Sukses

HEADLINE: Jakarta Masuk Daftar Kota dengan Polusi Udara Terburuk Dunia, Solusinya?

Data situs penyedia peta polusi udara online, AirVisual menyebut, indeks kualitas udara DKI Jakarta masuk kategori tidak sehat.

Liputan6.com, Jakarta - Jakarta krisis udara bersih. Indeks kualitas udara atau air quality index (AQI) Ibu kota berada pada titik mengkhawatirkan.

Bagaimana tidak? Ranking kualitas udara Jakarta berada di urutan ketiga dunia berdasar data AirVisual, situs penyedia peta polusi udara, seperti yang Liputan6.com kutip pukul 18.00 WIB, Selasa 9 Juli 2019.

Indeks kualitas udara Jakarta berada di angka 145, masuk kategori tidak sehat. Sementara, peringkat pertama dan kedua diduduki Dhaka (Bangladesh) dan Dubai (Uni Emirat Arab) dengan masing-masing AQI sebesar 150 dan 147.

AQI sendiri merupakan indeks yang digunakan AirVisual untuk mengukur tingkat keparahan polusi udara di sebuah kota. Indeks ini merupakan gabungan dari 6 polutan utama, yaitu PM2.5, PM10, karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan ozon (O3) di permukaan tanah.

Rentang nilai AQI adalah 0-500. Semakin tinggi nilai AQI, maka semakin parah pula tingkat polusi udara di kota tersebut dan efeknya pun semakin berbahaya.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berdalih, memiliki ukuran sendiri untuk menentukan tingkat kualitas udara. Oleh karena itu, dia tak mau langsung percaya dengan data AirVisual. Meski memang biasanya, selama Juni-Juli, kualitas udara DKI dalam fase kotor.

Pemprov menuding musim kemarau memberi andil besar pada tingkat polusi udara periode tersebut. 

"Jadi kondisi saat ini memang agak kotor. Tapi seberapa kotor tentu harus ada ukurannya, ukurannya untuk kami di Pemprov DKI itu ada di PP Nomor 41 Tahun 1999," kata Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih kepada Liputan6.com, Selasa 9 Juli 2019.

Menurut dia, merujuk peraturan pemerintah itu, rata-rata kualitas udara Jakarta setahun terakhir dikategorikan pada tingkat moderat. "Moderat itu secara singkat tidak membahayakan banget," tutur Andono.

Oleh karena itu, pemprov tak risau dengan hasil pengukuran AirVisual terkait kualitas udara di Jakarta. 

"Kita sambut positif saja. Ini kan memang ada di episode yang kotor tadi. Kondisi seperti itu terjadinya pada 25 atau 26 Juni kemarin. Saya yakin hari sekarang sudah enggak lagi karena cuacanya lebih sejuk, sudah turun hujan," ujar Andono.

Dia mengungkap akar polusi udara Jakarta adalah masalah transportasi --bertambahnya kendaraan bermotor dan tingginya tingkat kemacetan. Untuk mengurangi masalah itu, lanjut dia, tentu tidak cukup jika pemprov sendiri yang bekerja.

"Kita semua harus mengurangi penggunaan kendaraan bermotor," ucap Andono.

Dia menilai, pemprov sudah berusaha maksimal mengatasi masalah polusi ini. Salah satunya menggeser kebiasaan mobilisasi masyarakat dengan menggunakan transportasi massal, sepeda atau berjalan kaki.

Jikapun harus menggunakan kendaraan pribadi, dia mengimbau agar penggunanya memakai bahan bakar minim timbal.

Akan tetapi, Andono mengaku bisa memahami ketika sejumlah warga yang bergabung dalam Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 6 Juli 2019. Koalisi ini terdiri atas Greenpeace, Walhi dan LBH Jakarta.

"Kami memandang gugatan itu wujud kecintaan warga terhadap Jakarta ini. Sehingga kami tetap secara positif meresponsnya," kata Andono.

Infografis Kualitas Udara di Jakarta Tidak Sehat. (Liputan6.com/Triyasni)

Menyesatkan?

