Sukses

Hakim Bebaskan Karen Agustiawan dari Uang Pengganti Rp 284 Miliar

Mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Galaila Agustiawan divonis hakim Tipikor dengan pidana penjara selama 8 tahun, dan denda Rp 1 miliar.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Galaila Agustiawan divonis hakim Tipikor dengan pidana penjara selama 8 tahun, dan denda Rp 1 miliar. Namun, Hakim membebaskan Karen dari kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 284 miliar.

Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim anggota, M Idris, dari fakta persidangan wanita yang pernah menjadi guru besar di Universitas Harvard ini tidak terbukti menerima keuntungan dari investasi di Basker Manta Gummy (BMG) Australia. Hanya saja, Karen Agustiawan dianggap menguntungkan perusahaan ROC Ltd sehingga dari proses tersebut menimbulkan kerugian bagi keuangan negara.

"Menurut majelis hakim, terdakwa tidak terbukti menerima uang yang menguntungkan diri sendiri," ucap M Idris, Jakarta Pusat, Senin (10/6/2019).

Vonis hakim terhadap Karen lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut Karen pidana penjara selama 15 tahun denda Rp 1 miliar serta uang pengganti Rp 284 miliar. Dalam tuntutan, Karen Agustiawan dikenakan Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 undang-undang Tindak Pidana Korupsi, namun hakim menggunakan Pasal 3 Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kasus Berawal

Kasus ini berawal saat Rencana Kerja dan Anggaran tahun 2009, PT Pertamina memang menganggarkan kebutuhan dana akusisi blok migas 2009 sebesar 161 juta dolar AS atau Rp 1,772 triliun.

Pertamina lalu membuat Tim Pengembangan dan Pengelolaan Portofolio Usaha Hulu Migas (TP3UH) yang diketuai Senior Vice President Upstream Business Development PT Pertamina R Gunung Sardjono Hadi sedangkan Karen selaku Direktur Hulu melakukan akusisi dan divestasi dan dikendalikan fungsi Merger dan Akusisi (M & A) yang membuat tim kerja sendiri dengan diketuai oleh Manager M & A Bayu Kristanto.

Pada 29 Januari 2009, Bayu Kristanto tanpa berpedoman pada Sistem Tata Kelola Investasi dan Kajian internal Pertamina langsung menerima penawaran 'confidential participation in project' pihak Citibank Indonesia dan membuat surat 'expression of interest' yang ditandatangani R Gunung Sardjono Hadi yang mengatakan bahwa PT Pertamina tertarik dengan penawaran ROC Ltd, selanjutnya Citi Group menyatakan PT Pertamina sebagai 'short listed' (memenuhi syarat) dan mengirimkan jadwal penawaran," tambah jaksa .

Selanjutnya Bayu Kristanto membentuk tim kerja internal akusisi Project Diamond untuk melakukan kajian kelayakan dan membuat proposal akusisi blok BMG di Australia. Dibentuk juga tim internal yaitu PT Delloite Konsultan Indonesia sebagai "financial advosior project diamond" dan Baker McKenzie Sydney sebagai "legal advisor project diamond".

Namun hasil "due dilligence" tim teknis hanya menyadur hasil penilaian yang dikeluarkan "resource Investment Strategy Consultans" atas permintaan ROC pada Januari 2009 dan tidak pernah melakukan penilaian sendiri terkait rencana investasi itu. Tim teknis lalu menyarankan diperlukan waktu 'due dilligence' yang lebih lama," ungkap jaksa

Sedangkan hasil "due dilligence" tim eksternal yang selesai pada 23 April 2009 datanya tidak lengkap karena ada data yang tidak diserahkan oleh ROC meski sudah diminta Pertamina.

Selain itu, rencana pengembangan lapangan gas belum didukung oleh perjanjian penjualan gas yang final dan fasilitas produksi, penyimpanan dan pengangkutan terapung sehingga skenario akusis ditambah "upside" potensial tidak dapat dilakukan bila tidak dipenuhinya syarat dan kondisi yang menjadi temuan Delloite.

Pada 6 Maret 2009, R Gunung Sardjono juga menandatangani "confidentiality agreement" (CA) yaitu perjanjian rahasia dan memberikan 'access data room' kepada PT Pertamina untuk mengakses dan mendapatkan seluruh dokumen meski belum ada pembahasan dan persetujuan dari direksi dan komisaris PT Pertamina.

Pada 19 Maret, Bayu Kristanto memaparkan fungsi renbang bisnis dan transformasi korporat dan tim Komite Investasi Risiko Usaha (KIRU) padahal presentasi itu belum dilengkapi proposal usulan yang ditandatangani Direktur Hulu PT Pertamina serta belum dilengkapi hasil "due dilligence" dari tim kerja internal dan eksternal.

Tujuan pemaparan Bayu Kristanto itu hanya untuk memenuhi syarat formalitas belaka dan tidak dilengkapi hasil kajian akhir dan proposal usulan investasi juga belum ada kajian aspek hukum.

