Liputan6.com, Jakarta - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tak kuasa menahan tawa saat mendengar nilai anggaran sampah DKI Jakarta mencapai Rp 3,7 triliun. Perempuan pertama yang memimpin Surabaya itu menilai, angka untuk sampah Ibu Kota cukup wah dibanding Surabaya yang hanya Rp 30 miliar.
Ekspresi Risma tersebut terekam dalam video saat anggota DPRD DKI Jakarta melakukan kunjungan kerja dan bertemu dengannya di Ruang Sidang Wali Kota Surabaya, Senin 29 Juli 2019.
Pada video tersebut, anggota DPRD DKI tengah membeber permasalahan sampah Jakarta. Mereka juga menyebut besaran anggaran yang dialokasikan untuk sampah.
Advertisement
Hingga saat ini, sampah masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi Pemerintah DKI Jakarta. Setiap harinya, warga Jakarta memproduksi 7.000 hingga 8.000 ton sampah.
Gunungan sampah itu bermuara pada satu tempat, yakni Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang.
Nasib Bantar Gebang sendiri diprediksi tidak akan lama lagi mampu menampung sampah tersebut. Tempat pembuangan sampah di wilayah Bekasi itu diperkirakan hanya bisa menampung timbunan sampah hingga 2022 atau tiga tahun lagi. Setelah itu Bantar Gebang akan overload.
Lantas, bagaimana nasib sampah Jakarta?
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan, pihaknya tengah berjuang mengatasi masalah sampah. Dia sudah menyiapkan perubahan dan roadmap pengolahan sampah Jakarta ke depan. Hanya, dia enggan membeber seperti apa detail pengolahan sampah tersebut.
"Yang pasti begitu selesai (roadmap) akan langsung dilakukan," kata dia, Rabu 31 Juli 2019.
Mantan Mendikbud ini beralasan masalah sampah tidak bisa diumumkan karena menyangkut semua rumah tangga dan industri, jadi eksekusinya harus matang.
Dia memastikan, masalah sampah Jakarta sekarang ini sudah lebih baik. "Itu kenyataan yang harus diterima sebagai fakta," ujarnya.
Penjelasan lebih lanjut diberikan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Kepala Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yogi Ikhwan menyatakan, nantinya semua sampah di Ibu Kota dikelola di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu atau Intermediate Treatment Facility (ITF).
Tahap pertama yang sudah dilakukan adalah pembuatan ITFÂ di Sunter dengan kapasitas 2.200 ton yang tengah proses pembuatan dan ditargetkan rampung 2022. Berikutnya, DKI juga menyiapkan sejumlah ITF lainnya di Cakung, Cilincing dan Marunda.
"Jadi nanti semua akan dikelolah di ITF ini. Yang ke Bantar Gebang hanya residunya saja. Intinya kita sudah siap," ujar Yogi kepada Liputan6.com, Kamis (1/8/2019).
Dia membenarkan daya tampung TPST Bantar Gebang hanya akan bertahan 2022. Prediksi itu dilontarkan pihaknya untuk membangun kesadaran masyarakat agar mengurangi produksi sampah.
"Tahun 2022 itu kalau kita tidak ngapa-ngapain di Bantar Gebang. Nah, Pak Gubernur punya opsi berikutnya yakni optimalisasi Bantar Gebang. Kita bekerjasama dengan BPPT dan akhirnya ada tuh PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Dengan adanya PLTSa sampah akan diolah menjadi jadi kompos," ujarnya.
Selain itu, DKI juga bekerja sama dengan PT Semen Indonesia untuk menambang sampah lama di Bantar Gebang untuk diolah menjadi RDF atau bahan bakar turunan setara batubara muda.
"Tumpukan sampah yang lama kita ambil kita kirim ke pabrik semen untuk jadi bahan bakar," tambahnya.
Dengan pola itu, dia optimistis umur Bantar Gebang akan lebih panjang. Tidak lagi tiga tahun seperti yang diprediksi saat ini.
Selain konsep jangka panjang Bantar Gebang, Pemprov DKI juga menyiapkan sejumlah langkah strategis penanganan sampah. Pengembangan bank sampah tiap rukun warga (RW), pembangunan sentra 3R (reuse, reduce dan recycle) dalam kota di sejumlah titik.
"Kita juga punya 22 RW percontohan untuk kelola sampah komprehensif. Masyarakat kita didik memilah sampah organik jadi kompos," ungkapnya.
