Liputan6.com, Jakarta - Kasus kekerasan yang menimpa jurnalis saat meliput aksi 22 Mei 2019 di depan kantor Bawaslu beberapa waktu lalu menjadi sorotan banyak pihak. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) pun mendesak agar kasus tersebut diusut tuntas secara hukum.
"Mendorong kasus kekerasan, persekusi terhadap jurnalis yang tengah bertugas diselesaikan melalui jalur hukum dengan memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku," ujar Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana, Jakarta, Jumat, 31 Mei 2019.
Dia berharap, proses hukum tersebut mampu menjadi efek jera bagi pelaku sekaligus peringatan terhadap masyarakat luas bahwa kerja jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang.
Advertisement
Berdasarkan pendataan yang dilakukan IJTI, tercatat setidaknya ada enam jurnalis televisi yang mengalami kekerasan saat meliput unjuk rasa yang berujung ricuh pada 22 Mei lalu.
Kasus kekerasan tersebut terjadi di beberapa titik kerusuhan di Jakarta, antara lain di kawasan Jalan MH Thamrin, Petamburan, Tanah Abang, dan Slipi Jaya, Jakarta. Oknum aparat dan massa aksi diduga menjadi pelaku kekerasan tersebut.
Kekerasan yang dialami jurnalis berupa pemukulan, penamparan, intimidasi, persekusi, perampasan alat kerja jurnalistik, penghalangan liputan, penghapusan video dan foto hasil liputan, pelemparan batu, hingga perusakan kendaraan.
Salah satunya dialami jurnalis Inews TV, Fatahilah Sinuraya. Dia mengalami luka di bagian kepala, punggung, dahi, tangan, dan paha kanan saat meliput aksi 22 Mei. Peristiwa penganiayaan ini terjadi saat Fatahilah tengah beristirahat di mobil SNG usai mengambil gambar kerusuhan massa aksi di sekitar Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Fatahilah menjadi sasaran pemukulan oleh oknum aparat karena dianggap sebagai salah satu teman dari pengunjuk rasa yang ditangkap. Meski sudah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis, oknum aparat tetap memukulinya.
Selain menderita luka fisik, korban juga mengalami kerugian materiil karena kehilangan smartphone dan jam tangan G-shock Frogman dalam peristiwa tersebut.
Video Jurnallis (VJ) MNC TV, Rian mengalami kerugian materiil setelah mobil liputan yang ia tumpangi dihadang dan dijarah massa. Selain kendaraannya rusak, sejumlah alat liputan seperti kamera Panasonic dan alat pendukung lainnya juga raib dijarah massa.
Peristiwa ini terjadi di sekitar Jalan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Saat itu mobil liputan yang akan mencari tempat parkir tiba-tiba dihadang dan diteriaki oleh massa aksi. Kemudian massa yang makin tidak terkendali merusak mobil serta menjarah peralatan liputan yang ada di dalam mobil.
Reporter RTV, Intan Bedissa dan Kamera Person RTV, Rahajeng Mutiara dipersekusi oleh massa aksi saat melakukan Live On Tape (LOT) di sekitar Jatibaru, Tanah Abang.
Saat itu belasan massa yang awalnya hanya menonton di pinggir mendekat dan mempersekusi serta mengintimidasi dua jurnalis yang tengah bertugas. Beruntung Intan dan Rahajeng tidak mengalami luka karena berhasil diselamatkan oleh petugas TNI yang tengah berjaga di sekitar lokasi.
Kontributor CNN Indonesia TV, Budi Tanjung mengalami kekerasan fisik, perampasan alat kerja, dan penghalangan liputan oleh oknum aparat.
Terakhir, seorang jurnalis dari ABC News TV juga mengalami persekusi serta intimidasi dari massa saat melakukan peliputan kerusuhan dalam aksi 22 Mei.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Lapor Polisi
Dari enam jurnalis yang menjadi korban kekerasan hingga perampasan saat meliput aksi 22 Mei, tiga di antaranya telah melaporkan kasus tersebut ke aparat kepolisian.
Fatahilah telah melaporkan kasus penganiayaan oleh oknum aparat ke Polda Metro Jaya pada Jumat 24 Mei 2019. Sementara, Rian melaporkan kasus perusakan dan penjarahan isi mobilnya ke Polres Metro Jakarta Pusat. Sedangkan Budi melaporkan kasus penganiayaan yang menimpa dirinya ke Propam Mabes Polri pada 25 Mei 2019.
Aksi kekerasan hingga persekusi yang menimpa jurnalis televisi saat meliput unjuk rasa 22 Mei tentu tidak dibenarkan. Karena jelas kerja jurnalis dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Setiap orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal 2 tahun dan denda maksimal Rp 500 juta.
Selain itu, kemerdekaan pers tanpa perlindungan pers merupakan sesuatu yang mustahil diwujudkan. Karena pada hakekatnya kemerdekaan pers dan perlindungan pers merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
IJTI terus mendampingi korban serta mendorong kasus ini diselesaikan secara hukum hingga tuntas. Hal ini penting dilakukan agar kasus kekerasan dan persekusi kepada jurnalis bisa dihilangkan.
Terkait hal ini, IJTI pun menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
1. Meminta dan mendorong aparat kepolisian segera menindaklanjuti laporan para jurnalis yang menjadi korban kekerasan serta persekusi saat melakukan peliputan aksi 22 Mei.
2. Segera memproses dan memeriksa para pelaku kekerasan oleh oknum aparat serta persekusi dan penjarahan oleh peserta aksi massa.
3. Mendorong kasus kekerasan, persekusi terhadap jurnalis yang tengah bertugas diselesaikan melalui jalur hukum dengan memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku sehingga bisa menjadi efek jera bagi pelaku sekaligus peringatan bagi masyarakat luas bahwa kerja jurnalis dilindungi oleh UU.
4. Mengimbau kepada perusahaan media yang jurnalisnya menjadi korban untuk melakukan pendampingan dan melaporkan kasus kekerasan, persekusi kepada aparat kepolisian.
5. Mengimbau kepada perusahaan pers untuk menyediakan perlindungan dan perlengkapan keselamatan bagi jurnalis yang ditugaskan ke lokasi liputan yang berbahaya.
6. Meminta kepada seluruh jurnalis Indonesia untuk tetap bekerja secara profesional, berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik serta mengedepankan kepentingan masyarakat banyak di atas kepentingan yang lain.
Advertisement