Liputan6.com, Jakarta - Sumiarsih dan Sugeng, terpidana mati kasus pembunuhan keluarga Letkol (Mar) Purwanto pada 1988, dieksekusi mati pada Jumat, 19 Juli 2008 silam. Sekitar pukul 24.00 WIB, nyawa ibu dan anak itu lepas dari raga di hadapan regu tembak Brimob.
Sumiarsih dan Sugeng adalah terpidana kasus pembunuhan terencana terhadap Komandan Primer Koperasi Angkatan Laut Letnan Kolonel Purwanto, Sunarsih (istri Purwanto), Haryo Bismoko, Haryo Budi Prasetyo (anak Purwanto), dan Sumaryatun (kerabat).
Baca Juga
Sumiarsih alias Mami Rose adalah mucikari papan atas di Gang Dolly, Surabaya. Mami Rose adalah panggilan akrab Sumiasih di pusat pelacuran itu karena perempuan kelahiran Jombang, 28 September 1948, itu menyukai bunga rose.
Advertisement
Sebelum diesksekusi mati, ibu dan anak itu bertemu di Rutan Medaeng, Sidoarjo pada Rabu, 16 Juli 2008.
Sekitar pukul 03.00 WIB, Sumiarsih dibangunkan oleh petugas dan diajak ke ruang Registrasi Rutan Medaeng. Di sana, Sumiarsih dipertemukan dengan anak bungsunya, Sugeng. Suasana haru menyelimuti keduanya.
Kedua terpidana mati kasus pembunuhan berencana ini berpelukan penuh haru menjelang eksekusi mati pada 19 Juli 2008.
Sumiarsih tak mampu menahan kepedihannya saat berhadapan dengan buah hatinya. Dia meminta maaf kepada Sugeng karena melibatkannya dalam pembunuhan.
"Dia (Sumiarsih) merasa Sugeng hanya ikut saja. Berulang kali mantan mucikari Gang Dolly itu mengucapkan kata permintaan minta maaf pada Sugeng," ungkap salah seorang petugas.
Keesokan harinya sekitar pukul 10.00 WIB, Sumiarsih menerima kunjungan dua pendamping rohani, yakni Pendeta Andreas Nurmandala dan Jonathan Gie. Kemudian Andreas mengurus proses izin kunjungan keluarga Sumiarsih.
Sekitar pukul 09.30 WIB, Sugeng dikunjungi pendamping rohaninya, Ustaz Nur Waliyin. Sugeng melakukan salat dhuha berjamaah. Pertemuan tersebut berlangsung hingga pukul 11.15 WIB.
Kemudian, pada Jumat, 19 Juli 2008 Sumiarsih dan Sugeng dieksekusi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 2 PNPS/ 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Sebelum dibawa ke tempat eksekusi, Sumiarsih dan Sugeng diberi pakaian bersih dan sederhana serta didampingi seorang rohaniwan. Mereka sudah ditunggu dua regu tembak yang siap sejak satu jam sebelumnya.
Setelah persiapan beres, jaksa menyaksikan komandan regu mengisi 12 pucuk senjata laras panjang. Pelurunya terdiri atas enam peluru tajam dan enam peluru hampa. Anggota regu tak tahu senjata siapa yang mengeluarkan peluru tajam dan menewaskan kedua terpidana.
Selanjutnya, jaksa memerintahkan regu pengawal membawa terpidana ke posisi penembakan. Borgol terpidana dilepaskan dan diberi kesempatan menenangkan diri selama tiga menit dengan didampingi rohaniwan.
Setelah semua siap, komandan pasukan menutup mata Sumiarsih dan Sugeng dengan kain hitam. Tubuh Sumiarsih dan Sugeng diikat pada tiang penyangga dalam posisi berdiri.
Sebelum dieksekusi, dokter memberi tanda hitam pada baju yang dikenakan Sumiarsih dan Sugeng. Tanda tersebut persis pada posisi jantung. Itulah yang menjadi sasaran penembakan.
Kemudian, jaksa memerintahkan regu tembak mengambil posisi berhadapan dengan terpidana dengan jarak 5-10 meter. Jaksa memerintahkan eksekusi kepada komandan regu. Sebagai tanda kepada anggota, komandan regu mengacungkan pedang ke depan sebagai isyarat siap.
Pedang diangkat ke atas untuk isyarat bidik dan pedang disentakkan ke bawah secara cepat untuk perintah tembak. Pelurupun melesat ke tubuh ibu dan anak itu.
Dokter pun memeriksa tanda-tanda kehidupan terpidana. Setelah keduanya dipastikan meninggal, pasukan pengawal melepaskan ikatan, lalu dokter membuat visum et repertum.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tragedi Gang Dolly
Pembunuhan yang dilakukan Sumiarsih menghebohkan Surabaya pada 13 Agustus 1988.
Saat merencanakan pembunuhan satu keluarga itu, Sumiarsih dibantu suaminya, Djais Adi Priyatno, dan Sugeng anaknya. Serta menantunya, Sersan Dua Adi Saputro dan 2 pegawainya Nanok dan Daim.