Yogi menyatakan, Jakarta belajar banyak dari kota-kota besar dunia seperti Tokyo, Singapura dan juga Finlandia.
"Macam-macam kita belajar. Target kita 2022 ITF sudah ada dan Jakarta tak lagi bergantung kota lain dalam mengatasi sampah," pungkasnya.
Terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Andono Warih menyatakan, tidak tepat membandingkan Surabaya dan DKI dalam hal pengolahan sampah.
"Itu tidak apple to apple. DKI provinsi, Surabaya kota. Jumlah penduduk kita jauh lebih banyak. Belum lagi GDP perputaran ekonomi Jakarta jauh lebih besar, hingga sampah lebih banyak dan biaya lebih besar," jelasnya, Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Andono menyatakan, Rp 3,7 triliun anggaran pengelolahan sampah adalah untuk satu Dinas Lingkungan Hidup yang komponennya bermacam-macam. Termasuk pengadaan lahan ITF.
"Lahan di Jakarta mana ada murah? Terus kita Dinas LH, kalau di Surabaya kan Dinas Kebersihan dan RTH, jadi kebersihan doang. Kalau Dinas LH apa aja tuh? Ada polusi dan lain-lain, termasuk dana untuk sudin," jelasnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pengelolahan Belum Efektif
Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Iman Satria menyatakan, pengolahan sampah menjadi masalah karena DKI hanya bergantung pada satu tempat, yakni Bantar Gebang. Kondisi ini membuat DKI terikat dan kerap dipermainkan pemilik lahan.
"Ini sebenarnya bukan masalah anggaran atau apa, tapi memang karena kita terikat dengan Bantar Gebang," ujar Iman kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Itu sebabnya, pihaknya mendorong pembangunan pengelolahan sampah terpadu (ITF) dalam kota bisa segera dilakukan. Dia berharap empat ITF yang direncanakan tuntas pembangunannya pada 2022 nanti.
"Sekarang ITF sudah ground breaking dan lagi buat Perdanya. Ini bagus untuk antisipasi overload. Kita enggak mau terus menerus dipermainkan di Bantar Gebang," katanya.
Iman menilai, masalah sampah DKI saat ini merupakan limpahan gubernur sebelumnya. Menurut dia, gubernur saat ini, Anies Baswedan, sudah bekerja baik menangani masalah sampah.
Sementara itu, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi Dwi Sawung menyatakan, Jakarta belum bisa bebas dari masalah sampah karena manajemen pengelolahan sampahnya belum efektif.
"Masih paradigma lama hanya mengumpulkan sampah kemudian diangkut ditimbun di suatu tempat. Dari tempat sampah dipindah ke Bantar Gebang," ujarnya kepada Liputan6.com, Kamis (1/8/2019).
Seharusnya, kata Sawung, dari awal sampah dipisahkan. "Sampah organik dikelola khusus kemudian didaur ulang. Beberapa kemasan dikembalikan ke produsennya, kalau enggak bisa diapa-apain baru dikirim ke TPA," katanya.Â
Sawung menyebut, bank sampah yang ada di DKI saat ini jumlahnya masih sangat terbatas dan lebih bersifat sporadis, belum tersistem dengan baik.Â
"Pelarangan sampah tertentu, plastik tertentu misalnya diperlukan. Kantong plastik dilarang, sedotan dilarang. Organik dipisahin organik, sisa makanan di komposin diangkut pada hari tertentu. Itu bisa mengurangi banyak banget," bebernya.
Walhi, sambung dia, sudah meminta pemerintah membuat kebijakan strategis pengelolahan sampah dan master plan pengelolahan sampah.
"Sampah mau kita apain diproyeksi dalam jangka 20 tahun ke depan. Terus diimplementasikan ke master plan. Fasilitas dan dukungan apa yang dibutuhkan itu harus disiapkan," jelasnya.
Sawung menambahkan, pihaknya tidak bisa menjadikan anggaran sebagai patokan berhasil tidaknya program pengelolahan sampah DKI. Angka Rp 3,7 triliun, diyakininya bukanlah anggaran keseluruhan untuk pengelolahan sampah.
"Ini bukan anggaran sampah saja, mungkin macam-macam isinya. Sampah sendiri enggak segitu. Lebih rendah,"Â jelasnya.
Dia mengalkulasi anggaran sampah DKI adalah Rp 155 ribu x 7.000 ton x 365 hari.
