Liputan6.com, Jakarta - Aksi 21 dan 22 Mei 2019 yang semula damai berakhir rusuh. Kerusuhan itu terjadi karena masuknya kelompok penyusup di tengah massa aksi.
Tak hanya membuat ricuh, kelompok penyusup saat aksi 21 dan 22 Mei itu rupanya memiliki niatan lain. Keenam orang yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka, memiliki empat orang target pembuhuhan.
Baca Juga
Dengan senjata api atau senpi ilegal, para tersangka ini akan menghabisi empat orang tokoh nasional dan pimpinan lembaga survei.
Advertisement
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkap empat tokoh yang menjadi target pembunuhan saat kerusuhan Jakarta. Tokoh-tokoh tersebut termasuk dari kalangan pejabat.
"Betul (jadi target pembunuhan). Pak Wiranto (Menko Polhukam), Pak Luhut (Menko Kemaritiman), yang ketiga Kepala BIN (Budi Gunawan), keempat Pak Gories Mere," kata Tito di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa, 28 Mei 2019.
Lantas, siapakah empat target pembunuhan penyusup saat aksi 21 dan 22 Mei 2019? Berikut profil lengkap empat tokoh yang menjadi target pembunuhan dihimpun Liputan6.com:
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
1. Wiranto
Wiranto saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menko Polhukam sejak 2016 silam.
Pria kelahiran Yogyakarta, 4 April 1947 ini merupakan anak dari pasangan RS Wirowijoto dan Suwarsijah. Istri Wiranto bernama Rugaiya Usman.
Ayah Wiranto bekerja sebagai seorang guru sekolah dasar sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Saat Wiranto berusia satu bulan, dia dibawa orang tuanya pindah ke Surakarta karena terjadi agresi Belanda yang menyerang kota Yogyakarta.
Di Surakarta, Wiranto menyelesaikan sekolahnya hingga dia lulus dari SMAN 4 Surakarta. Lulus SMA, Wiranto melanjutkan studinya dengan masuk ke Akademi Militer Nasional dan lulus pada 1968.
Nama Wiranto mulai menarik perhatian publik saat dipercaya menjadi ajudan Presiden kedua RI Soeharto. Perjalanan kariernya pun tidak terlepas dari faktor dedikasi dan kemampuannya.
Demikian halnya karier Wiranto yang kian menanjak tatkala ABRI memberi kepercayaan kepadanya menjadi ajudan Presiden RI selama 4 tahun (1989-1993). Suatu masa jabatan Ajudan Presiden yang relatif lama.
Setelah menjadi ajudan presiden, karier militer Wiranto semakin meningkat ketika dipromosikan menjadi Kasdam Jaya, Pangdam Jaya, Pangkostrad, hingga menjadi KSAD.
Pada bulan Maret 1998, Presiden Soeharto kembali menunjuk Wiranto, kali ini untuk menjadi Pangab (sekarang disebut Panglima TNI).
Kala itu terjadi pergantian pucuk kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto ke Presiden ketiga RI BJ Habibie. Posisi Wiranto ini tetap dipertahankan hingga era Presiden BJ Habibie.
Ketika Presiden BJ Habibie lengser pada 1999 dan digantikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Presiden keempat Indonesia, posisi Wiranto di pemerintahan tetap tak bergeming.
Dia dipercaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid untuk menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, namun akhirnya dia dinonaktifkan dan mengundurkan diri.
Pada 26 Agustus 2003, Wiranto meluncurkan buku autobiografi dengan judul Bersaksi di Tengah Badai. Pada 2004, Wiranto memenangi konvensi Partai Golkar atas Ketua Umum Partai Golkar Ir Akbar Tandjung.
Dengan kemenangan ini, Wiranto kemudian melaju sebagai kandidat presiden pada 2004 bersama pasangannya, Salahuddin Wahid.
Pada pemilihan ini, Wiranto gagal melaju karena langkahnya terganjal pada babak pertama setelah menempati urutan ketiga.
Kemudian pada 2006, nama Wiranto kembali meramaikan bursa politik. Dia tampil sebagai ketua umum Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura yang didirikan pada 21 Desember 2006.
Wiranto memperkenalkan partai yang dibentuknya ini di Hotel Kartika Chandra, Jakarta dan dihadiri ribuan orang dari berbagai kalangan.
