Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menginginkan agar kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istri Itjih Nursalim segera naik ke persidangan.
"Banyak cara yang bisa kita pakai. Tetapi yang jelas kita harus masuk secepatnya prosesnya di pengadilan," ujar Saut di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (12/6).
Saut mengatakan, dalam persidangan nanti akan digunakan metode in absentia, alias tak perlu menghadirkan Sjamsul dan Itjih di Pengadilan Tipikor. Menurut Saut, fokus utama lembaga antirasuah yakni mengejar aset milik Sjamsul untuk pengembalian kerugian keuangan negara.
Advertisement
"Ya paling begitu, nanti kalau dia tidak hadir, tetapi kita kalau berpikir hidup di Indonesia itu lebih enak kok, pulang saja ke Indonesia," kata Saut.
Saut juga memastikan dalam menangani kasus BLBI ini pihaknya bekerjasama dengan CPIB Singapura. Menurut Saut, pihak otoritas penegak hukum di Singapura bersedia kerja sama dengan KPK.
"CPIB, Oh ya sudah jelas itu kerja sama nanti bagaimana mereka bisa bantu kita. Mereka welcome kok, Pak Laode (Syarif) sudah dua kali ke sana," kata Saut.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:Â
Pengembangan Kasus
Penetapan ini merupakan pengembangan dari perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang divonis 15 tahun penjara.
Berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul sebesar Rp 4,58 triliun.
Sjamsul dan Itjih sendiri diketahui menetap di Singapura. Meski demikian, aset dan bisnis Sjamsul menjalar di Tanah Air.
Salah satunya, PT Gajah Tunggal Tbk yang memiliki anak usaha seperti PT Softex Indonesia, PT Filamendo Sakti, dan PT Dipasena Citra Darmadja. Selain itu, Sjamsul juga menguasai saham Polychem Indonesia yang sebelumnya bernama GT Petrochem.
Sjamsul juga memiliki sejumlah usaha ritel yang menaungi sejumlah merek ternama seperti Sogo, Zara, Sport Station, Starbucks, hingga Burger King.Â
Penasihat hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail menganggap KPK telah menodai perjanjian yang sudah dibuat pemerintah dengan warga negara. Hal tersebut dikatakan Maqdir menanggapi penetapan kliennya sebagai tersangka korupsi penerbitan surat keterangan lunas BLBI terhadap BDNI.
"SN (Sjamsul) telah mengikuti permintaan pemerintah untuk menandatangani MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) pada 21 September 1998 kemudian ditindaklanjuti dengan memberikan surat R&D pada 25 Mei 1999," ujar Maqdir dalam siaran pers, Rabu (12/6/2019).
Menurut Maqdir, dalam penandatanganan tersebut pemerintah berjanji melepaskan Sjamsul dari segala tuntutan hukum. Dan kini KPK menjerat Sjamsul dan istri sebagai tersangka.
Advertisement
Respons Pengacara
Selain itu, Maqdir juga mempersoalkan penetapan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka lantaran audit BPK tahun 2017 yang menyebut ada kerugian negara Rp 4,58 triliun atas penerbitan SKL BLBI terhadap BDNI.
Padahal, menurutnya dalam audit BPK tahun 2002 dan 2006 tidak disebutkan adanya kerugian keuangan negara dari penerbitan SKL tersebut.
"Selain tidak lazim, proses audit BPK 2017 itu juga justru bertentangan dengan dua hasil audit sebelumnya oleh BPK. Saat ini, pihak SN tengah mengajukan gugatan atas hasil dan proses audit BPK 2017 ini di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Kini proses pemeriksaan perkara dan persidangannya masih berlangsung," kata dia.
KPK sendiri menyebut perbedaan laporan audit dari BPK terkait penerbitan SKL BLBI terhadap BDNI sudah dijelaskan di Pengadilan Tipikor.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, perbedaan audit BPK tersebut sejatinya tak lagi diperdebatkan. Menurut Febri, audit BPK di tahun 2002 dan 2006 merupakan audit kinerja, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pertimbangan hakim Pengadilan Tipikor.
"Sedangkan audit BPK tahun 2017 merupakan audit untuk tujuan tertentu, yakni untuk menghitung kerugian negara," ujar Febri saat dikonfirmasi, Selasa (11/6/2019).
Menurut Febri, dari pada pihak Sjamsul memperdebatkan audit tersebut, lebih baik pihak Sjamsul beritikad baik dengan meminta agar Sjamsul dan istrinya Itjih Nursalim menyerahkan diri ke KPK. Sjamsul dan Itjih sudah dijadikan tersangka dalam kasus ini.
"KPK memandang akan lebih baik jika pihak kuasa hukum SJN (Sjamsul) dan ITN (Itjih) membantu menghadirkan para tersangka untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut agar para tersangka juga dapat memberikan keterangan sesuai dengan data dan apa yang diketahui," kata Febri.
Febri mengatakan, sebelum menjerat Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka, pihak KPK terlebih dahulu sudah memberikan kesempatan agar keduanya menjelaskan kepada penyidik KPK, namun kesempatan tersebut tak digunakan dengan baik.
"KPK justru telah memberikan ruang yang cukup sejak tahap penyelidikan pada SJN dan ITN untuk menyampaikan keberatan atau Informasi bantahan terhadap proses yang dilakukan KPK, namun hal tersebut tidak pernah digunakan," kata Febri.