Liputan6.com, Jakarta - Sidang lanjutan sengketa Pilpres 2019 sudah selesai digelar Mahkamah Konstitusi atau MK pada Selasa, 18 Juni 2019. Sidang tersebut beragendakan mendengarkan jawaban dari KPU selaku termohon serta Bawaslu dan TKN Jokowi-Ma'ruf selaku pihak terkait.
Saat sidang sengketa Pilpres 2019 digelar MK, secara bergantian para termohon dan pihak terkait menjawab setiap pertanyaan.
Baca Juga
Namun rupanya, ada beberapa hal yang menjadi perdebatan. Salah satunya adalah soal saksi. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berharap MK memberikan ruang kepada pihaknya untuk menghadirkan saksi sebanyak-banyaknya.
Advertisement
Tetapi, dalam Peraturan MK Nomor 4 tahun 2018 secara jelas dinyatakan bahwa jumlah saksi yang diperbolehkan adalah sebanyak 15 saksi fakta dan dua saksi ahli.
Selain itu, soal perlindungan saksi juga menjadi perdebatan. BPN berharap, saksi yang dihadirkan pada sengketa gugatan Pilpres 2019 di MK bisa mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Berikut dua hal yang diperdebatkan dalam sidang sengketa Pilpres 2019 di MK dihimpun Liputan6.com:
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
1. Jumlah Saksi
Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berharap MK memberikan ruang kepada pihaknya untuk menghadirkan saksi sebanyak-banyaknya dalam persidangan sengketa Pemilu 2019.
"Kami berharap kepada MK, agar memberikan ruang bagi kami untuk menghadirkan jumlah saksi yang sebanyak-banyaknya," kata Jubir BPN Andre Rosiade.
Politikus Partai Gerindra itu menuturkan, pihaknya berencana menghadirkan 30 orang sebagai saksi dalam persidangan. Menurutnya, untuk mengungkap kecurangan Pemilu 2019, dibutuhkan saksi yang banyak.
"Kenapa jumlahnya banyak, karena dugaan yang kami sampaikan ini dugaan TSM, dugaan abuse of power, tentu membutuhkan saksi yang banyak. Tidak mungkin kami bisa membuktikan dugaan TSM kalau hanya saksi ahlinya dua. Atau saksi faktanya 15," ungkap Andre.
Hal itu pun ditanggapi oleh Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Arsul Sani. Dia menilai, permintaan BPN yang ingin menghadirkan 30 saksi atau lebih dalam persidangan sengketa hasil Pemilu 2019 di MK menabrak peraturan.
"Jangan kemudian karena baru kepikiran sekarang saksinya banyak, kemudian mau mengobrak-abrik semua ketentuan beracara, kalau dari awal mereka well plan, well organize, direncanakan baik, (maka) bukan hanya pikiran sesaat," kata Arsul.
Dia menuturkan, dalam Peraturan MK Nomor 4 tahun 2018 secara jelas dinyatakan bahwa jumlah saksi yang diperbolehkan adalah sebanyak 15 saksi fakta dan dua saksi ahli. Dia menilai, tim hukum paslon 02 tak memahami peraturan MK.
"Kalau mau protes sebelum mengajukan permohonan memangnya tidak dibaca dulu peraturan tata tertibnya?" sindir politisi PPP itu.
Dan benar saja, sesuai dengan rapat permusyawarahan hakim (RPH), jumlah saksi dibatasi sebanyak 15 orang dan 2 ahli untuk masing-masing pihak.
"Sesuai RPH demikian jumlahnya," kata Kabag Humas MK Fajar Laksono.
Sidang lanjutan sengketa Pilpres 2019 akan dilanjutkan hari ini, Rabu (19/6/2019). Pada sidang tersebut, MK bakal mendengarkan keterangan 15 saksi dan ahli dari BPN Prabowo-Sandiaga Uno.
"Sidang akan dilanjut Rabu 19 Juni 2019, pukul 09.00 WIB. Kita mulai dengan agenda mendengar keterangan saksi dan ahli dari pemohon serta pengesahan alat bukti tambahan dari pemohon kalau ada," ujar Ketua Majelis Hakim, Anwar Usman, Jakarta, Selasa, 18 Juni 2019.
Penetapan jumlah saksi dan ahli ini juga sempat mendapat protes dari ketua tim hukum BPN, Bambang Widjojanto. Sebab, dia khawatir, 15 saksi dan 2 ahli ini tidak cukup untuk membuktikan hal-hal yang diperkarakan di MK.
