Sukses

Sambil Menangis, Ratna Sarumpaet Bacakan Nota Pembelaan Kasusnya

Dalam pleidoi terpisah, pengacara Ratna Sarumpaet, Desmihardi, menyinggung kasus kliennya bernuansa politis.

Liputan6.com, Jakarta - Persidangan dengan terdakwa penyebaran berita bohong Ratna Sarumpaet memasuki babak akhir. Ratna yang telah menyiapkan nota pembelaan atau pleidoi, membacakannya sambil menangis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (18/6/2019).

Dalam pembelaannya itu, Ratna menyebut bahwa kasus yang menjeratnya sarat muatan politis. Dia menuding sejumlah pihak seperti media massa, media sosial, bahkan penyidik berusaha keras menggiring kasus yang menjeratnya ke panggung politik.

"Seolah saya telah dengan sengaja menciptakan dan menyebarkan kebohongan demi kepentingan salah satu pasangan calon presiden," kata Ratna yang membacakan nota pembelaannya sambil menangis dan terbata-bata.

Untunglah, kata dia, persidangan demi persidangan yang digelar dan telah melalui saksi-saksi dan ahli yang dihadirkan di persidangan tidak mampu membuktikan bahwa apa yang diberbuatnya sebagai upaya untuk menguntungkan salah satu konstestan Pilpres 2019.

"Tapi semata-mata untuk menutupi pada anak-anak saya 'dalam usia saya yang sudah lanjut saya masih melakukan operasi plastik sedot lemak'," kata Ratna.

Pengacara Ratna Sarumpaet menyampaikan pleidoi atas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, JPU menuntut terdakwa dengan hukuman 6 tahun penjara.

Sementara dalam pleidoi terpisah, pengacara terdakwa, Desmihardi, menyinggung kasus kliennya bernuansa politis. Dia mengatakan, terdakwa pernah menjabat sebagai juru bicara salah satu paslon capres yang bertarung di Pilpres 2019. Ratna Sarumpaet juga sangat kritis terhadap pemerintah.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Komoditas Politik

Selain itu, perkara ini melibatkan tokoh-tokoh penting, tidak heran apabila perkara ini dijadikan komoditas politik untuk menghantam lawan politik. Bahkan, perkara ini dibahas dalam berbagai acara debat termasuk debat capres-cawapres yang diselenggarakan KPU.

"Sehingga begitu istimewanya perkara terdakwa, penyidik Polda Metro dan penuntut umum harus menggunakan pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana," ucap Desmihardi di persidangan, Selasa (18/6/2019).

Padahal, Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sudah lama tidak dipakai oleh penegak hukum. Terlebih saat hadirnya Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Pers.

"Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tidak tepat lagi karena sudah lahir Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Pers," kata Desmihardi.

Selain itu, pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana merupakan delik materil. Sehingga, JPU wajib membuktikan keonaran yang terjadi di masyarakat. Sementara, JPU hanya membuktikan keonaran dengan adanya demonstrasi, konferensi pers dan twit pro dan kontra di media sosial.

"Bahwa itu keliru karena yang disebutkan tadi tidak menimbulkan korban," ujar dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.