Sukses

HEADLINE: 47 Ribu Aparat Kawal Sidang MK, Jangan Lagi Ada Rusuh Massa

Dengan kekuatan 47.000 aparat keamanan, Polri meminta masyarakat agar tidak takut beraktivitas saat sidang putusan MK berlangsung.

Liputan6.com, Jakarta - Masjid Alfalah di Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat, terlihat sepi, Senin (24/6/2019) petang. Hanya terlihat beberapa orang yang tengah menunaikan ibadah salat Asar.

Di dalam masjid, juga tak terlihat adanya kelompok massa atau musafir yang bersiap menginap di tempat ibadah berlantai dua tersebut. Tempat parkir kendaraan terlihat lengang, tak ada bus berplat nomor luar kota yang berhenti lama di sana. 

Padahal, jelang dibacakannya putusan hasil sengketa Pilpres 2019 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis 27 Juni 2019 mendatang, nama masjid ini santer disebut.

Nama Alfalah ada dalam poster yang beredar. Selebaran berjudul 'Daftar Masjid Persinggahan Aksi Kedaulatan Rakyat', memuat nama 27 rumah ibadah yang diklaim siap menampung para demonstran. 

Namun, kabar itu dibantah pengurus Masjid Alfalah. "Kalau ada flyer itu dulu iya, kalau saat ini tidak ada," kata pengurus Masjid Alfalah, Fahmi kepada Liputan6.com, Jakarta, Senin (24/6/2019).

Kendati demikian, dia menilai setiap masjid merupakan milik umat. Siapa pun boleh menggunakannya sepanjang sesuai aturan yang ditentukan dalam Islam.

"Pada umumnya masjid punya umat. Siapa pun yang niatnya musafir, datang jauh-jauh dari luar, terus di-framing kayak gitu. (Padahal) kita kan tidak seperti yang diberitakan," jelas dia.

Masjid Alfalah di Jalan Bendungan Hilir, Jakarta. (Liputan6.com/Ady Anugrahadi)

 

Sementara itu juru bicara Persatuan Alumni (PA) 212, Novel Bamukmin memastikan, pihaknya akan menggelar aksi pada Rabu 26 Juni 2019. Kegiatan akan berlangsung di depan Patung Kuda, sejak pukul 08.00 hingga 18.00 WIB.

Seperti sebelumnya, Novel menjanjikan massanya akan bubar setelah sidang MK berakhir, tak akan melampaui batas waktu. Sesuai dengan aturan. 

Dia memastikan bahwa kegiatan, yang diklaim bakal diikuti ratusan ribu orang itu, akan berlangsung super damai. Karena hal serupa juga pernah terjadi dalam aksi sebelumnya.

"Kita layangkan surat pemberitahuan, kita ikuti prosedur. Mudah-mudahan polisi dukung kita lagi, bantu lagi, memberikan kepercayaan kepada kita," ucap ujar Novel saat dihubungi Liputan6.com, Senin (24/6/2019).

Dia menilai, gerakan ini bukan urusan politik. Karena urusan itu sudah selesai pada sidang putusan MK, 27 Juni 2019 mendatang.

"Sedangkan ini, kan kita bela agama. Tegakkan keadilan ya enggak ada batasnya sampai keadilan tegak. Itu tugas kita," ujar dia, tanpa menjelaskan lebih detail. 

Terkait permintaan capres Prabowo Subianto agar tak ada aksi pendukung saat sidang putusan MK, Novel mengakui itu bagian imbauan politik. Bagi dia, itu sesuatu hal yang berbeda.

"Kita beda bagian. Bagian kita bukan bagian politik, bela kedaulatan rakyat, Pancasila," ujar dia.

Infografis Pengamanan Putusan MK Sengketa Pilpres 2019 (Liputan6.com/Triyasni)

Merespons niat massa yang akan turun ke jalan, Kadiv Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menegaskan, aksi tersebut dilarang undang-undang. Alasannya, karena lokasi demo berada di jalan protokol.

"Aksi di jalan protokol depan MK oleh pihak mana pun dilarang karena melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, Pasal 6, yang bisa mengganggu ketertiban umum dan hak orang lain," kata Argo kepada Liputan6.com, Senin (24/6/2019).

Dia tak ingin aksi di depan Gedung Bawaslu, Jakarta, kembali terulang. Kegiatan yang berlangsung 21-22 Mei 2019 lalu awalnya berjalan damai namun berubah menjadi rusuh hingga menewaskan 9 orang.

"Belajar dari insiden Bawaslu, meski disebutkan aksi superdamai tetap saja ada perusuhnya. Diskresi kepolisian disalahgunakan," kata dia.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Komisaris besar (Kombes) Pol Argo Yuwono, menjelaskan penangkapan tersangka pengaturan skor Johar Lin Eng. (Bola.com/Zulfirdaus Harahap)

Dia pun mengimbau, PA 212 agar menggelar acara halalbihalal di lokasi lain, tidak di gedung MK. "Silakan halalbihalal dilaksanakan di tempat yang lebih pantas, seperti di gedung atau di rumah masing-masing," katanya.

