Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan sidang sengketa pilpres 2019 yang diajukan tim Prabowo-Sandiaga. Sidang ketiga mengagendakan keterangan saksi dari pemohon, Prabowo-Sandiaga. Tim hukum Paslon 02 menghadirkan 17 saksi. Ada 15 saksi fakta dan 2 saksi ahli. Â
Saksi pertama yang didengar keterangannya adalah Agus Muhammad Maksum. Ia merupakan anggota tim pemenangan pasangan capres-cawapres 02 yang bertugas meneliti Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu 2019. DPT yang disebutnya, khusus mengenai yang invalid atau tidak benar.
Saat menjelaskan soal penemuan KTP palsu dan KK manipulatif di sidang MK, saksi Agus mencontohkan, KTP invalid dan masuk DPT HP2.
Advertisement
"Misalnya Udung, lahir di Bandung," kata dia di Gedung MK, Rabu (19/6/2019).
Setelah menelusuri, kata Agus, pihaknya tidak menemukan siapa Udung ini. Karena tidak ada provinsi dengan kode 10 di KTP.
"Karena tidak ada kode 10. Maka kami yakini Pak Udung tidak ada kode KTP 10. Makanya enggak perlu ngecek ke sana dan itu langsung ke Dukcapil," tegas saksi.
Agus lantas menjelaskan soal kode 10 yang ada di KTP. Dia menyebut kode tersebut palsu. Kode tersebut menjelaskan asal provinsi di Indonesia.
"Jadi ini kami membaca data di DPT HP, kami yakin ini tidak akan ada di dunia nyata. Di dunia nyata kami tidak akan temukan," kata Agus.
"Maksudnya dunia nyata?" Aswanto kembali menanyakan.
"Maksudnya apakah namanya Udung punya KTP 10, kami pasti tidak menemukan, tidak ada provinsi berkode 10," kata Agus.
"Kami meyakini Pak Udung ini tidak memiliki kode 10, kalau ada pasti aneh," dia melanjutkan.
Agus kembali menjelaskan soal kode ID mulai dari Kartu Keluarga, Nomor Induk Kependudukan yang jelas menyebutkan nama, tanggal lahir, dan alamat Udung. Meski demikian, hakim tetap mencecar Agus.
"Berarti ada di dunia nyata?" tanya Aswanto
"Tidak ada," jawab Agus.
"Loh bagaimana tidak ada?" tanya Aswanto lagi.
"Nanti kami buktikan di saksi berikutnya," ujar Agus menimpali.
Sementara itu, pihak Termohon yang diwakili Hasyim Asy'ari menanyakan data-data yang disebut pihak Saksi sebagai dokumen manipulatif dan siluman. Hasyim lantas menanyakan prosedur Saksi dalam mengecek temuan dokumen palsu dan siluman.
"Saudara mengetahui by name, itu orangnya ada atau tidak? Seperti Udung tadi," tanya Hasyim.
Agus lantas menjelaskan bahwa dia dan timnya tidak mengecek langsung alamat Udung seperti yang tertera di dokumen kependudukan. Namun, melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
"Yang itu, kita ceknya Dukcapil bahwa nomor itu tidak ada," ujar Agus.
Namun, penjelasan itu justru langsung ditimpali oleh Hakim I Gede Dewa Palguna, "Jawab singkat saja, Pak," tegas Palguna.
"Sudah diingatkan oleh majelis saudara cukup menjawab apa yang ditanyakan penanya," ujar Palguna.
Agus kembali menjelaskan soal Udung dan proses verifikasi lapangan. Sebab, di awal Agus memastikan bahwa Udung tidak ada di dunia nyata, sementara yang terbaru Agus menjawab tidak tahu saat disinggung apakah dipastikan Udung tersebut datang ke TPS saat pemungutan suara.
"Pasti tidak hadir karena tidak ada," kata Agus.
"Tidak, yang saudara ketahui?" tegas Palguna.
"Ya tidak tahu," jawab Agus.
"Semula Anda sebut tidak ada di dunia nyata, kemudian Anda bilang tidak tahu," kata Palguna menegaskan
"Sebentar, saya agak bingung Yang Mulia," ujar Agus lagi.
Palguna lantas kembali meminta kejelaskan Agus soal Udung, apakah Saksi tidak tahu atau tidak ada di dunia nyata soal sosok Udung ini.
"Saudara mau gunakan yang mana?" kata Palguna.
"Tidak tahu," jawab Agus.
