Sukses

HEADLINE: Jelang Penetapan Pemenang Pilpres, Peta Koalisi Jokowi Vs Prabowo Berubah?

Pertemuan antara AHY dan Jokowi menimbulkan spekulasi, akankah Demokrat merapat?

Liputan6.com, Jakarta - Sore itu, secangkir teh hangat menjadi saksi pertemuan Joko Widodo atau Jokowi dan putra sulung Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Keduanya berbicara empat mata di ruang kerja presiden. Tak ada yang tahu apa persisnya yang mereka perbincangkan.

Pada Kamis 2 Mei 2019, Jokowi memang mengundang Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat itu ke Istana.

AHY mengaku membahas kondisi politik usai Pemilu 2019 dengan Jokowi. Dia juga menyampaikan salam hormat dari sang ayah, SBY untuk kepala negara.

Dan, tak lama kemudian, tiba-tiba "setan gundul" bikin geger Tanah Air.

Istilah itu dimunculkan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Demokrat, Andi Arief di tengah isu kerenggangan Koalisi Adil Makmur Prabowo-Sandiaga menyeruak. Dia menyebut "setan gundul" ini menganggu koalisi Gerindra, Berkarya, PKS, dan PAN.

"Dalam koalisi adil makmur ada Gerindra, Demokrat, PKS, PAN, Berkarya, dan rakyat. Dalam perjalanannya muncul elemen setan gundul yang tidak rasional, mendominasi dan cilakanya Pak Prabowo mensubordinasikan dirinya. Setan Gundul ini yang memasok kesesatan menang 62 persen," kata Andi dalam akun Twitternya, Senin 6 Mei 2019. 

Tak jelas, apa setan gundul yang dimaksud Andi Arief.

Sebelumnya, dua petinggi Partai Amanat Nasional (PAN) terang-terangan berbelok dari kebijakan partai dan menyatakan dukungan ke Jokowi.

Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan telah menyatakan dukungannya untuk capres petahana Jokowi dalam Pilpres 2019. Begitu juga kader PAN, Bima Arya yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Bogor.

Malah, pada rapat internal bersama Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, Bara mengaku tak mendapat teguran terkait sikap politiknya. Kendati ada petisi yang menuntut dia dipecat dari PAN.

Lalu, apakah ini sinyal Demokrat dan PAN akan merapat ke kubu Jokowi?

Partai Demokrat sendiri telah menyatakan bakal mengakhiri koalisinya dengan partai pengusung pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, jika Jokowi-Ma'ruf ditetapkan sebagai presiden terpilih oleh KPU.

Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean menegaskan, partainya memiliki kedaulatan untuk menentukan sikap politik setelah penetapan pasangan calon presiden terpilih. Bisa tetap berada di luar pemerintahan, atau berada dalam pemerintahan.

"Jadi Partai Demokrat setelah itu berdaulat dan nanti menentukan sikap politiknya, apakah berada di luar pemerintahan atau berada di dalam pemerintahan," jelasnya.

Namun, sikap itu akan dibahas majelis tinggi yang dipimpin Ketua Umum Demokrat SBY, terlebih dahulu.

Begitu juga dengan PAN. Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN Drajad Wibowo mengatakan, saat ini, partainya masih setia pada Koalisi Adil Makmur. Tapi, sikap tersebut bisa saja berubah.

"PAN tetap di koalisi adil makmur. Itu keputusan Rakernas 2018, dan hanya bisa diubah melalui Rakernas. Biasanya peserta Rakernas sangat mendengarkan nasihat Pak Amien (Rais)," ujar Drajad Wibowo kepada Liputan6.com, Jakarta, Selasa 7 Mei 2019.

Kepala Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani berpendapat, perubahan haluan koalisi merupakan hal yang wajar dalam sistem demokrasi di Tanah Air. Terlebih, Indonesia menganut sistem pemilu presidensial yang memang memungkinkan hal itu terjadi.

"Sistem pemilu presidensial koalisinya kan koalisi cair, beda dengan negara parlementer, karena koalisinya bisa membentuk pemerintahan jadi sudah pasti ketat disiplin koalisinya. Kalau presidensial seperti di Indonesia ya untuk pencalonan saja. Jadi kalau sudah terpilih, tentu saja yang menang akan bertahan dan yang kalah bisa mencari (pilihan lain)," ujar Sri Budi ketika dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (7/5/2019).

Bagai simbiosis mutualisme, perubahan haluan seperti itu perlu dilakukan. Ada faktor-faktor yang harus dipertimbangkan untuk mengubah sikap politik partai.

