Sukses

Ahli di Sidang Ratna Sarumpaet: Bohong ke Diri Sendiri Tak Masuk UU ITE

Pengacara Ratna Sarumpaet menghadirkan Kepala Sub Direktorat Penyidikan Kemenkominfo, Teguh Arifiyadi dalam sidang kali ini untuk meringankan dakwaan ke kliennya.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Sub Direktorat Penyidikan Kemenkominfo, Teguh Arifiyadi bersaksi di sidang perkara penyebaran berita bohong atau hoaks dengan terdakwa Ratna Sarumpaet. Dia didatangkan oleh pengacara Ratna Sarumpaet sebagai saksi meringankan.

Pada kesaksiannya, Teguh menjelaskan pandangannya mengenai Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Menurut dia, akar utama dari pasal tersebut ialah Pasal 156, 156 a dan 157 KUHP. Mulanya, tidak ada pidana.

"Pada tahun 2008 ketika disahkan muncul beberapa pengaturan pidana. Cluster-nya salah satunya ilegal konten," ucap Teguh, Kamis (9/5/2019).

Dia menyebut pasal-pasal ini mengatur tindak pidana yang mengandung unsur perjudian, norma susila, dan berita bohong yang kaitannya perlindungan konsumen. Pernyataan itupun mengundang tanya salah satu pengacara Ratna Sarumpaet.

"Kalau berbohong terhadap diri sendiri, bagaimana?" tanya pengacara Ratna Sarumpaet.

"Belum masuk kategori UU ITE," jawab Teguh.

Pengacara kemudian mengutip Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Bunyinya, "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun." Pengacara bertanya makna dari menyiarkan berita.

"Ketika menyebarkan secara pribadi bisa dikategorikan menyebarluaskan," ucap pengacara.

Dia menjelaskan, KUHP 157 mengatur parameter antara menyebarkan, mentransmisikan dan mendistribusikan.

"Konteks penyebaran adalah broadcast," jawab Teguh.

"Apa broadcast," tanya pengacara.

Teguh menerangkan, yang termasuk broadcast, "Ketika seseorang mengirim pesan ke banyak penerima. Kesamaan waktu akan membuktikan penyebaran atau tidak."

Pengacara Ratna Sarumpaet lalu bertanya, "Kalau saya mengirim gambar ke ahli. Besoknya saya kirim ke orang lain melalui WhatsApp. Kategorinya."

"Mentransmisikan. Sudah jelas kalai menyebarkan itu untuk publik secara umum," terang Teguh.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Soal Tudingan Membuat Keonaran

Selanjutnya, pengacara menanyakan makna keonaran yang berada di pasal tersebut.

"Apa yang dimaksud keonaran di media sosial," tanya Pengacara.

Teguh menerangkan, Undang-Undang ITE tidak mengenal keonaran. Definisi keonaran di internet tidak ada parameternya, yang ada trending topik.

"Keonaran tidak ada rujukan. Tidak bisa mengukur apakah perdebatan keonaran atau tidak," ucap Teguh.

Sebelumnya, Jaksa mendakwa Ratna Sarumpaet telah menyebarkan berita bohong kepada banyak orang yang dapat menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.

Ia dikenakan dakwaan alternatif, yakni Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Perbuatan penyebaran berita bohong itu diduga dilakukan dalam kurun waktu Senin 24 September 2018 sampai Rabu 3 Oktober 2018 atau pada waktu lain setidak-tidaknya dalam September hingga Oktober 2018, bertempat di rumah terdakwa di Kampung Melayu Kecil V Nomor 24 Rt 04 RW 09, Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.

Perbuatan Ratna ini mendapat reaksi dari masyarakat dan sejumlah tokoh politik. Setelah melalui perdebatan panjang di sosial media dan media massa, pada 3 Oktober 2018, Ratna Sarumpaet menyatakan telah berbohong tentang penganiayaannya. Dia pun meminta maaf.

Sementara pada dakwaan kedua, jaksa menduga Ratna Sarumpaet, "Dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, ras atau antar golongan (SARA)."

Sebagian masyarakat Kota Bandung bereaksi dengan menuntut terdakwa meminta maaf kepada masyarakat Bandung. Mereka tersinggung karena menyebut-nyebut nama kota mereka sebagai lokasi kejadian.