Sukses

Perlawanan Balik 4 Pengamen Cipulir Korban Salah Tangkap

Empat pengamen itu sudah dipenjara selama 3 tahun atas perbuatan yang tak dilakukan.

Liputan6.com, Jakarta - Empat pengamen yang menjadi korban salah tangkap di Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, menggugat Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Mereka adalah Fikri, Fatahillah, Ucok, dan Pau. Saat menjadi korban salah tangkap pada tahun 2013, usia mereka antara 12 hingga 17 tahun.

Fikri Cs tak terima menjadi korban salah tangkap. Mereka melayangkan gugatan praperadilan dengan nomor perkara 76/pid.pra/2019/PN. Jak.sel.

Dalam gugatannya pengamen Cipulir itu menuntut ganti rugi materiil dan immateriil dengan total Rp 750 juta. Masing-masing pemohon mendapatkan kerugian materiil sebesar Rp 165,6 juta dan ditambah kerugian immateriil Rp 20 juta.

Kuasa hukum pengamen Cipulir yang diwakili LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, menyampaikan dasar pengajuan praperadilan adalah putusan Mahkamah Agung nomor: 131/PK/Pid.sus/2015 yang menyatakan para pemohon tidak bersalah. Menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) KUHP mereka berhak mendapatkan ganti rugi.

Oky menjelaskan, ini kali kedua menguggat Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Sebelumnya, PN Jaksel pernah mengabulkan gugatan ganti rugi kepada dua terdakwa lain, yakni Andro dan Nurdin, melalui penetapan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jkt.Sel sejumlah Rp 36 juta.

Dua termohon, yakni Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, serta turut termohon yakni Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengirimkan utusannya untuk menjawab tudingan itu di persidangan lanjutan, Selasa (23/7/2019).

Bidang Hukum Polda Metro Jaya diwakili AKP Budi Novianto menilai, dalil yang diajukan para pengamen Cipulir dalam permohonan praperadilan tidak jelas dan kabur.

Budi mengatakan, penanganan kasus yang menjerat para pengamen Cipulir itu sudah sesuai prosedur. Penanganan kasus diawali dengan serangkaian penyelidikan dan penyidikan atas kasus penemuan mayat seorang laki-laki bernama Diky Maulana di kolong jembatan kali Cipulir, Jakarta Selatan.

Setelah mencari dan mengumpulkan bukti antara lain dengan melakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli dan tersangka, polisi kemudian melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan serta tindakan-tindakan lain sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya, polisi mengirim berkas perkara kepada jaksa penuntut umum (JPU) pada 23 Juli 2013. Setelah dipelajari dan diteliti oleh JPU, berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21). Polisi pun melimpahkan tersangka dan barang buktinya ke kejaksaan.

Tolak Ganti Rugi

Lebih lanjut, Budi menyatakan, kepolisian menolak ganti rugi materiil yang dimohonkan oleh para para pengamen Cipulir keseluruhan sebesar Rp 662.400.000 dan kerugian imateriel keseluruhan sebesar Rp 88.500.000. Budi menilai permohonan ganti rugi mengada-ada dan tidak berdasar hukum.

Menurut dia, dalam permohonan tidak menjelaskan dan tidak dapat membuktikan jika dalam proses hukum yang dijalani pengamen Cipulir mengalami luka berat atau cacat.

Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelas besaran ganti kerugian yang dimohonkan seharusnya didasarkan pada Pasal 9 ayat (1) PP 22/2015, yaitu paling banyak Rp 100 juta, bukan didasarkan pada Pasal 9 ayat (2) PP 92/2015 yaitu paling banyak Rp 300 juta.

Di tempat yang sama, perwakilan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Hadiyanto, menyatakan pihaknya tidak melawan hukum. Ia mengutip Pasal 1 ayat (1) ke-2 UU Nomor 16 Tahun 2004 jo Pasal 1 ayat (6) huruf b KUHAP.

Hadiyanto juga menerangkan isi pasal 1 ayat (1) ke-1 UU Nomor 16 Tahun 2004 jo pasal 1 ayat (6) huruf a KUHAP.

Atas dasar itu, Hadiyanto berpendapat semua tindakan terhadap tindak pidana pembunuhan 1131 Pid An/2013/ PN.Jkt.Sel tertanggal 1 Oktober 2013 atas nama terdakwa pihak pemohon dibenarkan oleh ketentuan hukum yang berlaku, maka tidak dapat dikualifikasikan telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Senada, perwakilan Kementerian Keuangan, Tio Serepina Siahaan juga menolak dalil permohonan para pemohon.

Dia mengatakan, pekerjaan para pemohon bertentangan dengan Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta nomor 8 tahun 2017 tentang ketertiban umum. Selain itu, jumlah tuntutan ganti rugi tidak berdasar hukum serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 9 PP 92/2015.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Mendekam di Penjara Selama 3 Tahun

Kasus ini bermula saat anak-anak pengamen Cipulir yakni Fikri, Fatahillah, Ucok, dan Pau ditangkap oleh Unit Jatanras Polda Metro Jaya pada Juli 2013 dengan tuduhan membunuh sesama pengamen anak bermotif berebut lapak mengamen.

Tanpa bukti yang sah secara hukum, mereka kemudian ditangkap dan dipaksa mengaku dengan cara disiksa selama berada di dalam tahanan kepolisian. Belakangan terbukti bahwa korban bukanlah pengamen dan mereka bukanlah pembunuh korban.

Setelah melalui persidangan berliku, mereka kemudian dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016. Mereka mendekam di penjara selama tiga tahun atas perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan.