Liputan6.com, Jakarta - "Semua keinginanku sudah tercapai di sini."
Suara mesin ketik tidak lagi terdengar di rumah berkelir krem tingkat tiga, Jalan Warung Ulan Nomor 9, Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Hampir setiap dini hari pukul 02.00 WIB, salah satu ruang itu di lantai tiga Pramoedya Ananta Toer memulai harinya dengan mengetik.
"Siapa berani melarang, tidak ada yang bisa melarang Pak Pram untuk berhenti mengetik," kata Astuti Ananta Toer (63), 28 April 2019, di Bojong Gede.
Advertisement
Saya tidak sendiri dalam perbincangan itu. Ada beberapa orang turut serta dalam kegiatan bertajuk 'Anjangsana ke Rumah Pramoedya'. Rumah di Bojong Gede dipilih sebagai tujuan bertamu, karena di sini tersimpan arsip dan saksi sang maestro sastra menghabiskan hari-hari terakhirnya. Selain juga memperingati Haul ke-13 Pramoedya yang jatuh pada 30 April 2019. Turut pula Tatiana Ananta Toer atau Ian bersama putra atau cucu Pramoednya, Angga Okta Rahman.
Titi yang merupakan putri sulung Pram itu berkisah. Setiap suara mesin ketik yang mendahului kokok ayam, dia dan ibunya paling senang 'mengintip' sang ayah yang tengah bekerja. Ketika matahari terbit, Pram mulai turun menemani istrinya di dapur.
Di tempat terbuka yang langsung menghadap pemandangan lembah dan Gunung Salak itu, Pram menghabiskan waktunya dengan membaca koran.
"Korannya banyak sekali," tutur Titi.
Tidak sekadar membaca, Pram menandai setiap berita di dalam koran-koran tersebut untuk dijadikan kliping. Cukup rinci. Dia menandai satu per satu dan memberikan abjad untuk berita-berita yang ditandai.Â
"Nanti Pak Pram bakar sampah, Ibu (Maemunah) gunting berita yang sudah ditandai dan saya menggulung korannya," ujar Titi.
Kliping itu dibingkai Pram dalam satu bundel sesuai klasifikasi yang kemudian cikal bakal membuat ensiklopedi Indonesia. Hingga saat ini berkas tersebut terkumpul di perpustakaan dan ruang kerja Pram.
"Kira-kira sudah 17 meter," kata Titi.
Â
Kisah Awal Rumah Bojong Gede
Bojong Gede menjadi saksi hari-hari terakhir Pramoedya. Ada alasan unik mengapa Pram memilih untuk menetap dan bertempat tinggal di wilayah yang dekat dengan perlintasan kereta api ini.
"Pak Pram ingin bebas bakar sampah," ujar Titi.
Rumah seluas hampir dua hektare itu berada di turunan jalan, berada di atas dibandingkan rumah lainnya. Ada kolam renang yang kini sebagian berubah menjadi kolam ikan.
Di sebelah kiri bangunan utama terdapat lantai mozaik karya Pramoedya. "Orang Eropa suka gaya seperti ini," ujar Titi menirukan ucapan Pram.
Di sebelah garasi, ada gerbang untuk menuju kebun yang cukup luas. Beragam tanaman tumbuh di sana. Rindang. Suara air terdengar sayup di balik pepohonan yang tumbuh. Menatap ke depan, terhampar hijaunya kawasan tersebut juga pemandangan Gunung Salak.
Rumah tersebut mulai dibangun sejak 1999. Banyak orang terlibat dalam pengerjaan rumah tersebut. Termasuk peran para duta besar yang patungan membeli alat bertani, traktor. Maklum, selain bebas bakar sampah, salah satu cita-cita Pram pindah ke Bojong Gede adalah bertani dan bercocok tanam.
"Cita-cita Pak Pram juga ingin punya rumah yang tangganya ada stainles steel," seloroh Titi.
Soal sampah, ada cerita menarik di balik kebiasan nyentrik Pram. Dia akan membakar benda yang dianggapnya tidak produktif.Â
"Sepatu saya tidak gerak dua hari langsung dibakar Pak Pram. Dia anggap tidak produktif. Pernah juga ada tamu yang jaketnya tertinggal, dia akan hitung bila dalam dua hari tidak bergerak atau pindah akan dibakarnya," seloroh Titi.
