suasana di Blora tampaknya begitu menyedihkan, apalagi ayahnya begitu keras.

Sang ayah, seorang nasionalis yang keras hati, tampaknya begitu kecewa dengan keadaan pergerakan. Ia juga kesal karena Pram tak sepintar yang diharapkannya. Pram ternyata sempat tidak naik kelas tiga kali. Keadaan bertambah buruk saat ibunya meninggal karena penyakit TBC pada usia 34 tahun. Pram lantas pergi ke Jakarta.

Segala kegelisahan, kekagumannya pada sang ibu, dan kemarahannya pada sang ayah kemudian banyak diwujudkan dalam karya-karyanya. Ia tampak tak puas dan marah kepada hidup yang barangkali hanya memberinya kebahagiaan sejenak.

Beberapa karya awalnya: Kranji-Kranji Jatuh, Perburuan, dan Keluarga Gerilya dengan segera menunjukkan kegeramannya pada penguasa. Pram sepertinya mengenang kala tentara Belanda dengan sewenang-wenang pernah membakar buku koleksi ayahnya.

August Hans den Boef dan Kees Snoek dalam Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (2008) mengatakan, karya-karya Pramoedya telah menciptakan gambaran tidak terhapuskan tentang tanah air dan sejarahnya.

Inti dalam karya Pram adalah nasib rakyat. Rakyat dalam kehidupan sehari-hari, rakyat yang bertahan untuk mencari nafkah, serta rakyat yang dilukiskan dalam ambisi-ambisinya yang sering dikekang.

Dalam Perburuan, Pram jelas menyuarakan kebencian pada orang-orang Indonesia yang jadi kolaborator Jepang, sementara tokoh Amilah dalam Keluarga Gerilya tampaknya diambil Pram dari sang ibu.

Adapun tokoh Wahab didasarkan Pram pada Komandan Wahab, seorang pejuang kemerdekaan yang dijatuhi hukuman mati oleh Belanda.

Pram menggambarkan pengalamannya dipenjara di Bukit Duri dan Pulau Edam dalam sebuah roman tebal, Mereka jang Dilumpuhkan. Dalam roman ini begitu banyak kisah tentang manusia, begitu banyak kehidupan serta riwayat-riwayat kecil dan besar. Di dalamnya Pram menulis:

Untuk siapa saja yang boleh kusebut adikku

Mula-mula aku merasa—perasaan yang berjalan dengan tiada kesadaranku bahwa di dunia ini hanya akulah yang ada. Pastilah engkau tertawa karena kesombongan itu, tapi semua itu sudah berjalan dengan tak setahuku, semua itu sudah jadi sebagian dari sejarah.

Dan tembok yang tinggi dilapisi oleh pintu besi dan pintu kayu berangkap-rangkap itu, adikku, itulah yang membukakan mataku. Ya, kemudian aku tahu bahwa banyak manusia di dunia ini.

Karena itu, adikku, dengan sengaja tulisan ini kubuat untuk memperlihatkan padamu, dunia ini penuh oleh manusia—bermacam-macam manusia. Dan aku banyak berkenalan dengan manusia-manusia dalam tulisanku ini.

Manusia Bubu, Manusia Penjara

Djakarta, Maret 1950.