Liputan6.com, Jakarta - Perang saudara berkecamuk menyusul terjadinya Revolusi Bunga di Timor Timur pada 1975. Aksi itu dimotori sebuah faksi dalam angkatan bersenjata Portugal, yang kala itu menjajah Timor Timur.
Tiga partai utama di Timor Timur yakni Partai Fretelin, Uni Demokrat Timur (UDT) dan Associacao Popular Democratica Timorense (APODETI) saling berebut pengaruh masyarakat.
Baca Juga
Fretelin sempat memproklamasikan berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur. Bendera Portugal pun diturunkan dan kemudian dideklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada 28 November 1975
Advertisement
Namun, aksi itu mendapat reaksi keras. Partai UDT menginginkan merdeka secara bertahap. Sementara APODETI berbanding terbalik dengan dua partai yang ada. Mereka ingin agar Timor Timur tetap bergabung dengan NKRI. Namun Fretelin akhirnya memerangi UDT yang berakibat banyak korban jatuh termasuk dari rakyat sipil.
Pada 30 November 1975, kelompok pro-integrasi meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Timur dari kekuasaan Fretilin yang berhaluan Komunis. Permintaan itu dijawab Indonesia dengan mengirimkan pasukan pada 7 Desember 1975, dalam operasi militer bernama Operasi Seroja.
Kehadiran pasukan Indonesia itu disambut perlawanan oleh ribuan warga dan Fretelin yang mengungsi ke daerah pegunungan. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini tewas di hutan karena pengeboman dari udara oleh militer Indonesia serta ada yang meninggal karena penyakit dan kelaparan. Banyak juga yang wafat di kota setelah menyerahkan diri ke tentara Indonesia.
Selain itu, kelompok Fretelin membantai kelompok yang lebih moderat di hutan. Sehingga banyak tokoh Fretilin yang dibunuh sesama anggota Fretilin selama di hutan.
Selama perang saudara di Timor Timur dalam kurun waktu tiga bulan --September-November 1975-- dan selama pendudukan Indonesia sejak 1975-1999, lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal akibat konflik.
Timor Timur sendiri menjadi bagian dari wilayah Indonesia pada 1976 sebagai provinsi ke-27. Bumi Lorosae itu menjadi sorotan dunia internasional setelah mengalami kekosongan pemerintahan lantaran ditinggalkan Portugal.
Â
Agar Tak Dihina Negara Lain
Setelah pidato kenegaraan di gedung DPR/MPR, 15 Agustus 1998, Presiden BJ Habibie membicarakan masalah Timor Timur dengan tokoh masyarakat Katolik setempat, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo. Dalam pertemuan itu dibahas terkait tuntutan penarikan pasukan dari wilayah Timtim dan adanya sekelompok pemuda dan mahasiswa yang meneriakkan referendum dan pemisahan dari Indonesia.
Alhasil, Habibie memutuskan rencana untuk memberikan otonomi luas berstatus khusus. Timtim diberi kewewenangan luas di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Sementara dalam urusan politik luar negeri, keamanan eksternal, moneter dan fiskal masih menjadi tanggung jawab pemerintah pusat di Jakarta.
Dalam buku Mr Crack dari Parepare karya A Makmur Makka disebutkan, saat usulan itu dibicarakan antara Indonesia, PBB, dan Portugal, digelar juga sidang Kabinet Paripurna Bidang Polkam untuk membahas alternatif lain jika usulan itu ditolak dan mereka memilih memisahkan diri dari pangkuan ibu pertiwi.
Akhirnya untuk membahas persoalan ini, Indonesia, Portugal, dan PBB, kembali menggelar pertemuan di markas PBB New York, 16 Februari 1999. Ketiga pihak akhirnya sepakat menyerahkan persoalan ini kepada rakyat Timtim. Kemudian pada 12 Maret 1999, disepakati juga adanya jejak pendapat atas sponsor PBB untuk mengetahui keinginan rakyat Timtim. Kesepatan ini diumumkan oleh Kofi Annan, yang kala itu menjabat Sekjen PBB.
Langkah itu mendapat apresiasi Presiden Habibie dengan beberapa pertimbangan.
"Kalau kita menentukan caranya, ributlah. Karena itu, silakan. Boleh berbicara dengan diri sendiri, boleh bicara dengan bekas penjajah. Boleh dengan PBB. Mau bicara Australia silakan, tetapi tentukan sebelum pemilu," ujar Habibie kala itu di Istana Merdeka, Jakarta.
Bahkan Habibie mengaku bersyukur jika rakyat Timtim memilih untuk berpisah. Dengan begitu, masalah ini diharapkan dapat selesai dengan tuntas tanpa dipersoalkan lagi oleh dunia luar. "Biar kita tidak dihina," ujarnya.
Dalam jejak pendapat yang berlangsung pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur diberikan dua pertanyaan. Pertama, apakah menerima otonomi khusus untuk Timor Timur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atau apakah menolak otonomi khusus yang diusulkan untuk Timor Timur, yang menyebabkan pemisahan Timor Timur dari Indonesia.
Rakyat Timor Timur memilih opsi kedua. Dukungan itu disuarakan oleh 344.580 atau 78,50 persen dari total 438,968 suara. Sedangkan sisanya sebanyak 94.388 suara atau 21,50 persen memilih opsi pertama.
Kemudian pada 26 Oktober 1999, Presiden RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menggantikan Habibie, menandatangani surat keputusan pembentukan UNTAET atau pemerintahan transisi di Timor Timur. Selanjutnya pada 30 Oktober 1999, Bendera Merah Putih diturunkan dari Timor Timur dalam upacara yang sangat sederhana.
Dan pada 20 Mei 2002, provinsi ke-27 Indonesia itu akhirnya lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi dan memperoleh status resminya sebagai negara anggota PBB.
Semenjak hari kemerdekaan itu, pemerintah Timor Timur memutuskan segala hubungan dengan Indonesia antara lain dengan mengadopsi Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Australia sebagai "balas budi" atas campur tangan Australia menjelang dan pada saat jejak pendapat.
Selain itu, juga diubah nama resminya dari Timor Timur menjadi Republica Democratica de Timor Leste dan mengadopsi mata uang dolar AS sebagai mata uang resminya.
Advertisement