Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi segera meneken pembentukan panita seleksi (pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antirasuah di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo sendiri mendapat kritik tajam dari sejumlah pihak.
Salah satunya dari anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Gerindra, HM Syafi'i. Dia menyinggung soal jumlah uang negara yang diselamatkan oleh KPK.
Dia menilai, uang hasil kejahatan tindak pidana korupsi yang dikembalikan ke negara, masih belum memenuhi harapan. Terlebih, salah satu indikator keberhasilan KPK adalah jumlah uang negara yang dapat diselamatkan.
Advertisement
"Itu jauh panggang dari pada api, kayaknya lebih besar harapan dan pendanaan ketimbang yang berhasil KPK selamatkan," tutur Romi Syafi’i dalam keterangannya, Selasa 14 Mei 2019.
Pada 2019, KPK mendapat anggaran Rp 813 miliar dari negara untuk menyelesaikan 200 kasus yang ditanganinya. KPK juga mendapat anggaran tambahan Rp 133,37 miliar.
Dia berharap, pimpinan KPK yang baru dapat memperbaiki kelemahan tersebut dan kembali pada filosofi dibentuknya lembaga itu, yakni menjadi pemicu instansi lain dalam upaya pemberantas korupsi.
"Maka KPK dibentuk untuk men-trigger itu, agar mereka lebih efektif menggunakan kekuasaannya dalam pemberantasan korupsi. Saya kira harapan kita sama dengan harapan dibentuknya KPK," kata Syafi'i.
Menurut dia, KPK tidak lagi memahamkan diri sebagai trigger mechanism. Tapi, lanjut dia, mengambil alih semua pekerjaan pemberantasan korupsi agar secara penuh menjadi kewenangan lembaganya.
"Apalagi ada keinginan membetuk kantor cabang di daerah-daerah. Saya kira apa yang dilakukan KPK hari ini belum sepenuhnya sesuai harapan dibentuknya KPK," Syafi'i menandaskan.
Â
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Soal TPPU
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti kekurangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah pimpinan Agus Rahardjo cs. Selama hampir lima tahun memimpin, Agus cs dinilai belum maksimal menggunakan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam menangangi setiap perkara.
Padahal, pasal TPPU dianggap penting untuk memberikan efek jera terhadap koruptor, di samping juga untuk mengembalikan kerugian negara.
"KPKÂ pada era kepemimpinan Agus Rahardjo cs masih terhitung minim menggunakan aturan TPPU pada setiap penanganan perkara," ujar Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Kurnia Ramadhana di kantornya, Jakarta Selatan, Minggu 12 Mei 2019.
ICW mencatat, dalam kurun 2016 hingga 2018, Agus Cs hanya menerapkan Pasal TPPU terhadap 15 perkara. Padahal, dalam tiga tahun terakhir ada ratusan perkara yang berpeluang dijerat dengan Pasal TPPU.
"Ini menunjukkan bahwa KPK belum mempunyai visi untuk asset recovery, dan hanya berfokus pada penghukuman badan," tuturnya.
Selain itu, ia juga mengatakan, keterkaitan TPPU dengan praktik korupsi sangat erat, baik segi yuridis maupun realitas. Untuk Yuridis, lanjutnya, korupsi secara spesifik disebutkan sebagai salah satu predicate crime dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
"Artinya, TPPU salah satunya dapat diawali dengan perbuatan korupsi. Selain itu, realitas sekarang menunjukkan bahwa pelaku korupsi akan berusaha menyembunyikan harta yang didapat dari praktik korupsi dengan menyamarkan kepemilikan harta. Dengan disembunyikannya harta tersebut maka seharusnya aturan TPPU dapat dikenakan pada setiap pelaku korupsi," kata Kurnia.
Advertisement
Pencapaian 2018
Selama 2018, KPK telah menyelamatkan Rp 500 miliar uang negara. Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
"Lebih dari Rp 500 miliar telah dimasukkan ke kas negara dalam bentuk PNBP dari penanganan perkara," ujar Saut saat dikonfirmasi, Jakarta, Senin 4 Maret 2019.
Pada laporan akhir tahunnya, pada Desember 2018 lalu, Ketua KPK Agus Rahardjo menjelaskan Rp 500 miliar itu didapatkan lembaganya dari hasil lelang, barang sitaan dan pengembalian lain dari perkara tindak pidana korupsi maupun TPPU.
"Untuk TPPU senilai Rp 44,6 miliar," kata Agus, Jakarta, Rabu 19 Desember 2018.
Selain itu, dalam penanganan tindak pidana korupsi sepanjang 2018 oleh KPK, penyuapan merupakan kasus terbanyak. Ada 152 perkara penyuapan dalam catatan KPK diikuti kasus pengadaan barang atau jasa sebanyak 17 perkara, dan TPPU sebanyak enam perkara.
Dalam penanganan perkara berdasarkan dari tingkat jabatan, Agus mengungkapkan anggota DPR atau DPRD paling banyak terjerat oleh pihanya. Yakni 91 perkara disusul 50 perkara yang melibatkan pihak swasta.
"28 perkara melibatkan kepala daerah (29 kepala daerah aktif dan 2 mantan kepala daerah), 20 perkara melibatkan pejabat eselon I dan IV," kata Agus.
Sehingga, secara total menurut Agus, tim penindakan KPK sepanjang tahun 2018 telah melakukan 157 kegiatan penyelidikan, 178 penyidikan dan 128 penuntutan.
"Itu sudah juga melakukan eksekusi terhadap 102 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," kata Agus.