Liputan6.com, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Hanura Tri Dianto meragukan kualitas hasil survei LSI yang merilis 73,6 persen respondennya menginginkan Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu tentang UU KPK yang telah disahkan DPR.
Pasalnya, hasil survei itu didapat dengan menggunakan wawancara lewat telepon. Dia juga menilai jenis responden tidak jelas sehingga rawan untuk menghasilkan survei berdasarkan kepentingan pribadi.
"Biasanya kalau survei LSI bukan pakai telepon, tapi turun ke lapangan. Tapi, ya, terserah LSI saja. Mungkin LSI termasuk pendukung Perppu. Dan boleh saja itu. Yang penting dijelaskan," kata Tri Dianto dalam keterangan tertulis, Selasa (8/10/2019).
Advertisement
Tri tidak sepakat jika Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu berdasarkan desakan atau hasil survei. Menurut dia, Presiden Jokowi harus memutuskan berdasarkan aspek filosofis dan konsep yang matang.
"Presiden bisa keluarkan Perppu, tapi kan perlu persetujuan DPR. Kalau DPR tidak setuju, kan Perppu kandas," kata Tri.
Menurut Tri, masih ada cara lain bagi warga negara yang tidak setuju terhadap suatu produk hukum. Salah satunya dengan menempuh gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Tri menganggap hal itu lebih bermartabat dibanding mendesak Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu.
"Sebaiknya yang menolak untuk mengajukan judicial review ke MK," kata Tri.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Hasil Survei LSI
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menggelar survei opini publik terhadap gerakan mahasiswa dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tujuan dari survei ini salah satunya untuk mengetahui apakah masyarakat menerima atau menolak UU KPK.
Hasilnya, sebanyak 70,9 persen responden setuju bahwa UU KPK hasil revisi dapat melemahkan kinerja lembaga antirasuah dalam memberantas korupsi.
"Sebanyak 70,9 persen publik yang tahu revisi UU KPK, yakin bahwa UU KPK yang baru melemahkan KPK, dan yang yakin sebaliknya hanya 18 persen," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan di Erian Hotel Jakarta Pusat, Minggu (6/10/2019).
Menurut dia, 76,3 persen publik kemudian meminta agar Presiden Jokowi menerbitkan perppu KPK. Sementara itu, yang menolak perppu KPK hanya 12,9 persen.
"Lebih 3/4 publik yang mengetahui revisi UU KPK, menyatakan setuju Presiden keluarkan perppu. Aspirasi publik menilai UU KPK melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Jalan keluarnya adalah mengeluarkan perppu. Dan (perppu) itu kewenangan presiden," jelas Djayadi.
Sebagai informasi, survei dilakukan pada 4 hingga 5 Oktober 2019. Responden dalam survei ini dipilih secara acak dari responden LSI sebelumnya yang jumlahnya 23.760 orang dan mempunyai hak pilih.
Responden dipilih secara stratified cluster random sampling. Dari total sebanyak 23.760, LSI kemudian memilih responden yang memiliki telepon, dan jumlahnya 17.425.
Dari total yang mempunyai telepon tersebut dipilih secara acak sebanyak 1.010 orang. LSI menilai jumlah responden itu cukup terdistribusi secara proporsional untuk kategori-kategori demografi utama.
Responden pun diwawancarai melalui telepon oleh pewawancara yang telah dilatih.Adapun margin of error dalam survei ini kurang lebih 3,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
"Pengamaman pada Pilpres 2019, metode ini dapat diandalkan untuk memperkirakan sikap politik pemilih," ujar Djayadi.
Seperti diketahui, UU KPK menjadi polemik di masyarakat. Sebab, sebagian masyarakat menolak UU KPK direvisi lantaran dinilai pasal per pasalnya dapat melemahkan kinerja KPK memberantas korupsi.
Puncaknya, sejumlah mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia melakukan unjuk rasa beberapa hari lalu. Mereka menuntut agar Presiden Jokowi menerbitka peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Setelah sebelumnya menolak, Jokowi akhirnya mempertimbangkan untuk menerbitkan perppu mencabut UU KPK hasil revisi. Sepekan lebih berlalu, Jokowi belum juga memberikan keputusan terkait perppu KPK.
Advertisement