Sukses

Geliat Dunia Pendidikan di Palu Pascabencana Gempa dan Tsunami

Liputan6.com pada Rabu 22 Mei 2019 menyambangi sejumlah sekolah di kawasan terdampak bencana Palu.

Liputan6.com, Jakarta - Melewati bulan demi bulan, masyarakat Kota Palu, Sulawesi Tengah dan sekitarnya mulai menjalani aktivitas hidup yang terbilang normal. Anak-anak kembali bersekolah dan mengejar impiannya dengan terus hadir mengenyam pendidikan di kelas-kelas.

Hingga Mei 2019, terhitung sudah masuk 7 bulan pascagempa dengan magnitudo 7,4 dan tsunami disertai tanah bergerak atau likuifaksi di Sulawesi Tengah. Sarana prasarana umum pun perlahan dibangun dan diganti dengan yang baru, khususnya media pendidikan.

Tidak hanya digalakkan oleh pemerintah, berbagai NGO baik lokal dan internasional pun bekerja sama membantu memperbaiki taraf hidup warga hingga pendidikan anak sekolah.

Liputan6.com pada Rabu 22 Mei 2019 menyambangi sejumlah sekolah di kawasan terdampak bencana Palu. Madrasah Ibtidaiyah (MI) AI Khairat Biromaru misalnya, kondisi kelas di sana mulai dibangun ulang.

Sekolah yang berada sekitar 200 meter dari wilayah likuifaksi Petobo itu sebelumnya luluh lantah digoyang gempa. Seluruh atap bangunan dari 7 ruangan yang ada ambruk dengan 3 kelas di antaranya rata dengan tanah.

Namun kini, aktivitas kelas sudah kembali pulih. Terlebih, banyak bantuan yang datang cepat meski 3 bulan awal usai bencana, mereka mendiami tenda bersama.

Donasi terbaru datang dari salah satu perusahaan teknologi raksasa, AMD. Berkolaborasi dengan NGO lokal yakni Wahana Visi Indonesia, mereka menggelar program donasi untuk membantu tujuh sekolah di wilayah Palu, Sigi, dan Donggala.

AMD memberikan masing-masing sekolah tiga unit komputer yang dirancang efisien dan hemat daya, namun bertenaga untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Tidak hanya itu, pelatihan kepada para guru dalam pengoperasiannya pun diadakan selama dua hari.

Kepala Sekolah MI Al Khairat Biromaru, Ismail menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada setiap pihak yang sudah peduli kepada pendidikan anak-anak di Palu.

"Tiga bulan kami berada di dalam tenda dan selama tiga bulan itu langsung dibangun kembali. Memang masih untuk pembelajaran, tidak bagus udaranya (pengap). Jadi kami pakai kipas. Tapi dengan ini saja ahamdulillah sudah normal," tutur Ismail saat berbincang dengan Liputan6.com di lokasi.

Director Sales and Marketing AMD ASEAN, Ryan Sim mengatakan, berdasarkan data yang dimilikinya, ada sekitar 2.700 gedung sekolah yang rusak terdampak bencana gempa di Sulawesi Tengah.

"Untuk itu kami ingin memberikan kontribusi yang dapat membantu sekolah sebagai pihak penyelenggara pendidikan di sini, agar dapat meningkatkan produktivitas dan memberikan pelayanan terbaik bagi para anak didik," kata Ryan Sim.

 

2 dari 2 halaman

Masih Ada Kendala

Respons Manager Wahana Visi Indonesia Centre, Yacobus Runtuwene menambahkan, bantuan ini menjadi wujud komitmen bersama dalam mendukung literasi teknologi dan kegiatan belajar mengajar di setiap sekolah yang terdampak bencana.

"Kerja sama ini bukan hanya akan berdampak positif bagi peserta didik tetapi juga mengkapasitasi tenaga pendidik dalam memberikan materi ajar," jelas Yacobus.

Secara rinci, tujuh sekolah yang mendapatkan bantuan unit komputer dari AMD adalah SD Muhammadiyah 3 Palu, MI Darul Iman, dan MI AI Khairat Mamboro yang berlokasi di Palu.

Kemudian tiga sekolah lainnya berlokasi di Sigi adalah MI AI Khairat Biromaru, SD Al Khairat Kota Palu, dan MI Al Khairat Bangga. Sementara satu sekolah ada di Donggala yakni SDN I Tanantovea.

Pada akhirnya, setiap pihak terkait tentunya mesti saling melengkapi sarana prasarana pendidikan di masing-masing sekolah.

Di SD Muhammadiyah 3 Palu, ada kendala pasokan daya listrik yang kurang mumpuni untuk mengoperasikan tiga unit komputer yang diberikan AMD.

Kepala Sekolah SD Muhammadiyah 3 Palu, Aliyah menyebut, kondisi itu disebabkan adanya pertimbangan jumlah ruangan kelas yang dibangun ulang ulang.

"Ini 900 watt. Kami akan minta nambah, sudah dipersiapkan pengajuannya. Karena ini disesuaikan dengan bangunan ruangan," beber Aliyah.

Meski begitu, semangat anak-anak Palu untuk bersekolah tidak memudar. Dengan fasilitas seadanya, mereka tetap menghadiri kelas meski harus duduk bersebelahan dengan bongkahan tembok dan atap yang rubuh.

 

Â