Untuk mengamankan aksi saat sidang putusan sengketa Pilpres di MK, Polri menerjunkan 47.000 personel gabungan. Mereka akan disiagakan di Ibu Kota DKI Jakarta.

"Jadi seluruh kekuatan yang terlibat dalam pengamanan di gedung MK dan sekitarnya hampir 47.000," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (24/6/2019).

Jumlah itu terdiri dari 17.000 personel TNI dan 28.000 personel Polri. Selain itu, anggota pemerintah daerah sebanyak 2.000 orang. 

"Fokus pengamanan adalah Gedung MK dengan jumlah personel sekitar 13.000 orang," ujar Dedi.

Objek vital nasional juga menjadi perhatian penjagaan aparat. Tempat-tempat itu seperti Istana Kepresidenan, kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan beberapa kedutaan besar negara sahabat.

Dengan kekuatan 47.000 aparat keamanan itu, ia meminta masyarakat agar tidak takut beraktivitas. Mereka diharapkan melakukan kegiatan seperti biasa.

"Masyarakat diimbau tidak perlu takut. Jaminan keamanan ini diberikan aparat keamanan baik dari unsur Polri maupun TNI dan tentunya dari unsur Pemda juga," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Diimbau Tak Mobilisasi Massa

Karopenmas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo sebelumnya mengimbau semua pihak agar tidak mengerahkan massa ke Gedung Mahkamah Konstitusi saat sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK.

"Polri mengimbau untuk tidak melakukan mobilisasi massa ke MK karena semua tahapan PHPU sudah pada jalur konstitusional," kata Dedi, Minggu 23 Juni 2019.

Hal itu karena menurut dia, bisa mengganggu proses jalannya sidang perselisihan Pemilu di MK yang waktunya terbatas. Menurutnya, pelarangan ini untuk mencegah terjadinya kericuhan yang berujung korban seperti pada peristiwa 21-22 Mei 2019.

Istana juga angkat bicara soal ini. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai aksi itu tidak perlu dilakukan. Mantan Panglima TNI ini lantas mempertanyakan, apa tuntutan pihak terkait dalam aksi mengawal putusan sidang sengketa hasil Pilpres 2019.

Kepala Staf Presiden Moeldoko saat wawancara dengan KLY di Jakarta, Rabu (16/1). Dalam wawancara tersebut Moeldoko memaparkan kinerja kerja pemerintahan Jokowi-JK hingga saat ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

"Ya jangan lah, mau apalagi? Masyarakat ingin damai lah," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (24/6/2019).

Dia meminta PA 212, GNPF dan sejumlah organisasi itu tidak menggelar aksi di depan MK. Selain mengganggu aktivitas warga DKI Jakarta, aksi mengawal putusan sidang sengketa hasil Pilpres 2019 dianggap sia-sia.

"Ditekan apapun MK kan enggak bisa. Imbauan saya jangan lah, hormati proses hukum, yang paling penting lagi adalah beri kesempatan masyarakat untuk hidup tenang," imbuhnya.

Sementara itu Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva juga meminta seluruh pihak untuk tidak melakukan aksi massa saat sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).

"Tunggu sajalah putusan lembaga pengadilan ya," kata Hamdan, Sabtu 22 Juni 2019.

Dalam pembacaan refleksi akhir tahun pada Senin 23 Des 2013 Ketua MK Hamdan Zoelva mengakui kinerja MK selama lebih kurang 10 tahun rusak karena peristiwa tertangkapnya Akil Muchtar (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Hamdan menambahkan, jika tetap ada kelompok yang melakukan aksi unjuk rasa, diharapkan dilakukan secara damai dan teratur.

"Halalbihalal di rumah sajalah untuk apa juga halalbihalal di lapangan," kata Hamdan yang juga Ketua Umum Syarikat Islam ini

Tokoh lainnya yang tak kalah lantang menyeru datang dari Azyumardi Azra. Guru Besar UIN Syarief Hidayatullah, ini menilai aksi tersebut akan menimbulkan kegaduhan dan kekerasan.

"Rakyat sudah lelah dengan kegaduhan politik, apalagi dengan membawa agama," kata dia menanggapi rencana aksi alum 212 saat sidang putusan MK, Senin (24/6/2019).

Azyumardi meminta semua pihak agar menunggu keputusan MK dengan tenang. Ia pun menduga Aksi 212 itu bukan agenda halalbihalal, namun lebih bertujuan untuk kepentingan politik tertentu.

"Aksi massa itu, bukan halalbihalal atau silaturahmi. Sebaiknya berhenti memelintir istilah-istilah acara keagamaan untuk politik dan kekuasaan," kata cendekiawan muslim ini.