Pada 17 Januari 2007, Wiranto bertemu dengan Ketua DPR-RI Agung Laksono di Kompleks MPR/DPR/DPD Senayan, Jakarta Pusat. Pertemuan ini menjadi langkah awal dalam menyongsong Pemilu Presiden 2009.
Benar saja, pada 1 Mei 2009, Wiranto bersama Jusuf Kalla mengumumkan pencalonannya sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, di mana Jusuf Kalla sebagai capres dan Wiranto sebagai cawapres yang diusung Partai Golkar dan Partai Hanura.
Pasangan ini menjadi pasangan yang pertama mendaftar di KPU dan mendapat nomor urut tiga dan disingkat menjadi JK-WIN.
Sayangnya, dalam pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung ini, Wiranto kembali gagal meraih kursi kepresidenan. Namun, hasil Musyawarah Nasional I Partai Hanura di bulan Februari 2010, menempatkan Wiranto kembali sebagai Ketua Umum untuk periode 2010-2015.
Pada 2 Juli 2013 Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo resmi mendeklarasikan diri menjadi pasangan capres dengan mengusung slogan 'Pasti Maju Indonesia'.
Kedua pasangan mengklaim modal besar mencalonkan diri adalah pengalaman Wiranto memimpin TNI selama 35 tahun sementara sebagai pengusaha sukses Harry dianggap memahami persoalan ekonomi nasional. Pasangan ini merupakan pasangan capres kedua yang resmi mengumumkan pencalonannya setelah Aburizal Bakrie.
Kemudian pada 2016, Wiranto masuk menjadi menteri di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ia menjadi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menko Polhukam usai Jokowi mereshuffle kabinetnya.
Ketika ia dilantik sebagai Menko Polhukam, Wiranto melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum Hanura.
Â
Advertisement
2. Luhut Binsar Panjaitan
Jendral TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan lahir di Simanggala, Tapanuli, Sumatera Utara pada 28 September 1947. Luhut yang memiliki hobi olahraga ini merupakan anak pertama dari 5 bersaudara pasangan Bonar Pandjaitan dan Siti Frida Naiborhu.
Ia menikah dengan Devi Simatupang dan dikaruniai empat anak yaitu Paulina, David, Paulus, dan Kerri Pandjaitan.
Selain sebagai Menko Kemaritiman, ia juga sempat menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia sejak 31 Desember 2014 hingga 2 September 2015.
Pada 2015 hingga 2016, Luhut ditunjuk langsung oleh Pesiden Jokowi untuk menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menggantikan Tedjo Edhy Purdijatno.
Pada reshuffle Kabinet Kerja Jilid II, Luhut diangkat menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman dimulai sejak 27 Juli 2016 menggantikan Rizal Ramli hingga kini. Sebelum masuk dalam Kabinet Kerja, ia pernah menjabat sebagai menteri.
Saat kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, Luhut menjabat sebagai menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) pada 2000-2001.
Sebelum menjadi Menperindag, ia pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura dengan masa jabatan 1999-2000.
Luhut yang kini berada di Partai Golkar memiliki latar belakang pendidikan militer. Ia merupakan lulusan terbaik dari Akademi Militer nasional angkatan 1970.
Pada 1967, Luhut masuk AKABRI bagian Darat dan 3 tahun kemudian meraih predikat sebagai lulusan terbaik dan mendapatkan penghargaan Adhi Makayasa pada 1970.
Karir militernya dihabiskan Luhut di Kopassus TNI AD. Beberapa jabatan penting berhasil ia sandang, seperti Komandan Grup 3 Kopassus, Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri (Pussenif), hingga Komandan Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Darat.
Selain menggeluti bidang militer, Luhut Panjaitan juga memiliki aktivitas sosial. Ia pernah menjadi Ketua Federasi Olahraga karate-do Indonesia 92001-2010), Pendiri Yayasan DEL, Pendiri Yayaysan Luhur bakti Pertiwi, Pendiri Yayasan Lingkar Bina Prakarsa dan Pembina Relawan Bravo 5 Pendukung Jokowi-JK (2014).
Â
3. Budi Gunawan
Budi Gunawan menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) usai dilantik oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 2016 lalu.
Sebelum dicalonkan menggantikan Sutiyoso menjadi Kepala BIN, mantan ajudan Megawati Soekarnoputri semasa menjadi Presiden itu dua kali gagal menjadi Kapolri.