Sementara itu, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Karliansyah menyatakan, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebelum berbicara tentang kualitas udara.

Hal pertama adalah metodologinya harus sama standar. Alat yang dipakai spesifikasinya untuk outdoor, bukan untuk dalam ruangan. Alat juga harus dalam posisi diam tidak boleh bergerak. Ketinggiannya harus minimal 3 meter dari permukaan tanah dan jarak dari jalan raya minimal 20 meter dan harus dikalibrasi secara reguler.

"Nah, hasilnya harus disampaikan ke dalam rata-rata harian atau rata-rata tahunan. Jadi, kalau datanya sesaat enggak pas. Apakah yang dikeluarkan AirVisual sudah sesuai itu?" ujar Karliansyah kepada Liputan6.com, Selasa 9 Juli 2019.

Dia juga mempertanyakan apakah data yang disampaikan itu adalah data sesaat atau data rata-rata. Jika data sesaat, dia memastikan, data itu menyesatkan.

"Kami punya data, punya alat, kita ada di 26 lokasi di seluruh Indonesia. Untuk Jakarta datanya misalnya untuk 1 Januari sampai 30 Juni, rata-rata 31,49 mikrogram per kubik. Artinya kualitasnya sedang," jelasnya.

Karliansyah menambahkan, pemerintah telah melakukan sejumlah upaya agar kualitas udara di Ibu Kota tetap baik. Untuk kendaraan bermotor misalnya, sudah diatur minimal harus dengan euro 4, (sulfur) maksimal 50 part per million (ppm), baku mutu emisi diperketat.

"Bukan hanya kendaraan bermotor, tapi juga industri yang kaitannya dengan kualitas udara, misalnya semen pembangkit listrik, industri pupuk. semuanya sudah kita review," sambungnya.

Tak hanya itu, DKI Jakarta juga sudah tersedia sejumlah alternatif transportasi massal seperti MRT, Transjakarta berbahan bakar gas, car free day dan juga aturan ganjil genap.

"Sudah banyak usaha pemerintah soal ini," kata dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Pemetaan Polusi untuk Cari Solusi

Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi menegaskan, polusi Jakarta memang bukan hanya masalah DKI. Daerah penyangga, seperti Jawa Barat dan Banten juga harus ikut serta bertanggung jawab.

"Itulah kenapa kemarin yang kita gugat tidak hanya Gubernur DKI, tapi juga Presiden, Menteri LHK, Kemenkes, juga Gubernur Jawa Barat dan Banten," ujarnya, Selasa 9 Juli 2019.

Tubagus menilai persoalan kualitas udara di Jakarta berhulu pada kebijakan pemerintah. Baik DKI Jakarta maupun pusat. Menurut dia, selama ini, belum ada rangkaian kebijakan dari pemerintah untuk mengendalikan kualitas udara.

"Kalaupun ada, belum bisa melindungi hak masyarakat untuk memperoleh udara bersih," sambungnya.

Terlebih lagi, penurunan kualitas udara bukan hanya terjadi baru-baru ini. Namun, jauh sebelumnya juga telah terjadi.

Tubagus mengajak semua pihak untuk lebih dulu mengidentifikasi akar pencemaran. Dia menilai, ada beberapa sektor penyumbang pencemaran udara, seperti kendaraan bermotor dan industri.

Ia melihat pemerintah tidak memiliki regulasi untuk membatasi hal itu. Misalnya, keran peredaran kendaraan bermotor dibuka dengan bebas oleh pemerintah.

"Pemerintah tidak pernah membatasi jumlah kendaraan, peredaran kendaraan bermotor," tegasnya.

Dalam pandangannya, penerapan sistem ganjil genap di beberapa jalan protokol Ibu Kota tidak menyelesaikan sumber masalah banyaknya kendaraan bermotor di Jakarta.

"Mesti menyelesaikan akar masalahnya terlebih dulu. Ganjil genap itu tidak signifikan. Bukan itu persoalannya, kita terus produksi kendaraan bermotor. Mengapa kendaraan motor tidak dibatasi," kata Tubagus.

