Liputan6.com, Jakarta Bagi sebagian besar orang, menulis narasi kehidupan dalam bentuk autobiografi adalah percuma dan membuang-buang waktu. Tidak sedikit pula orang yang menganggap bahwa hidup terlalu biasa untuk dituliskan menjadi sebuah autobiografi. Tidak ada yang menarik dalam kehidupan, begitulah anggapan banyak orang.
Padahal, jika mau sedikit merenungi, ternyata setiap kehidupan seseorang mempunyai makna yang mendalam di setiap perjalanan. Namun, di antara banyaknya pesimisme untuk memaknai perjalanan hidup, buku karya Dokter Prajitno Soembadji menjadi pengecualian yang menginspirasi banyak orang untuk menuliskan riwayat kehidupan menjadi sebuah buku.
Buku berjudul "Suatu Pagi Di Usia Senja" menjadi buah karya Eyang Dokter, begitu sapaan beliau, yang memuat kisah perjalanan Dokter Prajitno sedari kecil hingga berusia 77 tahun. Pergumulan hidup Eyang Dokter pun tidak dapat dihitung dengan sambil lalu. Rasa manis dan pahit ia tuangkan dalam karyanya ini yang tak bisa dianggap remeh sekalipun ia mungkin belum dikenal secara luas layaknya seorang tokoh yang ditulis dalam buku sejarah.
Advertisement
Masa muda penuh gelora dan ambisi ia tuangkan tanpa ragu, termasuk sifat mangkirnya terhadap pilihan sang ayah yang mengingikan dirinya kuliah di fakultas kedokteran. Meski akhirnya Eyang Dokter menuruti kemauan sang ayah, pun tak ia lakukan sepenuhnya. Eyang Dokter tidak mengikuti ujian di Universitas Airlangga lalu dipaksa pulang untuk didaftarkan pada Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.
Pada fase selanjutnya dari kehidupan Eyang Dokter, segala keberhasilan dalam ukuran pekerjaan dan jabatan ia raih meski tak semulus harapan orang yang selalu mendambakan kebaikan tidak absen dalam kehidupannya.
Kelas Otobiografi, Mengenang Lalu Menang
Eyang Dokter lahir dari pasangan Dokter Soembadji Sastropawiro dan Euis Aisyah. Ayahnya adalah seorang dokter yang beristrikan bidan asal Bandung. Reputasi lain ayahnya merupakan anggota dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan sempat menjadi anggota Majelis Konstituante di tahun 1959.
Hampir dipastikan masa kecil Eyang Dokter berkecukupan karena status kedua orang tuanya. Namun, bukan berati dimasa selanjutnya Eyang Dokter menjalani hidup yang aman dan nyaman secara permanen. Beliau hampir berurusan dengan hukum sebelum akhirnya menyadari bahwa tanda tangannya dipalsukan terkait proyek perluasan pengembangan rumah sakit di Kabupaten Kulon Progo.
Di samping prestasi kerja yang baik dan terasa manis, di tahun 2014 Eyang Dokter terpaksa bercerai dengan istri yang menjadi teman hidupnya selama ini. Pergumulan dalam kekecewaan dan kesepian menghinggapi jiwa Eyang Dokter. Keadaan ini yang memaksa Eyang untuk bergulat dengan kenyataan bahwa dirinya ada pada titik terendah dalam hidup.
Harapan perlahan lahir ketika beliau menjadi permanent member di Senior Living D’ Khayangan, sebuah hunian bagi lansia yang mendukung Eyang Dokter untuk tetap memiliki harapan dan pengalaman baru dalam hidup. D’ Khayangan juga ikut serta dalam pembinaan kreatifitas yang berdampak pada mental Eyang Dokter demi terciptanya pengalaman positif yang baru bagi beliau.
Eyang Dokter lalu mengikuti kelas penulisan otobiografi D’Khayangan dimana Pak Eka Budianta, budayawan sekaligus penulis lebih dari 25 buku, menjadi pemateri utamanya. Bersama Eka Budianta, beliau pelan-pelan belajar mencipta sebuah kisah dalam rangkaian kalimat. Dengan sabar namun penuh semangat Pak Eka membimbing semua peserta kelas untuk menciptakan kisahnya dari tangannya sendiri. Para peserta termasuk Eyang Dokter menjadi sumber sejarah bagi karyanya sendiri.
Mengutip Wilhelm Dilthey, sejarawan merangkap psikolog asal Jerman, bahwa seseorang yang mengerti tentang suatu hal adalah sama dengan orang yang menciptakan sesuatu tersebut terbukti pada pencapaian hidup Eyang Dokter. Beliau telah sampai pada pemahaman akan hidup lewat merajut ingatan, memaknainya lalu menuliskan kembali riwayatnya sehingga secara langsung ia menciptakan sesuatu yang sinergis dengan pemahamannya tadi.
Eyang Dokter telah menang dalam pergumulan dengan dirinya sendiri, bernostalgia dengan kenangan lalu merangkum semua dalam sebuah karya emas yang membahagiakan. Sebuah pencapaian kebahagiaan tak terkira telah digapai Eyang Dokter sekaligus menjadi warisan pemahaman akan kehidupan bagi orang-orang yang mencintainya.