Budi Gunawan adalah lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) pada 1983. Kariernya terus meroket sejak ditunjuk sebagai ajudan presiden keempat Megawati Soekarnoputri saat berpangkat Komisaris Besar (Kombes).
Budi Gunawan sempat tercatat sebagai jenderal termuda di Polri saat dipromosikan naik pangkat bintang satu atau Brigadir Jenderal (Brigjen) saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karyawan (Binkar) Mabes Polri. Kemudian, menjabat Kepala Selapa Polri selama dua tahun.
Kariernya terus moncer ketika dipromosikan menjadi Kapolda Jambi pada 2008-2009. Setelah menjadi Kapolda Jambi selama setahun, pria kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 11 Desember 1959 ini, dipercaya menjabat Kepala Divisi Pembinaan Hukum (Kadiv BinKum) Mabes Polri.
Selanjutnya, Budi Gunawan sempat dimutasi pada jabatan kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) lalu dipromosikan menjabat di kewilayahan sebagai Kapolda Bali yang merupakan Polda tipe A.
Budi sudah berpangkat Komisaris Jenderal (Komjen) saat menduduki jabatan Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Kalemdikpol) 2012-2015. Pada awal 2015, Budi menjadi calon tunggal Kapolri yang ditunjuk Presiden Joko Widodo ( Jokowi).
Namun KPK menetapkan Budi sebagai tersangka terkait kepemilikan rekening gendut. Posisi Tribatra 1 pun diduduki Jenderal Badrodin Haiti. Setelah Badrodin pensiun, Jokowi ternyata lebih memilih Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri.
Â
Advertisement
4. Gories Mere
Gories Mere lahir di Flores, Nusa Tenggar Timur pada 17 November 1954. Ia merupakan salah seorang penegak hukum yang karirnya cukup gemilang. Jabatannya terus menanjak naik sampai akhirnya dinobatkan sebagai Ketua Badan Narkotika Nasional (BNN).
Di bawah kepemimpinannya, cukup banyak kasus narkotika yang terungkap, antara lain kasus narkoba yang melibatkan selebriti terkenal, Ahmad Albar dan Zarima si Ratu Ekstasi.
Gories Mere juga turut menyukseskan terbentuknya Densus 88 yang merupakan badan anti-teror di Indonesia.
Semasa jabatannya di kesatuan anti-teror tersebut, Mere tak segan memberi perintah kepada anak buahnya untuk melepaskan tembakan apabila tersangka mencoba kabur.
Di satu sisi, ketegasan ini mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat, namun di sisi lain, perintah tersebut juga menimbulkan tudingan miring terhadap dirinya.
Mantan Direktur Reserse di Kesatuan Polri yang menganut agama Katolik ini kerap dikecam karena dianggap sebagai ancaman bagi kaum ekstrimis Islam.
Ditambah lagi, adalah tugas Mere yang kerap memimpin penggerebekan terhadap terorisme yang kebanyakan dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan jihad dalam Agama Islam.
Terlepas dari hal tersebut, perwira polisi yang memasuki masa pensiunnya pada 2013 ini memang cukup kontroversial di mata publik.
Namanya sempat disebut ikut serta dalam rangkaian operasi penggerebekan narkotika di Medan, Sumatera Utara, padahal jabatan Mere saat itu sudah sebagai Kepala BNN.
Keberadaan 'juragan nomor satu' di BNN ini terendus media ketika tersiar kabar Danlanud Medan mengirim surat kepada Kapolda Sumatera Utara berisi protes atas 'penerobosan' yang dilakukan Densus 88 di Bandara Polonia.
Densus disebut tidak menaati aturan yang berlaku di bandara sesuai dengan standar internasional. Surat juga menyebut adanya kehadiran seorang jenderal bintang tiga di dalam rombongan tersebut.
Beberapa waktu kemudian, sosok Mere juga kembali menyita perhatian media ketika dirinya dikabarkan terlibat dalam kasus korupsi proyek Solar Home System (SHS).
Namun, semiring apapun tudingan terhadap perwira penerima penghargaan khusus dari pemerintah Australia ini, yang juga perlu diluruskan adalah bukti sederet jasa dan prestasi Gories Mere di kancah kepolisian Indonesia, khususnya dalam bidang reserse dan intelijen.