Rapat direksi Pertamina pada 17 April 2009 yang dihadiri Karen Agustiawan selaku Dirut Pertamina sekaligus Plt Direktur Hulu, Frederick ST Siahaan selaku Direktur Keuangan dan Komisaris PT Pertamina Hulu Energi, Oemar S Anwar selaku Wakil Dirut, Waluyo selaku Direktur SDM dan Umum, Rukmini Hadiharti selaku Direktur Pengolahan, Faisal selaku Direktur Pemasaran dan Genades Panjaitan selaku Legal and Compliance serta Bayu Kristanto memutuskan menyetujui melakukan akusisi blok BMG.

Humayun Bosha selaku anggota Komisaris Pertamina dan juga Ketua Komite Bidang Hulu menghubungi Umar Said selaku anggota Komisari dan menyatakan tidak menyetujui usulan Direksi dengan pertimbangan bahwa pengoperasian blok BMG Australia tidak optimal sehingga investasi PT Pertamina di sana tidak akan menguntungkan dan tidak menambah cadangan minyak.

Pada 30 April, Humayun Bosha dan Umar Said mengundang Karen Agustiawan untuk mempertimbangkan kembali usulan karena ada masalah dalam pengoperasian produksi blok BMG Australia. Terhadap saran itu terdakwa mengatakan "Ini hanya kecil, hanya 10 persen, kita hanya ikut-ikutan saja di sana untuk melatih orang-orang saya ikut bidding dan bukan untuk menang".

Humayun dan Umar Said lalu mendukung rencana tersebut sepanjang untuk melatih tim Pertamina ikut "bidding" di Australia dan bukan untuk mengakusisi PI blok BMG Australia dengan mengatakan "bukan untuk menang ya".

Dewan Komisaris Pertamina pada 30 April 2009 yang terdiri atas Sutanto, Umar Said, Maizar Rahman, Sumarsono, Gita Irawan Wirjawan dan Humayun Bosha melakukan rapat Komisaris yang berisi rekomendasi usulan investasi non-rutin "project Diamond" hanya untuk melatih tim Pertamina ikut bidding di Australia dan bukan untuk mengakusisi blok BMG.

 

3 dari 3 halaman

Menentukan Nilai Pembelian Saham

Karen dan Bayu Kristanto lalu menentukan nilai pembelian saham blok BMG sebesar 30 juta dolar AS untuk pembelian PI 10 persen dan menandatangani surat penawaran kepada pihak ROC meski mengabaikan hasil "due dilligence" Delloite yang menyatakan berisiko bila Pertamina mengakusisi PI sebesar 10 persen.

Penentuan nilai penawaran dilakukan Karen bersama Bayu Kristanto hanya mendasarkan atas perhitungan skenario upside potensial sebagaimana permintaan Bayu Kristanto kepada Delloite padahal berdasarkan perhitungan Delloite, cadangan minyak atas blok BMG Australia untuk PI memiliki Net Present Value Negative.

Frederick ST Siahaan, Bayu Kristanto, Direktur Pertamina Hulu Energi (PHE) Bagus Setiardja, Dwi Martono dan Zulkha Arfa berangkat ke Australia pada 26 Mei 2009 untuk menandatangani surat kesepakatan jual beli (SPA) tanpa menunggu persetujuan Dewan Komisaris.

Penandatanganan SPA dilakukan pada 27 Mei 2009 oleh Ferederick ST Siahaan mewakili PT Pertamina dan Bruce Clement serta Anthony Neilson mewakili Anzon Australia Pty Ltd disaksikan David Ryan dan Bagus Setiardja mewakili PHE.

Setelah SPA ditandatangani, Dewan Komisaris mengirimkan memorandum berisi kekecewaan karena SPA ditandatangani tanpa persetujuan Dewan Komisaris sehingga melanggar anggaran dasar Pertamina serta meminta agar direksi tidak meneruskan rencana transaksinya.

Namun Karen Agustiawan dalam tuntutan disebut tidak menghiraukan Dewan Komisaris dan tetap melanjutkan PI di blok BMG sekaligus meminta maaf bila proses permohonan persetujuan dari direksi ke Dewan Komisaris ada miskomunikasi.

Pembayaran dilakukan secara bertahap yaitu pada 22 Juni 2009 sebesar 3 juta dolar AS, pada 18 Agustus 2009 sebesar 28.492.851 dolar AS dan pada 6 Oktober 2009 sebesar 1.994.280 dolar AS.

Sejak 20 Agustus 2010, ROC selaku operator di blok BMG menghentikan produksi dengan alasan lapangan itu tidak ekonomis lagi sehingga sejak pembelian sampai penghentian produksi Pertamina tidak memperoleh keuntungan secara ekonomis. Meski ROC sudah berhenti beroperasi di Blok BMG namun PHE tetap wajib membayar kewajiban biaya operasional (cash call) sampai 2012 yaitu 35.189.996 dolar Australia.

Investasi di blok BMG itu pun sudah tidak ada nilainya karena manajemen PT PHE Australia sudah melakukan penurunan nilai sebesar 66.298.933 (nilai penuh) atau setara Rp568,066 miliar karena adanya penurunan jumlah cadangan pada proyek tersebut.

Nilai Rp568,066 miliar merupakan akumulasi nilai yang tercatat dalam aset yaitu nilai pembelian, nilai 'cash call' dan aset 'retirement obligation'. Selanjutnya pada 26 Agustus 2013, Pertamina menarik diri dari blok BMG untuk menghindari kerugian lebih lanjut.

 

Reporter: Yunita Amalia

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.