Jakarta - Terpidana kasus ITE, Baiq Nuril Maknun menaruh harapan besar kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mendapatkan keadilan. Hal itu terlihat dari surat untuk Jokowi yang ditulis tangan oleh Baiq Nuril.
Dalam surat yang beredar luas itu, Baiq Nuril berharap Presiden memberikan amnesti kepada dirinya. Sebab, itu merupakan harapan terakhir Baiq Nuril setelah upaya Peninjauan kembali (PK) ditolak Mahkamah Agung (MA).
Baca Juga
“Salam hormat untuk Bapak Presiden. Bapak Presiden PK saya ditolak. Saya memohon dan menagih janji bapak untuk memberikan amnesti, karena hanya jalan ini satu-satunya harapan terakhir saya. Hormat saya, B. Nuril Maknun,” tulis Baiq Nuril pada sebuah kertas dilansir Jawapos.com, Sabtu (6/7/2019).
Advertisement
Saat dikonfirmasi, kuasa hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi membenarkan itu adalah surat yang ditulis oleh kliennya. Baiq berharap Presiden Jokowi bisa membebaskannya dari jeratan hukum atas kasus pelanggaran UU ITE ini.
“Memang dia yang menulis. Itu harapan dari Ibu Nuril untuk Pak Jokowi bisa memberikan amnesti,” katanya.
Menurutnya, Baiq Nuril sangat kecewa dengan putusan MA yang menolak permohonan Peninjauan Kembali atas kasusnya tersebut. Pasalnya, sejak 2012 kasus ini berproses, namun sampai dengan saat ini Baiq Nuril masih belum bisa bernapas lega.
“Iya kecewa, masih waswas, deg-degan dan klimaksnya kemarin ketika harus menerima fakta MA bergeming sedikitpun saat meminta keadilan,” tuturnya.
Joko menambahkan, pihaknya akan terbang ke Jakarta dan mengajukan amnesti kepada Presiden Jokowi pada pekan depan. Rencananya, pengajuan amnesti dilakukan Jumat, 12 Juli 2019
“Minggu depan sudah akan proses permohonan amnesti itu. Rencana hari Jumat ke Kantor Staf Presiden,” katanya.
Joko menambahkan, pada Jumat 12 Juli itu pihaknya juga akan mendatangi DPR untuk berkonsultasi dan meminta dukungan terhadap masalah hukum yang dihadapi Baiq Nuril. Joko berharap DPR mendukung Baiq Nuril mengajukan amnesti.
“Jadi, mudah-mudahan mereka DPR mendukung langkah amnesti ini,” ungkapnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
PK Ditolak MA
Sekadar informasi, MA menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Baiq Nuril. Alhasil, mantan guru honorer SMAN 7 Mataram itu tetap menjalani hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
“Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan PK Pemohon Baiq Nuril yang mengajukan PK ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019,” demikian bunyi putusan MA, Jumat (5/7).
Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro menyampaikan, dengan ditolaknya permohonan PK, maka putusan kasasi MA yang menghukum Baiq Nuril dinyatakan tetap berlaku.
Sidang PK itu diketuai oleh hakim Suhadi dengan anggota Margono dan Desnayeti. Majelis hakim menilai alasan permohonan PK pemohon yang mendalilkan bahwa dalam putusan tingkat kasasi mengandung muatan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata tidak dapat dibenarkan.
Dalam putusannya, majelis hakim berpendapat perbuatan Baiq Nuril merekam pembicaraan melalui handphone antara korban dan terdakwa ketika korban meneleponnya sekitar satu tahun lalu dan menyimpan hasil rekamannya dan diserahkan kepada saksi Imam Mudawin mengandung unsur pidana. Terlebih setelah saksi Imam Mudawi memindahkan ke laptopnya hingga rekaman percakapan itu tersebar luas.
Adapun Baiq Nuril sebelumnya telah dinyatakan tidak memenuhi pidana pelanggaran UU ITE pada putusan pengadilan tingkat pertama. Perkaranya saat itu bermula ketika Baiq Nuril dituding menyebarkan rekaman percakapan ‘mesum’ lewat telepon dengan Muslim. Lantaran merasa dipermalukan, Muslim pun melaporkan perkara itu ke polisi
Namun, putusan kasasi MA pada 26 September 2018 menjatuhkan vonis kepada Baiq Nuril selama enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis hukuman itu diberikan sesuai dengan pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.
Terkait dengan putusan kasasi tersebut, Baiq Nuril kembali mengajukan PK ke MA dengan pasal kekhilafan hakim. Namun, permohonan PK yang diajukan itu ditolak oleh MA.
Simak berita Jawapos lainnya di sini.
Advertisement