"Sama bayar petugas atau macam-macamnya, mungkin jatuhnya sekitar Rp 1,3 atau Rp 1,4 triliun," katanya.
Dengan angka segitu, Jakarta diyakini belum bisa bebas dari masalah sampah.
Advertisement
Kunci Surabaya Mengolah Sampah
Pemerintah Kota Surabaya menjadi contoh daerah yang sukses mengelola sampah, termasuk sampah plastik. Tak hanya di Indonesia tetapi juga dunia.
Pada 2016, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) mendapatkan apresiasi hingga diundang ke Inggris oleh Pangeran Charles terkait keberhasilannya dalam mengelola sampah plastik.
Kebijakan pengelolaan sampah plastik di Surabaya dinilai bisa jadi percontohan tingkat internasional.
Risma mengatakan, mengelola sampah di Surabaya bukan perkara mudah. Pemkot Surabaya butuh 20 tahun untuk membenahi masalah sampah karena dana terbatas. Selain itu, dibutuhkan kedisiplinan, seperti mengangkut sampah tepat waktu sehingga tidak menganggu masyarakat.
"Saya tahu betul tiap kali penjemputan sampah, semua wilayah dapat terpantau. Dari pukul berapa diambil, nama driver-nya, nopol angkutannya semua sudah terekam, sehingga tidak ada satupun yang terlewatkan," kata Risma, Surabaya, Rabu 31 Juli 2019.
Selain itu, Pemkot Surabaya juga membangun rumah kompos di Surabaya. Saat ini ada 28 rumah kompos di Surabaya. Ditargetkan penambahan lima rumah kompos baru pada 2019.
Salah satu rumah kompos terbesar di Surabaya yaitu Rumah Kompos Wonorejo. Kompos yang diolah di sini berasal dari sampah pasar dan daun kering akibat perantingan. Setiap hari ada 10-15 ton sampah pasar yang masuk ke Rumah Kompos Wonorejo.
"Semua sampah pasar yang ada di Surabaya yaitu Pasar Keputran, Pasar Wonokromo, Pasar Soponyono, Pasar Pucang dikelola menjadi kompos di sini," ujarnya.
Mengutip Instagram @surabaya, dalam pembuatan kompos ini ada beberapa tahapan mulai dari perantingan, pembalikan kompos hingga pengayakan dan kompos siap digunakan. Setelah itu kompos akan didistribusikan ke seluruh taman di Surabaya, sesuai permintaan. Dari proses ini dapat hemat anggaran pemupukan hingga Rp 120 juta per tahun.
Pemkot Surabaya juga memanfaatkan sampah untuk menjadi listrik. Salah satunya membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Benowo. Proyek tersebut kerja sama antara Pemkot Surabaya dan PT Sumber Organik serta PT PLN Persero. Pada awal berdiri proyek pembangkit listrik tenaga sampah sekitar 2016 itu, hasil energi yang dihasilkan hanya sekitar 1-2 megawatt. Dari TPA Benowo mampu memproduksi listrik sehingga menjual ke PLN.
Pada 2019, PLTSa di TPA Benowo ditargetkan dapat meningkatkan hasil produksi menjadi 11 MW. Diharapkan peningkatan kapasitas pembangkit tenaga listrik sampah itu dapat direalisasikan pada November 2019. Surabaya pun menjadi salah daerah di Indonesia yang sudah siap menghasilkan listrik dari sampah.
Plt Kepala Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, Pemkot melibatkan masyarakat untuk menyelesaikan masalah sampah. Salah satunya menumbuhkan kesadaran untuk memisahkan sampah organik dan anorganik. Pemkot juga juga membangun bank sampah di sejumlah kelurahan, RT dan RW.
Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka mengutip dari RKPD 2019, pada 2016, jumlah penduduk Surabaya 3,30 juta dengan TPS 187 unit. Pada 2017, jumlah penduduk Surabaya mencapai 3,34 juta pada 2017 dengan jumlah TPS 187 unit.Â
"Kami sediakan TPS 3R di lima wilayah Surabaya. Kami ada kerja sama dengan Prancis yang sediakan larva untuk menghancurkan sampah. Jadi sampah yang masuk TPA tersebut tidak banyak atau sudah berkurang," ujar Eri saat dihubungi Liputan6.com, Rabu, 31 Juli 2019. (Ein)