Kebelet ke Kamar Kecil
Di bagian kedua, tim hukum Prabowo-Sandi mendatangkan Idham Amiluddin yang merupakan seorang konsultan khusus membaca database sebagai saksi fakta.
Idham menuturkan kesaksiannya atas dugaan adanya NIK yang bermasalah, kecamatan siluman atau kecamatan yang diragukan sehingga berpengaruh kepada DPT.
Idham meragukan adanya NIK yang bermasalah dikarenakan perbedaan angka NIK dengan jumlah kecamatan yang harusnya ada. Seperti yang dicontohkan adanya dugaan terhadap 437.251 NIK yang menurut istilah saksi adalah rekayasa.
Saat diberikan kesempatan kepada Komisioner KPU yaitu Viryan Aziz untuk mengutarakan pertanyaannya terhadap Idham tentang maksud data tentang Halaman 111 dia sulit menjawabnya sehingga Saldi Isra ingin menjabarkan pertanyaan agar Idham mengerti apa yang sedang dipertanyakan.
Namun, saat Saldi mulai berbicara tiba-tiba saja Idham menundukkan kepalanya dan membuat Saldi bingung.
"Pak Idham, Bapak bisa lihat saya ya?" tanyanya.
Namun ternyata Idham menahan buang air kecil dan meminta keringanan kepada majelis hakim untuk ke toilet.
"Yang Mulia, saya minta maaf saya mau buang air kecil," pinta Idham.
Hakim pun mengizinkan Idham dan meminta tim keamanan untuk mengantarkan Idham karena menurut hakim itu adalah tugas yang tidak dapat diwakilkan.
"Ya petugas keamanan tolong diantar, karena ini tugas yang tidak dapat diwakilkan," kata Hakim Saldi.
Selain Idham banyak dari para hadirin yang tiba-tiba ikut meninggalkan persidangan ke toilet.
"Ya ini tapi jangan pada keluar semuanya," pinta Hakim.
Kemudian persidangan akhirnya diskors 5 menit dan yang mulia hakim meninggalkan ruang persidangan.
Peristiwa tersebut membuat sidang menjadi cair. Suasana cair tidak hanya sampai di situ. Saat dimulainya kembali persidangan setelah diskors 5 menit, tiba-tiba saja hakim Arif Hidayat menanyakan apakah Idham sudah lega dan hal tersebut membuat seluruh hadirin persidangan tertawa.
"Gimana, Pak Idham sudah lega? Makanya kok kita lihat pak Idham megangin daerah situ terus, kenapa itu tadi?" Tanyanya mengawali persidangan kembali.
Advertisement
Saksi yang Merasa Terancam
Cerita berbeda datang dari saksi ketiga yang dihadirkan tim hukum Prabowo-Sandiaga, Hermansyah. Dia mengaku terancam sebelum datang ke persidangan di MK.
Hakim I Dewa Gede Palguna bertanya pada saksi Hermansyah apakah saat ini saksi merasa terancam saat bersaksi.
"Apakah sakarang saksi merasa terancam, saat ini?"Â tanya Palguna.
"Merasa terancam," jawab Hermansyah.
Hakim Palguna pun menanyakan alasan saksi merasa terancam. Hermasnyah menjelaskan alasannya karena sehari sebelum bersaksi banyak mobil yang tidak dikenal berhenti di depan rumahnya di kawasan Depok.
"Sering ada beberapa mobil berhenti, kemarin (dari CCTV) vidio banyak sekali sekitar lima mobil," jelas Hermansyah.
Mendengar jawaban saksi, Hakim Palguna mempertanyakan mengapa saksi tidak melapor polisi apabila merasa terancam.
"Kalau begitu kenapa tidak polisi?" tanya Palguna.
"Belum (lapor), karena bagi saya merasa belum ada ancaman," jawab Hermansyah.
Palguna menyebut jawaban saksi kontradiksi, sebab saksi merasa terancam namun tidak melapor polisi karena belum ada ancaman.
"Kenapa tidak lapor? Ada kontradiksi dalam pernyataan Anda. Anda merasa tidak wajar tapi tidak lapor," kata Palguna.
Hakim Palguna meminta saksi tidak bingung akan jawaban sendiri alias mencla-mencle. "Jangan in between, jangan tolah-toleh. Saya tanya Anda," tanya hakim.
Hermansyah mengaku tidak melaporkan apa yang dialaminya sebelum jadi saksi di MK karena belum ada aksi fisik langsung menimpanya.