Misalkan, untuk menjaga eksistensi partai politik, memberi "pupuk" ke sosok baru, atau mencari dukungan di parlemen.

Pada kasus Demokrat, Sri Budi menjelaskan, partai ini butuh sarana untuk membesarkan AHY. Pada Pemilu 2019, AHY sendiri tidak mencalonkan diri sebagai calon legislatif, sehingga tidak mungkin "bermain" di area itu.

Bisa saja, Demokrat menjadi partai oposisi kritis. Namun selama ini, lanjut dia, Demokrat tidak merealisasikan sikapnya sebagai oposisi sekritis Gerindra atau PKS. 

"Dalam hal ini Demokrat membutuhkan figur AHY di level nasional untuk 2024. Jadi tentu saja ruang-ruang yang bisa kemudian di mana dia bisa bermain. Kalau di eksekutif jadi menteri, tentu saja ruangnya besar. Tapi itu kan dia harus berbalik arah koalisi," tutur Sri Budi.

Kemudian muncul pertanyaan, apakah ini akan disetujui oleh struktur partai hingga tingkat paling bawah?

Sri Budi memprediksi, ada kemungkinan Demokrat mengambil sikap seperti 2014. Ada di tengah. Tidak dekat, tapi tidak jauh dari Jokowi.

Berbeda dengan Demokrat yang memiliki alasan kuat untuk berbalik arah, PAN justru berada di posisi terjepit. Pada realitanya, suara PAN merosot. Tapi, Ketua Dewan Kehormatan PAN, Amien Rais tegas menyatakan akan tetap berada di koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Amien Rais memang kunci dari perubahan langkah PAN. Meski, Bara Hasibuan juga merupakan salah satu pendiri partai tersebut dan memiliki kontribusi yang tak bisa disepelekan.

"PAN tinggal menjaga seberapa Zulkifli Hasan bisa meredam Amien Rais. Karena kuncinya ada di Amien Rais. Bara Hasibuan kan termasuk pendiri PAN dan memiliki kontribusi yang tidak kecil, kalau dia dilindungi oleh Zulhas berarti kan ada perlawanan juga. Realitanya PAN kan turun dan realitanya elektabilitasnya pasti akan lebih susah ke depan," kata Sri Budi.

Sedangkan, PKS dan Gerindra memiliki posisi yang kuat serta mampu berdiri sendiri.

Berdasarkan hasil hitung sementara KPU pukul 17.15 WIB, Selasa 7 Mei 2019, PKS memperoleh 7,29 persen suara. PKS berada di posisi tujuh dari 14 parpol peserta Pemilu 2019. Gerindra sendiri sebagai pemimpin koalisi Prabowo-Sandiaga berada di posisi ketiga parpol dengan perolehan suara terbesar, yakni 11,78 persen suara.

Jokowi sendiri, kata dia, butuh dukungan di parlemen. Dengan merangkul kubu lawan, dia akan mendapat dukungan tambahan untuk merealisasikan program-programnya. Terutama yang berhubungan dengan dana. Terkait pemindahan ibu kota, misalnya.

2 dari 3 halaman

Kesimpulan Masih Terlalu Dini

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya menilai, terlalu dini untuk menyebut sebuah partai berbalik arah dan keluar dari koalisi. Terlebih, jika disimpulkan dari pertemuan Jokowi dan AHY.

"Enggak bisa. Kita tidak bisa menilai sebuah koalisi dengan sebuah pertemuan," kata Yunarto kepada Liputan6.com.

Namun, komunikasi Demokrat dengan Jokowi itu sudah jauh-jauh hari dibangun secara baik. Dia menilai, Demokrat berada di Koalisi Adil Makmur karena terpaksa. Salah satunya, lanjut dia, diduga karena hubungan antara SBY dan Megawati Soekarnoputri.

"Jadi kalau kita lihat kecenderungan SBY ingin merapat di kubu Jokowi bukan sekarang saja, dari dulu pun arahnya seperti itu," ujar Yunarto.

Dia melihat, twit Andi Arief soal "setan gundul" merupakan cara untuk cek ombak. Buzzer politik, lanjut dia, diperlukan untuk menentukan sikap elite partai.

Begitu juga dengan PAN. "Itu sama posisinya menurut saya. Pertanyaannya, di detailnya bisa tercapai, sementara harus dimengerti, PAN di posisi yang lebih sulit. Karena keputusan tertinggi bukan ada di Zulhas tapi Amien Rais. Itu yang akan membedakan posisi PAN dengan Demokrat.

