Liputan6.com, Jakarta - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendesak Polri dan otoritas terkait mengusut kasus human trafficking atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus pengantin pesanan yang dikirim ke China.
Setidaknya, SBMI telah menemukan sekitar 29 perempuan asal Indonesia yang telah menjadi korban pengantin pesanan dan terjebak di China. 3 Orang di antaranya berhasil pulang ke Indonesia setelah mengalami sejumlah pengalaman pahit di China.
Baca Juga
SBMI dan pegiat HAM lainnya mendesak Polri membongkar sindikat perekrutan yang terorganisirasi dalam kasus TPPO modus pengantin pesanan antarnegara ini. Apalagi terdapat anak di bawah umur di antara korban yang dikirim.
Advertisement
"Dan memproses serta menyelesaikan kasus dengan menerapkan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU Perlindungan Anak," ujar Sekjen SBMI Bobi Anwar Ma'arif di Kantor LBH Jakarta, Minggu 23 Juni 2019.
Data pelaporan korban yang dihimpun SBMI memperlihatkan, bahwa saat tinggal di negara asal suami atau pemesan, mereka diharuskan bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang.
Sepulang kerja, mereka tetap diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai oleh suami. Para korban juga dilarang berhubungan dengan keluarga di Indonesia.
Bobi mengatakan, mereka diancam harus mengganti kerugian yang sudah dikeluarkan oleh keluarga suami di China bila ingin kembali ke Indonesia.
Eksploitasi juga dilakukan oleh sindikat perekrut yang terorganisasi dengan mengambil keuntungan ratusan juta rupiah dari perkawinan pesanan ini.
"Mereka juga kerap dianiaya oleh suami dan keluarga suami dan dipaksa untuk berhubungan seksual oleh suami bahkan ketika sedang sakit," ucap Bobi.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Sederet Pelanggaran Hukum
Lebih lanjut, kata Bobi, kasus perkawinan pesanan tersebut telah melanggar beberapa instrumen perlindungan. Yaitu tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi pemerintah melalui UU No 7 Tahun 1984.
Bobi mengatakan, pada konvensi itu telah mengamanatkan kepada negara-negara pihak untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan keluarga.
Serta memastikan laki-laki dan perempuan memiliki hak sama, bebas memilih pasangan dan menikah dengan persetujuan penuh antara kedua belah pihak.
Kasus tersebut juga melanggar UU No 21 Tahun 2007 tentang TPPO Pasal 2 dan Pasal 4 yang mengatur mengenai sanksi hukuman penjara bagi para pelaku, yakni paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun.
"Hingga sekarang pelaku kasus perkawinan pesanan belum mendapatkan sanksi seperti yang tertuang dalam UU TPPO yakni minimal 3 tahun," ucapnya.
Lanjutnya, kasus itu melanggar Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam kasus ini terdapat 2 korban yang masih berusia anak-anak.
Advertisement