Sukses

Polisi: Lebih 20 Saksi Diperiksa Sebelum Tetapkan Sofjan Jacoeb Tersangka Makar

Menurut polisi, penetapan Sofjan Jacoeb sebagai tersangka berdasarkan hasil dari penyidikan dan pemeriksaan saksi-saksi.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Kapolda Metro Jaya, Komisaris Jenderal Purnawirawan Mohammad Sofjan Jacoeb terjerat kasus makar.

Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menetapkan lulusan Akabri Kepolisian tahun 1970 tersebut sebagai tersangka dalam kasus dugaan makar.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, penetapan Sofjan Jacoeb sebagai tersangka berdasarkan hasil dari penyidikan dan pemeriksaan saksi-saksi.

"Saksi 20 orang lebih kita sudah mintakan (keterangan), saksi ahli pun sudah kita periksa untuk kasus ini. Kasus makar ini sudah beberapa kami lakukan pemeriksaan," kata Argo di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Kamis (13/6/2019).

Argo menambahkan, Sofjan diduga ikut melakukan permufakatan jahat dan juga diduga menyampikan kabar dan pemberitaan yang belum dicek kebenarannya.

"Misalnya, ada (unsur) pemerintah yang melakukan kegiatan curang, kemudian untuk kemenangan disampaikan juga. Tentunya yang berhak untuk menyampaikan (pemenang) pemilu adalah KPU," kata Argo.

Berdasarkan sejumlah informasi, juga bukti-bukti yang dimiliki, Sofjan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

Saat ditanya tentang hubungan Sofjan Jacoeb dengan Kivlan Zen, yang juga ditetapkan dalam kasus makar, Argo mengatakan bahwa semuanya masih didalami oleh penyidik.

Saksikan video menarik berikut ini

2 dari 2 halaman

Berseteru dengan Gus Dur

Sofjan Jacoeb lahir di Tanjungkarang, Lampung, 31 Mei 1947. Dia mengenyam pendidikan kepolisian di Akabri Kepolisian tahun 1970.

Mei 2001, Sofjan dipromosikan sebagai Kapolda Metro Jaya setelah sebelumnya bertugas sembilan bulan sebagai Kapolda Sulawesi Selatan.

Catatan Liputan6.com, purnawirawan polisi jenderal bintang tiga itu sempat terkejut saat Kepala Polri Jenderal Bimantoro menghubunginya via telepon genggamnya. Kala itu, Kapolri meminta Sofjan menggantikan Irjen Mulyono Sulaeman yang memasuki masa pensiun.

"Pengangkatan saya tak istimewa," kata Sofjan kala itu merespons soal promosinya tersebut.

Bagi Sofjan, pengangkatan itu adalah sebuah tantangan tugas. Sebagai pusat kegiatan politik dan keamanan, langkah pengamanan di Jakarta tentu lebih kompleks.

Sebulan menjabat, Sofjan langsung menuai polemik dengan Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Dia dianggap membangkang atau insubordinasi terhadap presiden. Hingga akhirnya Gus Dur geram dan memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan Agum Gumelar dan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail untuk menangkapnya.

Tidak hanya Sofjan, perintah penangkapan pun dilayangkan kepada Kapolri saat itu, Jenderal Surojo Bimantoro. Keduanya dinilai telah melakukan tindakan insubordinasi, tidak mematuhi perintah atasan.

"Untuk itu, Presiden perintahkan Menko Polsoskam Agum Gumelar dan Wakapolri untuk mengambil tindakan tegas secara hukum terhadap pelaku-pelaku insubordinasi," kata Juru Bicara Kepresidenan Yahya Cholil Staquf dalam jumpa pers di Bina Graha Jakarta, Kamis 12 Juli 2001.

Presiden Gus Dur menyesalkan pernyataan Kapolda Sofjan yang akan menangkap Presiden dan Wakapolri. Gus Dur juga menyayangkan rapat-rapat yang dihadiri sejumlah jenderal Polri di rumah dinas Bimantoro.

Lantas, apa respons Sofjan kala itu?

"Saya jawab ha ha ha, ketawa aja," kata Sofjan di tempat terpisah.

Bahkan, Sofjan sempat berkelakar dengan beberapa jenderal polisi terkait keputusan presiden kala itu.

"Tolong dibawakan sikat gigi dan ayam goreng, bila saya mendekam di tahanan," kata Sofjan setengah terkekeh, seusai acara penutupan sekolah calon bintara (Secaba) di Sekolah Kepolisian Negara Lido, Sukabumi, Jawa Barat.

Menurut Sofjan, dia siap menghadapi tindakan tersebut asalkan semuanya sesuai prosedur hukum. "Silakan saja. Dengan senang hati saya ingin bekerja sama," kata Sofjan.