Bagi Pram membangkar sampah adalah semacam memerdekakan diri. "Dia akan tunggu sampai sampah itu tidak berbekas dibakar," ujar Titi. "Selain juga berterima kasih kepada sampah di mana selama pelarian dari tentara Jepang dan bersembunyi di Velbak, dia makan dari sisa-sisa sayuran."Â
Pram mulai menempati rumah massa tuanya itu sejak 6 Februari 2000, atau bertepatan dengan ulang tahun ke-75 dirinya. Titi menceritakan hari-hari terakhir Pram di Bojong Gede. "Pram dulu punya namanya kantung kanguru. Dia ingin setiap hari kantung itu diisi uang, uang itu lalu dibagikan Pram ke siapa saja yang ia ingin beri," kata Titi.
"Pram ingin tidak ada lagi harta atas nama dia, dan memang selama ini Pram tidak kenal uang," kata Titi.
Meski dalam kondisi kesehatan yang mulai menurun sejak awal tahun 2006, Pram selalu menyempatkan berkeliling di Warung Ulan. Kepada entah siapa dia akan memberikan uang yang sudah disimpan anak-anaknya di kantung kanguru.
"Seminggu sebelum meninggal dia minta diantar ke Utan Kayu, 'tugas dan apa yang aku cita-citakan sudah terpenuhi di sini (Bojong Gede). Dan aku tidak akan kembali lagi ke sini'," kata Titi menirukan ucapan ayahnya itu.
Â
Advertisement
Pram Hembuskan Napas Terakhir
Ahad 30 April 2006 sekitar pukul 08.55 WIB di rumahnya di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur. Sastrawan yang dua kali dinominasikan menerima Nobel ini meninggal karena komplikasi diabetes dan jantung.
Kamis silam, Pram dilarikan ke Rumah Sakit St. Carolus Jakarta. Sempat dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) semalam. Pram sadarkan diri dan meminta pulang. Keluarga kemudian membawanya ke rumah Pram lainnya di Utan Kayu. Sabtu malam sastrawan yang dinobatkan majalah TIME sebagai orang yang berpengaruh ini dirawat di rumah hingga meninggal pagi harinya.
Kondisi Pram memburuk sejak awal tahun. Namun ia masih sempat merayakan ulang tahunnya yang ke-81 dengan menghadiri pameran kover bukunya yang dilarang terbit di Indonesia. Pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 2 Februari 1925 ini menekuni dunia sastra sejak di bangku sekolah dasar. Idealisme dan keberanian Pram mengkritik kebijakan pemerintah melalui karyanya membuat Pram menghabiskan hampir separuh hidupnya di balik tahanan dan penjara.
Di era Sukarno, misalnya, ia masuk bui karena bukunya Hoakiau di Indonesia yang mengkritik kebijakan bagi etnis Tionghoa. Pada 1965, Pram diasingkan di Pulau Buru karena kiprahnya sebagai redaktur harian terbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) bentukan Partai Komunis Indonesia. Pada era Orde Baru, Pram kembali dijebloskan ke penjara selama 15 tahun karena tuduhan subversif.
Hidup di balik jeruji tak membuat Pram kehilangan semangat. Ia terus menelurkan berbagai karya sastra. Di antaranya tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Sosok Pram juga penuh dengan kontroversi. Ketika mendapatkan Ramon Magsasay Award pada 1995, sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia di antaranya Mochtar Lubis, Taufik Ismail dan H.B. Yassin menulis surat '"protes'" ke yayasan Ramon Magsasay. Mereka menuduh Pram sebagai "pembunuh" sastrawan yang berada di luar Lekra. Seorang sastrawan netral seperti Iwan Simatupang dalam surat-suratnya termasuk yang mengeluhkan sepang terjang orang-orang Lekra yang dipimpin Pram.
Di usia tuanya Pram terus berkiprah. Karya terakhirnya Jalan Raya Pos, Jalan Daendles diterbitkan Oktober 2005. Dalam kondisi sakit Pram juga terus mengerjakan sebuah ensiklopedia yang menjadi ambisinya.
Pram dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Pejompongan, Jakarta Pusat. Selain tahlil dan tahmid lamat-lamat terdengar juga bait-bait syair Internationale--lagu Komunis Internasional yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia--mengiringi jenazah Pram.