Sukses

Wujudkan Ketahanan Energi Nasional, Biodiesel B100 Bisa Jadi Andalan

Jika menerapkan penggunaan B100 sebagai pengganti solar, hanya membutuhkan 15 persen dari ketersediaan CPO.

 

Liputan6.com, Jakarta Salah satu alasan pemanfaatan olahan sawit sebagai pengganti bahan bakar fosil yang kian menipis cadangannya, dengan penggunaan bahan bakar terbarukan berbahan Crude Palm Oil (CPO). Bahan bakar tersebut melimpah dan berpotensi mewujudkan ketahanan energi nasional.

Ketua Umum Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia (PERTETA) yang juga Dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, Desrial mengatakan, saat ini Kementerian Pertanian memiliki teknologi yang bisa memproduksi biodiesel 100 persen dari CPO (Biodiesel B100). Teknologi ini menurut Desrial menjadi jawaban atas semakin menipisnya cadangan bahan bakar fosil.

"Sejak 2004 kecenderungan bahan bakan fosil makin menipis, harganya makin mahal. Saat ini, antara produksi bahan bakar fosil kita dengan impor rasionya makin tipis. Ini menjadi sesuatu yang mengerikan bagi masa depan Indonesia jika terus bergantung di dalamnya," ucap salah satu peneliti biofuel di Kementerian Pertanian ini pada Forum Tematik Bakohumas di kawasan Lido, Bogor, Kamis (4/7).

Berdasarkan data yang dimiliki, Desrial menjelaskan, luasan lahan perkebunan sawit di Indonesia mencapai 14,03 juta ha dengan produksi mencapai 41,67 juta ton. Sementara konsumsi solar dalam negeri mencapai 25 ribu ton, setengahnya dipenuhi dari impor.

Jika menerapkan penggunaan B100 sebagai pengganti solar, hanya membutuhkan 15 persen dari ketersediaan CPO.

"Dari sisi sustainability-nya tidak bermasalah. Meski tidak ada penambahanl luas lahan sawit, ketersedian bahan bakunya 20 sampai 30 tahun lagi masih cukup. Paling hanya mengurangi kuota ekspor, dari 75 persen menjadi sekitar 60 persen," imbuhnya.

Penurunan volume ekspor juga berpeluang untuk menaikkan harga CPO di pasar dunia. Di sisi lain, penyerapan sawit dalam negeri juga berdampak langsung pada peningkatan pendapatan petani sawit.

Sebagai contoh, tambah Desrial, kebijakan Public Service Obligation (PSO) yang mewajibkan Pertamina menggunakan campuran 20 persen minyak nabati pada solar atau B20, terjadi peningkatan serapan dan harga sawit di tingkat petani. Harga Tandan Buah Segar (TDS) meningkat dari Rp850/kg menjadi Rp1.850/kg.

Di sisi pengguna, pemanfaatan Biodiesel B100 juga bisa meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar. Berdasarkan ujicoba pada kendaraan dinas di Kementan, 1 liter B100 bisa menempuh jarak hingga 13,1 km, lebih efisien dibanding penggunan solar yang hanya bisa mencapai jarak 9 km.

Selain itu, B100 yang memiliki kualitas setara dengan Perta dex ini bisa dijual dengan harga lebih murah. "Harganya bisa dihitung dari harga CPO ditambah 100 US dollar/ton plus biaya transportasi. Harga jualnya kalau dihitung-hitung sekitar 7-8 ribu," ucapnya di hadapan lebih dari 100 peserta Forum Tematik Bakohumas dari 48 Kementerian dan lembaga.

Teknologi Biodiesel B100 yang dihasilkan Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) Badan Litbang Kementan ini menjadi tema utama bahasan kegiatan Bakohumas yang diselenggarakan Biro Humas dan Informasi Publik Kementan. Selain berdiskusi dengan para peneliti, para peserta juga mengunjungi fasilitas penelitian Biodiesel B100 di Sukabumi, Jawa Barat.

 

(*)