Sukses

Dilema Terapis Indonesia, Berpenghasilan Tinggi Tapi Tak Punya Payung Hukum

Pada implementasinya negara belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak.

Liputan6.com, Jakarta Tak sedikit orang Indonesia berlomba-lomba bekerja di luar negeri. Alasannya ingin memperbaiki hidup karena penghasilan yang menjanjikan. Salah satunya adalah pekerja migran Indonesia di sektor spa atau terapis. Namun sayangnya, terapis dinilai berkonotasi negatif.

Menyadari hal tersebut, Komite III DPD RI mendorong pemerintah agar pemerintah segera menyediakan payung hukum yang jelas. Undang Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang ada saat ini, belum memberi harapan pada tenaga kerja spa atau terapis. 

"UU Nomor 18 Tahun 2017 telah mengatur pekerja migran baik sebelum atau selama di negara penempatan. Namun ketentuan pekerja migran di sektor spa atau terapis pada undang-undangan tersebut belum terang-benderang," ucap Wakil Ketua Komite III DPD RI Novita Anakotta di Gedung DPD RI Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (7/5).

Menurutnya berdasarkan hasil kunjungan kerja Komite III DPD RI di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Komite III DPD RI telah menemukan beberapa fakta seperti pekerja migran Indonesia di sektor pariwisata yaitu spa atau terapis belum dimaksimalkan oleh daerah Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur.

"Padahal ketiga daerah itu merupakan penghasil tenaga kerja spa atau terapis," ujar Novita.

Novita juga menilai bahwa dari sektor pendapatan bagi tenaga kerja spa atau terapis cukup menjanjikan. "Hal ini karena minimnya informasi sehingga tidak dimaksimalkan. Tentunya Indonesia mempunyai peluang mengirimkan tenaga kerja spa atau terapis ke luar negeri," harapnya.

Pada hakekatnya, lanjutnya, setiap Warga Negara Indonesia (WNI) memiliki hak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak yang telah diamanatkan dalam UUD 1945. Namun pada implementasinya negara belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak.

"Makanya banyak orang berlomba-lomba untuk bekerja di luar negeri dengan alasan memperbaiki hidup," kata senator asal Maluku itu. Sementara itu, Anggota Komite III DPD RI Intsiawati ayus menjelaskan bahwa DPD RI harus melindungi aset bangsa seperti tenaga kerja spa atau terapis. Karena sejauh ini belum ada payung hukum yang fokus terhadap tenaga kerja spa atau terapis ini.

"Kami harus tahu diletakkan di mana tenaga kerja spa atau terapis ini. Kalau perlu kami minta revisi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia ini," ucapnya. Di kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI) Kusumadewi Sutanto menceritakan bahwa pihaknya telah mendapatkan dukungan dari Kementerian Pariwisata mengenai potensi tenaga kerja spa atau terapis, dan diberikan wewenang dari Kementerian Kesehatan yaitu surat rekomendasi pelaksanaan pijat.

"Bahkan Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan juga telah memberikan keterampilan dan beasiswa agar bisa bekerja di luar negeri," tuturnya. Terlepas dari hal tersebut, Kusumadewi menjelaskan bahwa spa memiliki konotasi yang kurang baik atau negatif. Padahal, spa memiliki tujuan untuk kesehatan.

"Namun faktanya kita dianggap sebagai hiburan maka pajak kami tinggi. Kami sudah mengatakan bahwa spa untuk kesehatan dan kesejahteraan bukan hiburan," jelasnya. Selain itu, ASTI juga telah mensosialisasikan bahwa spa bukan hanya untuk pria atau wanita saja. Melainkan, siapa saja boleh tetapi terpenting tempatnya harus terpisah.

"Padahal Kemenkes dan Kemenpar sudah memutuskan spa untuk kesehatan dan bukan hiburan," ujar Kusumadewi.

 

 

(*)