Sebelum tragedi berdarah itu terjadi, hubungan Sumiasih-Purwanto akrab. Purwanto sering datang ke Wisma Happy Home yang dikelola Sumiasih sejak 1975.
Happy Home adalah wisma di Gang Dolly yang paling ramai kala itu karena para pekerja seksnya terkenal cantik. Melihat keuntungan Sumiarsih yang menggiurkan dengan menjual para gadis, Purwanto mengajak perempuan itu berkongsi. Sumiarsih menerima tawaran itu.
Purwanto kemudian membuka Wisma Sumber Rejeki dan meminta Sumiasih mengelolanya. Dalam perjanjian, Sumiasih harus menyetor Rp 20 juta per bulan. Bila tidak mampu, kekurangannya dihitung sebagai utang dan berbunga.
Semula setoran ke Purwanto lancar karena Sumber Rejeki yang mempekerjakan sebagian pekerja seks Happy Home ramai didatangi pengunjung. Namun, keuntungan Sumiasih menurun karena pengunjung wismanya sepi setelah Kepolisian Resor Surabaya Selatan gencar merazia seluruh wisma. Sebab, saat itu beredar kabar bahwa ada gadis berusia 12 tahun dijual ke Dolly. Akibatnya, pengunjung menyusut.
Setoran Sumiasih ke Purwanto pun ikut seret. Namun, Purwanto tidak mau tahu. Purwanto tak segan menganiaya Sumiasih dan suaminya karena telat memberikan setoran. Sikap Purwanto melunak ketika ia bertemu Rose Mey Wati, anak Sumiasih yang diasuh neneknya di Jombang. Wati, yang kala itu masih SMP dan berusia 15 tahun, menarik hati Purwanto.
Dia tak keberatan Sumiasih telat membayar setoran asal Wati boleh "dipakai". Sumiasih marah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menghindari kejaran Purwanto, Wati dikenalkan dengan Serda Adi Saputro, polisi yang baru saja lulus pendidikan Sekolah Calon Bintara dan ditugaskan di Polsek Kesamben, Jombang. Keduanya pun menikah pada pengujung 1986.
Pada sisi lain, teror Purwanto pada Sumiasih makin menjadi. Ia mengirim orang untuk mengobrak-abrik Wisma Happy Home dan memukuli pegawainya. Hasrat Purwanto untuk memiliki Wati pun belum kendur. Tak tahan dengan kelakuan Purwanto, Sumiasih akhirnya merencanakan pembunuhan itu.
Advertisement
Saat Peristiwa Berdarah
Pembunuhan keji itu dilakukan di rumah Purwanto, Jalan Dukuh Kupang Timur XVII, Surabaya. Korban tewas setelah dipukul dengan antam (alu besi) oleh para pelaku.
Kedatangan mereka pukul 10.00 WIB itu dianggap kunjungan biasa. Sebab, dua keluarga tersebut dikenal cukup akrab. Karena itu, Purwanto menemui mereka sendiri di ruang tamu.
Ruang tamu sedang sepi. Tiga anak Purwanto tidak ada di rumah. Dua anak Purwanto, Bismoko dan Budi Prasetya sedang bermain di depan rumah. Anak lainnya, Haryo Abrianto sedang mengikuti pendidikan di Akabri. Sunarsih, istri Purwanto yang sedang hamil, memasak di dapur.
Setelah merasa aman, lima orang tersebut menghabisi Purwanto. Mereka memukul bagian belakang kepalanya dengan alu. Perwira Marinir itu sempat melawan. Sebab, ditemukan memar di beberapa bagian di tubuhnya. Selain itu, tulang iga Purwanto patah.
Jasad Purwanto dibawa ke garasi. Mendengar keributan itu, Bismoko (siswa SMA) dan Budi Prasetya (siswa SD) pun menuju garasi. Di sana mereka dipukul oleh Adi Saputra. Ternyata, mereka malah berlarian sambil berteriak. Salah satu di antara mereka kemudian ditangkap dan dipukul oleh Sugeng.
Sunarsih mendengar keributan itu. Bersama Sumaryatun, keponakan Purwanto, dia masuk garasi. Di belakang mereka, Prayit dan Sumiarsih sudah berjaga-jaga. Selanjutnya, Adi dan Sugeng menyambut Sunarsih. Mereka berdua mencekik Sunarsih.
Sementara, Daim kebagian membunuh Sumaryatun. Lengkap sudah. Lima orang tersebut tewas seketika. Lima orang itu pun menyeret lima tubuh tak bernyawa ke garasi. Mereka memasukannya ke mobil Daihatsu Taft milik korban.
Untuk membuang jejak, mayat Purwanto dibuang ke jurang di Desa Songgoriti, Batu. Namun polisi berhasil mengungkap kasus tersebut. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya, Sumiasih, Djais Adi Prayitno, dan Sugeng divonis hukuman mati pada akhir 1998. Vonis yang sama juga diterima Adi Saputro di Mahkamah Militer III-12 Surabaya.