Sebenarnya, kata Bambang, jumlah saksi yang akan diajukannya dua kali lipat dari yang ditetapkan mahkamah.
Namun, hakim MK Suhartoyo menjelaskan, pembatasan ini dilakukan agar majelis dapat memeriksa secara optimal. Mahkamah juga ingin menghindari prasangka keberpihakan.
"Mahkamah ingin menggali kualitas di banding kuantitas," tutur Suhartoyo dalam sidang.
Â
Advertisement
2. Perlindungan Saksi
Jubir BPN Andre Rosiade mengatakan, pihaknya juga sudah mengirimkam surat kepada MK untuk bisa memberikan restu kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) supaya para saksi BPN dapat dilindungi.
"Untuk itu LPSK memberikan saran dan masukan kepada pihak kami. Sehingga pada hari ini tim kuasa hukum kami mengirimkan surat ke MK, agar MK merekomendasikan kepada LPSK untuk melindungi saksi kami," kata Andre.
Menurut dia, hingga saat ini sudah ada kurang lebih 30 saksi yang bersedia membongkar bukti kecurangan Pilpres 2019. Akan tetapi, sejumlah saksi yang berasal dari luar daerah meminta jaminan keselamatan sebelum, sesaat dan sesudah bersaksi.
Selain itu, dia menyebut untuk saksi yang dihadirkan juga dapat menggunakan metode dari LPSK. Misalnya dengan bersaksi jarak jauh menggunakan teleconference.
"Atau berbicara di ruangan bertirai hitam untuk menyamarkan lokasi saksi. Hingga menyamarkan sejumlah informasi tentang saksi demi keselamatan pribadi," ucapnya.
Selain saksi, Andre meminta LPSK turut menjamin dan melindungi hakim MK yang bertugas saat sidang sengketa Pilpres 2019.
"Agar terlepas dari bentuk intervensi dan ancaman dalam memutuskan sengketa," jelasnya.
Anggota Tim Kuasa Hukum BPN Nicholay Aprilindo bercerita, bahwa pihaknya pernah merasakan hal tidak mengenakkan saat berjuang di MK pada 2014 silam untuk gugatan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Kala itu, banyak saksi tidak hadir di MK karena berada di bawah ancaman.
"Banyak saksi-saksi itu tidak dapat hadir dan tidak bersedia hadir karena memang berada di bawah ancaman dan juga tekanan. Ini fakta yang harus kita ungkapkan," kata Nicholay di Prabowo- Sandi Media Center, Jalan Sriwijaya I No 35, Jakarta Selatan, Senin, 17 Juni 2019.
Nicholay mengatakan, terdapat landasan hukum yang digunakan pihaknya untuk memastikan bila saksi yang akan dihadirkan mendapatkan jaminan hukum. Pihaknya pun telah berkonsultasi ke LPSK.
Kata dia, landasan hukum itu tertuang di Pasal 28 huruf g Undang-Undang 1945 yang berbunyi soal hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Menurut Ketua Tim Hukum BPN Bambang Widjojanto, para saksi sendiri yang mengaku ada ancaman.
"Apakah kita menjamin kekerasan tak akan muncul di sidang ini? Justru kami hadir karena orang yang kami hubungi menyatakan seperti itu. Kami konsultasi ke LPSK dan setelah konsultasi ada dua opsi," kata Bambang di ruang sidang MK.
Pernyataan Bambang tersebut lantas memunculkan perdebatan sengit di ruang sidang, Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan, sejak MK berdiri pada 2003, belum ada ancaman apa pun terhadap para saksi saat bersidang.
"Sepanjang MK, belum pernah ada yang terancam sejak 2003. Sidang terbuka. Oleh karena itu seseorang yang memberi keterangan baik saksi fakta atau ahli, selama di dalam ruangan MK tidak boleh satu orang merasa terancam," kata hakim Palguna.
Palguna meminta agar seluruh pihak jangan menjadikan sidang di MK ini menjadi sesuatu yang menyeramkan.
"Hingga saat ini belum ada peristiwa orang akan beri keterangan di MK terancam, belum pernah," tegas Palguna.
Ia menegaskan, keselamatan saksi selama bersidang pasti terjamin. Ia menyebut tidak boleh ada ancaman apapun.
"Selama dia kasih keterangan enggak boleh seseorang terancam ketika hendak melaksanakan hak konstitusional," tegasnya.