Kondisi ini ditambah aktivitas industri di sekitar kota penyangga Jakarta. Kantong-kantong industri di sekitar Jakarta memiliki peran dominan dalam menyumbang polusi udara.

"Udara tidak mengenal batas wilayah dan bergerak bebas tak terkontrol. Misalnya industri-industri di Banten dan Jabar," kata ungkap Tubagus.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Bondan Andriyanu menambahkan, pemerintah harus punya basis data yang kuat penyumbang polusi udara di Jakarta.

"Bicara penanggulangan kan harus berdasarkan basis data. Bicara udara ada datanya nih, namanya emission inventory," katanya, Selasa 9 Juli 2019.

Emission inventory atau inventarisasi emisi merupakan pencatatan jumlah pencemar udara dari sumber-sumber pencemar udara dalam suatu wilayah. Semua sumber pencemar harus diinventarisasi setiap tahun guna memetakan dalam sektor apa saja sumbar-sumber polutan tersebut.

Setelah diketahui sumbernya, maka dibuatlah kebijakan mengacu pada data tersebut. Jika hal ini dilakukan, kata Bondan, pemerintah bisa efisien menanggulangi permasalahan udara di Jakarta.

"Ini mesti dilakukan berkala setiap tahun. Kita jadi tahu transformasi berapa persen, industri berapa persen. Kemudian rencana apa yang diambil untuk mengurangi masing-masing sumber polutan itu," katanya.

Bukan hanya itu, inventarisasi emisi tiap tahun juga berguna untuk mengevaluasi capaian kebijakan pemerintah dalam mengendalikan polutan di udara. Karena selama ini tidak ada basis data untuk membandingkan apakah upaya pemerintah untuk menanggulangi bencana udara tersebut tepat sasaran atau tidak.

"Tahun depan dibikin lagi kajiannya, kemudian diukur keberhasilannya apa gitu. Iya dievaluasi," kata Bondan.

3 dari 3 halaman

Solusi yang Ditawarkan

Ketua Dewan Trasportasi Jakarta (DTKJ) Iskandar Abu Bakar berpendapat, "memaksa" warga beralih ke transportasi massal dan membatasi kendaraan pribadi, adalah solusi mengurangi buruknya kualitas udara di Jakarta saat ini.

"Kalau orang banyak menggunakan angkutan umum dengan sendirinya polusi udara akan lebih rendah," ujarnya, Selasa 9 Juli 2019.

Selain itu, kualitas bahan bakar yang digunakan kendaraan di Jakarta juga harus ditingkatkan. DTKJ telah menyarankan agar bahan bakar premium dan pertalite tidak diperjualbelikan lagi di Jakarta. Termasuk juga solar kualitas rendah.

"Tapi ini kan terkendala dan tidak bisa terealisasi," ucapnya.

Selain itu, DTKJ mendorong diterapkannya aturan uji emisi menyeluruh pada semua kendaraan bermotor. Menurutnya, uji emisi gas buang yang selama ini dilakukan hanya ditujukan pada kendaraan umum saja. Padahal jumlah kendaraan pribadi jauh lebih banyak dari kendaraan umum.

"Sebenarnya undang-undang sudah memerintahkan uji emisi gas buang dilakukan menyeluruh terhadap semua kendaraan, namun pada praktiknya hanya kendaraan umum saja yang melakukannya," kata dia.

Terpisah, anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Pandapotan Sinaga menyatakan, buruknya kualitas udara di Ibu Kota  karena kurangnya filter berupa ruang terbuka hijau.

"Itu yang kita bahas tadi, Jakarta kurang ruang terbuka hijau sehingga polusinya sangat sensitif. Kalau taman-taman banyak enggak akan seperti itu," ujarnya, Selasa 9 Juli 2019.

Itu sebabnya, dia menyarankan Pemprov DKI agar memperbanyak ruang terbuka hijau di sejumlah titik lokasi.

"Selain itu, angkutan massal terintegrasi seperti LRT, MRT harus ditingkatkan. Kalau ini bisa diwujudkan, pasti mengurangi kemacetan dan polusi," ungkapnya.