PKS sendiri, kemungkinannya sangat kecil untuk merapat ke Jokowi. Pertama, ini terkait dengan ideologi partai. Kedua, secara romantisme sejarah, PKS tidak pernah bergabung dengan Jokowi.

"Menurut saya PKS paling sulit, akan jadi partai terakhir untuk bergabung dengan Jokowi," kata dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, juga menilai hal yang sama. Kubu Jokowi sangat sulit untuk menarik Gerindra dan PKS. Berbeda dengan Demokrat dan PAN. 

"PAN sudah mulai dirangkul Pak Jokowi meskipun cuma bentuk silaturahmi biasa, tidak agenda politik. Tapi yang namanya usaha, ya tentu biasa saja. Ini fenomena biasa (dalam politik)," kata Pangi ketika dihubungi Liputan6.com.

"Setahu saya memang Demokrat itu 8 persen kursinya. Bagi Pak Jokowi sangat potensial untuk diamankan, minimal di parlemen, agar Demokrat enggak jadi oposisi," lanjut dia.

Jubir BPN 02, Andre Rosiade sendiri masih yakin Koalisi Adil Makmur tetap solid. Tidak ada keretakan di tubuh koalisi pendukung Prabowo-Sandi itu.

"BPN enggak ada apa-apa (dengan Demokrat), kami lagi mengawal rekapitulasi mengantisipasi data kecurangan. Desas-desus hengkang dari BPN kalau 01 menang, kami tidak tahu ya, tanyakan ke Demokrat," kata Andre kepada Liputan6.com.

Menurut dia, BPN tidak akan memaksa sebuah partai untuk tetap berada dalam koalisi. Namun, dia meminta agar hal itu dilakukan secara baik-baik.

"Kami tidak ingin memaksa-maksa dan kalau ingin keluar, ya hak partai koalisi itu," sambung dia.

 

3 dari 3 halaman

Setengah Hati?

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-KH Maruf Amin, Arsul Sani menilai, masih terlalu prematur untuk berbicara soal kemungkinan masuknya Demokrat atau PAN dalam Koalisi Indonesia Kerja. Dia mengatakan koalisinya masih fokus pada pengawalan rekapitulasi suara.

"Saat ini terlalu prematur untuk berspekulasi tentang kemungkinan masuknya PD atau PAN ke dalam KIK. Kami, partai-partai yang sudah di KIK, sedang fokus mengawal rekapitulasi suara untuk memastikan bahwa kemenangan paslon 01 yang sudah tergambar dalam quick count sejumlah lembaga survei itu juga akan menjadi kemenangan paslon 01 dalam rekapitulasi manual yang sekarang tengah berlangsung di KPU," kata Arsul kepada Liputan6.com, Selasa 7 Mei 2019.

Apalagi, lanjut dia, soal pembagian jatah kursi di kabinet. Dia menegaskan, Koalisi Indonesia Kerja belum sekalipun membicarakan hal itu.

"Jadi jangankan untuk partai yang belum bergabung, sejauh ini di antara partai-partai KIK saja enggak bicara soal kursi kabinet. Soal itu, biarlah Pak Jokowi nanti yang menginisiasinya pada saatnya, karena kami percaya Pak Jokowi akan adil dan proporsional," ujar Arsul.

Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, yang juga politikus PKB, Abdul Kadir Karding memandang, apa yang terjadi selama ini antara PAN dan Demokrat, baru sebatas bersilaturahmi semata.

Yang terjadi selama ini adalah komunikasi, silaturahmi antara tokoh-tokoh PAN, maupun Demokrat dengan Pak Jokowi. Dalam rangka membangun komunikasi, memperkuat rasa persaudaraan bahwa kemudian ke depan akan terjadi koalisi atau tidak sangat tergantung beberapa hal," kata Karding kepada Liputan6.com, Selasa 7 Mei 2019.

Dia menuturkan, ada beberapa alasan agar koalisi terjadi. Tidak serta merta sebuah partai bisa bergabung dengan koalisi yang sudah terbentuk. Salah satunya ada persetujuan di kubu Jokowi sendiri.

"Yang kedua, tentu dari pihak PAN dan Demokrat. Ada keputusan otonom dari mereka, karena mereka bagian dari 02," ungkap Karding.

Ia menambahkan, dimungkinkan ada dialog-dialog dan komunikasi yang bisa saja mengarah kepada kerja sama yang lebih permanen ke depan. 

Namun, Karding kembali mengingatkan, apa yang dilakukan hari ini oleh Jokowi adalah demi kembali membangun persaudaraan yang sempat renggang di Pemilu 2019. 

Â