Liputan6.com, Jakarta - Istilah people power atau kekuatan rakyat kini menjadi perbincangan oleh beberapa kelompok usai pemungutan suara 17 April 2019. Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan, people power hanya bisa terjadi jika ada hukum yang tidak berjalan.
"Bukan berdasarkan hasutan, menyimpang dari hukum yang sedang berjalan, terutama Pemilu 2019. Sekadar memenuhi keinginan pihak yang tidak puas," kata Gayus di Jakarta, Jumat (10/5/2019).
Baca Juga
Dia menegaskan, jika hanya people power digerakkan, lantaran urusan menang-kalah, tujuan keadilannya tidak ada. Pemanfaatannya tidak jelas," ungkap Gayus.
Advertisement
Gayus menambahkan, aparat penegak hukum bisa menggunakan pasal makar dalam KUHP untuk menindak orang-orang yang melakukan people power tersebut.
Berdasarkan pasal tersebut, pelaku makar dapat diancam hukuman pidana seumur hidup atau hukuman mati. "Ancaman hukumannya ada dan jelas," kata Gayus.
Meski demikian, Gayus meminta aparat penegak hukum menyelidiki kasus dugaan makar dengan cermat, mana tindakan yang masuk kategori percobaan makar dan yang sudah makar.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tak Ada Alasan untuk People Power
Sementara itu, akademisi Universitas Indonesia Doni Gahral Adian menerangkan, ada beberapa prasyarat yang harus dilakukan dalam menggalang people power.
"Otoritarianisme, pemerintahan represif, dan krisis ekonomi. Harga sembako naik 3 kali lipat, harga BBM naik 3 lipat misalnya. Itu prasyarat. Tapi dalam keadaan normal, tingkat pengangguran dan kemiskinan bagus, tidak ada alasan," jelas Doni.
Dia pun menyayangkan masih ada yang berlaku seperti ini. Pasalnya, langkah seperti itu bisa menggerus cara pandang kaum milenial dalam berpolitik. Jangan sampai hal ini terulang-ulang menggunakan istilah people power pada Pemilu mendatang.
"Kalau mereka belajar dari tokoh senior seperti ini menghalalkan segala cara, mau seperti apa kita nanti sebagai sebuah bangsa," dia memungkasi.
Respons Pembentukan Tim Hukum Nasional
Gayus Lumbuun merespons langkah pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM dalam membentuk Tim Hukum Nasional. Tim ini nantinya memantau dan mengkaji ucapan dan tindakan para tokoh.
Gayus menilai langkah pemerintah itu sudah tepat dan bermanfaat. Karena ada pengkajian terlebih dulu dari pakar hukum yang tergabung sebelum masuk ke ranah hukum.
"Ini bermanfaat. Keterlibatan ahli untuk mengkaji. Artinya tidak sewenang-wenang. Mengkaji lebih dahulu," kata Gayus di Jakarta, Jumat (10/5/2019).
Langkah ini, kata Gayus, sebagai kehati-hatian pemerintah dan menghindari kesewenang-wenangan terhadap masyarakat. Dia mencontohkan, pada pengadilan pasti setiap hakim juga harus mendengarkan ahli untuk dipertimbangkan.
"Di pengadilan pun majelis hakim selalu mengundang ahli untuk memberi dukungan tentang apa yang dilakukan dengan hukuman yang akan dijatuhkan,"Â tambah dia.Â
Advertisement