 

3 dari 3 halaman

Menanti Putusan MK

Mahkamah Konstitusi telah menggelar sidang sengketa Pilpres 2019 selama lima kali. Sejak 14 hingga 21 Juni 2019, sejumlah barang bukti, saksi dan ahli dihadirkan para pihak di sidang Mahkamah.

Selanjutnya, pada 24 Juni hingga ke depan, MK melakukan rapat pemusyaratakan hakim. Hasil pertemuan itu nantinya dituangkan dalam putusan sidang yang akan digelar pada Kamis 27 Juni 2019.

"Ya, berdasarkan keputusan RPH hari ini, sidang pleno pengucapan putusan akan digelar pada Kamis, 27 Juni 2019 mulai pukul 12.30 WIB," ujar Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono Soeroso saat dihubungi Liputan6.com, Senin (24/6/2019).

Suasana sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6/2019). Sesuai jadwal, persidangan hari ini dengan agenda pembacaan materi gugatan dari pemohon, yaitu paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. (Lputan6.com/Johan Tallo)

Menurut dia, MK mulai hari ini akan memberitahukan kepada para pihak agar menghadiri sidang putusan pada 27 Juni.

"Siang ini juga, surat panggilan sidang kepada para pihak sudah disampaikan," kata Fajar.

Menyikapi hasil keputusan MK nanti, ketua tim hukum pasangan Joko Widodo-Maruf Amin, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, akan menghormati dan menerima apa pun putusan Majelis Hakim MK.

"Apapun putusan Mahkamah Konstitusi akan kami hormati dan terima dengan baik," ujar Yusril di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat 21 Juni 2019.

Ia mengaku bersyukur atas kesempatan menyampaikan berbagai bukti, sanggahan maupun argumen dalam persidangan. Semua saksi, ahli, maupun alat bukti telah disaksikan masyarakat Indonesia. Persidangan ini, lanjut Yusril, diharapkan dapat menghasilkan keputusan yang adil.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman memimpin sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6/2019). Sidang itu memiliki agenda pembacaan materi gugatan dari pemohon, yaitu paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. (Lputan6.com/Johan Tallo)

Yusril kemudian mengutip surat An-Nissa ayat 135 yang terukir dan terpampang di luar ruang sidang. Ayat ini berisi mengenai upaya menegakkan keadilan.

"Mudah-mudahan ayat itu menjadi pedoman bagi Majelis Hakim yang mulia, bagi kita semua," ujar Yusril.

Sikap yang sama juga disampaikan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga. Apapun hasil keputusan MK, BPN akan menerimanya.

"Seperti yang disampaikan Pak Prabowo, apapun hasilnya, kami hormati keputusan konstitusional," kata Koordinator Juru Bicara BPN Dahnil Anzar Simanjuntak, Jakarta, Senin 24 Juni 2019.

Dahnil berharap masyarakat pendukung Prabowo-Sandi bisa menerima apapun hasil putusan MK nanti. Hal tersebut sesuai dengan imbauan dari capres Prabowo Subianto.

"Seperti Pak Prabowo sampaikan bahwa upaya akhir kami adalah konstitusional melalui MK dipimpin Mas BW (Bambang Widjojanto), untuk relawan pendukung masyarakat kami imbau lakukan kegiatan damai berdoa dan sebagainya," kata dia.

Suasana sidang ke-5 sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (21/6/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli dari pihak terkait yakni paslon nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sedangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta semua pihak untuk sabar menanti keputusan penting itu. Rakyat hendaknya menyerahkan sepenuhnya kepada majelis hakim untuk memutuskan sengketa Pilpres tersebut.

"Semua harus mampu menahan diri, sekarang kita serahkan kepada Mahkamah, dan kita menyiapkan diri semuanya untuk bisa menerima putusan Mahkamah, apa pun, termasuk penyelenggara pemilu," ujar Ketua KPU Arief Budiman di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat 21 Juni 2019.

Ia meminta seluruh pihak untuk mempercayakan MK untuk menyelesaikan sengketa Pilpres 2019 ini. Dan KPU yakin, MK akan memutuskan masalah ini dengan seadil-adilnya.

Menurut dia, seluruh proses persidangan telah sesuai dengan ketentuan, sehingga saat ini hakimlah yang akan melakukan pembahasan dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).

"Seluruh proses berjalan sesuai dengan ketentuannya, jadi semua pihak diberi kesempatan yang sama. Tinggal sekarang mahkamah melanjutkan dengan mempelajari, melihat, meneliti alat-alat bukti yang sudah diserahkan oleh para pihak, baik dari pemohon termohon terkait dan Bawaslu," kata Arief.

Arief meminta jajarannya untuk menerima putusan MK nanti. Selain itu, KPU beserta jajarannya di seluruh Indonesia diharapkan dapat menahan diri dalam menunggu hasil putusan.

"Apa pun perintah Mahkamah, kan kita tidak tahu putusan itu nanti seperti apa. Sudah, semua harus mampu menahan diri. Kita serahkan kepada Mahkamah. Kita terima hasilnya dengan berbesar hati," sambungnya.