Liputan6.com, Jakarta Irigasi pertanian merupakan salah satu langkah yang dilakukan Kementerian Pertanian untuk menuju lumbung pangan pada 2045.
Hingga saat ini yang telah dilakukan Kementan adalah membangun irigasi seluas tiga juta hektar, normalisasi sungai dan bendungan, pompanisasi dan membangun embung untuk menampung air.
Baca Juga
"Berdasarkan analisis dan tinjauan lapangan, faktor ketersediaan air irigasi merupakan faktor kunci sukses pencapaian target produksi dan juga faktor lahan," kata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman.
Advertisement
Untuk itu, lanjutnya, Kementan mencanangkan dan melaksanakan program percepatan pencapaian swasembada padi, jagung, dan kedelai melalui perbaikan jaringan irigasi dan sarana pendukungnya.
"Saya ingin menjadikan lahan tadah hujan semuanya bisa teraliri. Solusinya adalah dengan membangun embung, membangun sumur dangkal, sumur dalam kemudian embung-embung kecil di seluruh wilayah tadah hujan," jelasnya.
Dengan begitu air hujan yang jatuh bisa dimanfaatkan di recycle dan tidak hanya dimanfaatkan sekali, tetapi bisa dua sampai tiga kali. Embung-embung tersebut sudah dibangun sejak dua tahun terakhir dan sudah terbangun 30 ribu unit.
"Kalau ini kita bisa dilakukan, Insya Allah lumbung pangan di Indonesia 2045 bisa jadi kenyataan,"Â jelasnya.
Sementara, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian mengamanatkan agar pada tahun 2019 pelaksanaan kegiatan Ditjen PSP di daerah dapat dilaksanakan dengan serius dan cepat. Aspek alat dan mesin pertanian, irigasi, lahan, pembiayaan dan aspek pupuk yang sudah tertera dalam DIPA atau POK agar segera dilaksanakan.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Sarwo Edhy mengatakan khusus untuk kegiatan air irigasi, pada 2019 akan difokuskan pada optimalisasi pemanfaatan sumber air untuk meningkatkan intensitas pertanaman (IP). Untuk itu, dia meminta bila ada daerah yang memiliki potensi sumber air agar mengajukan kegiatan irigasi.
"Bila lokasi sumber air cukup jauh dari lahan, bisa mengajukan kegiatan pipanisasi. Bahkan kalau perlu pompa air akan disiapkan," ujar Sarwo Edhy.
Sarwo meyakini dapat mengantisipasi potensi kekeringan yang melanda beberapa wilayah di Indonesia. Khususnya pada bulan Juli – September 2019. Tiga tahun belakangan ini Kementan telah melakukan berbagai upaya telah dilakukan dengan membuat program jangka panjang dan jangka pendek.
Untuk jangka pendek dengan membuat sumur pantek dan pompanisasi air sungai di wilayah potensial, penyediaan benih unggul tahan kekeringan, pongaturan pola tanam, minimalisir risiko kekeringan, penyediaan asuransi usahatani dan menggenjot pertanaman di lahan rawa, lebak, pasang surut.
"Sedangkan jangka panjang melalui program perbaikan irigasi, bantuan alsintan, pembangunan embung, pengembangan tata air mikro di lahan rawa dan pasang-surut," tambahnya.
Untuk menjamin ketersediaan air irigasi, Kementan bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUOR) terkait pembangunan bendungan, DAM, jaringan irigasi primer dan sekunder serta melakukan normalisasi sungai, serta pembangunan irigasi tersier 3,0 juta hektar.
Sementara untuk penyediaan air irigasi secara berkelanjutan Kementan juga turut bekerja sama dengan Kementerian Desa dan PDT dalam pembangunan embung di seluruh Indonesia.
"Sumber air ini nantinya dapat meningkatkan jumlah produksi lahan dua kali lipat, artinya pada bulan November, Desember, Januari tidak ada paceklik," jelasnya
Kementan telah mengantisipasi musim kemarau melalui beberapa upaya. Di antaranya menyebarluaskan informasi Prakiraan Iklim Musim Kemarau Tahun 2019 dan peningkatan kewaspadaan terhadap kekeringan kepada seluruh Gubernur dan Dinas Provinsi terkait.
Selain itu, juga melakukan budidaya pertanaman sesuai iklim dan kondisi setempat melakukan penanaman menggunakan varietas padi tahan/toleran kekeringan dan berumur, melakukan budidaya tanaman hemat air/SRI serta melakukan pemantauan langsung secara intensif.
Upaya lain terkait antisipasi musim kemarau, Kementan mulai tahun 2016 memberikan jaminan asuransi terhadap petani melalui Program Asuransi Usaha Tani (AUT).
"Jika terjadi gagal panen atau puso baik akibat serangan Organisme Pengganggu Tanaman, banjir maupun kekeringan petani mendapatkan ganti rugi Rp 6 juta per hektar,"Â ujarnya.
Â
Â
(*)