Sukses

Memburu Tersangka Baru Kasus Dugaan Korupsi di Kemenpora

KPK kini tengah menyelidiki kasus dugaan korupsi di tubuh Kemenpora.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan pemain bulu tangkis Nasional Taufik Hidayat tiba-tiba mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis, 1 Agustus 2019. Nama Taufik tak ada dalam jadwal pemeriksaan yang diterbitkan pihak lembaga antirasuah.

Taufik yang mengenakan kemeja berwarna putih tiba sekira pukul 10.00 WIB. Tak lama menunggi di lobi markas antirasuah, Taufik pun naik ke lantai dua Gedung Merah Putih itu. Lantai dua biasa digunakan penyidik untuk memeriksa saksi.

Selang 45 menit kemudian, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, kedatangan peraih medali emas pada Olimpiade Athena 2004 itu. Febri menyebut, Taufik dimintai keterangan dalam penyelidikan kasus baru.

"Pengembangan dari perkara sebelumnya yang telah diproses di persidangan Pengadilan Tipikor," ujar Juru Febri kepada awak media melalui pesan singkat, Kamis (1/8/2019).

Febri tak membeberkan, apakah Taufik diperiksa terkait pengembangan kasus dugaan suap dana hibah dari pemerintah kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dari Kemenpora, atau kasus lain di Kemenpora yang tengah ditelisik lembaga antirasuah.

Namun yang jelas, usai Taufik diperiksa sekitar pukul 15.40 WIB, Febri menyebut bahwa pemeriksaan Taufik untuk mendalami tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Taufik selama menjadi pejabat di Kemenpora.

"Taufik Hidayat dimintakan keterangan dalam penyelidikan sebagai Wakil Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) dan Staf Khusus (Stafsus) di Kemenpora," kata Febri.

Taufik yang rampung diperiksa tim lembaga antirasuah mengamini pemeriksaannya berkaitan dengan tupoksinya di Kemenpora. Taufik mengaku, dicecar setidaknya delapan pertanyaan oleh tim penyelidik.

Dari delapan pertanyaan itu, Taufik mengaku, ada pertanyaan tentang apakah dirinya mengenal dengan Menpora Imam Nahrawi. Taufik jelas mengaku kenal, sebab Taufik pernah menjabat Stafsus Imam Nahrawi.

"Ya (ditanya) kenal Pak Imam (Nahrawi) enggak. Ya gitu-gitu saja (pertanyaan selama pemeriksaan)," kata Taufik.

Selain perkenalannya dengan Imam Nahrawi, Taufik juga mengaku, sempat dicecar perkenalannya dengan asisten pribadi Imam Nahrawi bernama Miftahul Ulum.

"Ya ditanya (apakah kenal Ulum), ya kenal," kata Taufik.

Taufik mengaku, tak ada pertanyaan lain yang ditanyakan tim penyelidik di luar tupoksi dan perkenalannya dengan pejabat di Kemenpora.

"Terkait Menpora saja sih, yang lain enggak ada. Kemenpora sama Satlak Prima, sama di Stafsus itu saja," kata Taufik.

Sebelum Taufik, dalam pengembangan perkara ini, KPK juga pernah memeriksa Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Gatot Sulistiantoro Dewa Broto. Gatot diperiksa pada Jumat, 26 Juli 2019 lalu.

Serupa dengan Taufik, pemeriksaan Gatot saat itu juga tak ada dalam jadwal yang kerap diterbitkan pihak lembaga antirasuah. Sebab, pemeriksaan Gatot berkaitan dengan penyelidikan.

"(Gatot Dewa Broto) dibutuhkan keterangannya dalam pengembangan perkara di Kemenpora," kata Febri saat dikonfirmasi, Jumat, 26 Juli 2019.

Usai diperiksa tim penyelidik, Gatot saat itu mengaku, ditelisik soal pengelolaan anggaran Kemenpora era Imam Nahrawi. Saat itu Gatot mengaku, telah membeberkan semua yang ia ketahui kepada penyelidik. Gatot sendiri baru menjabat Sesmenpora pada 2017.

"KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2019," ujar Gatot di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat, 26 Juli 2019.

Gatot berdalih tidak semua pengelolaan anggaran dan kegiatan-kegiatan Kemenpora dia terlibat. Karena itu ia membawa semua dokumen yang dibutuhkan KPK sejak tahun 2014 sampai 2018.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Kumpulkan Bukti dan Keterangan

Saat ini, KPK tengah mengumpulkan informasi dan barang bukti dalam perkara yang belum diumumkan ke publik ini. Lalu siapa yang diincar oleh lembaga yang kini dipimpin Agus Rahardjo ini?

Jika menelisik dari pernyataan Taufik di atas, Taufik mengaku sempat dicecar perkenalan dengan Imam Nahrawi dan Miftahul Ulum. Kedua nama tersebut memang kerap muncul di persidangan suap dana hibah KONI dari pemerintah melalui Kemenpora.

Imam Nahrawi sempat disebut dalam persidangan menerima uang Rp 11,5 miliar. Uang itu diberikan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy melalui Miftahul Ulum.

Ketua Majelis Hakim Rustiyono mengatakan hal itu dalam pertimbangan putusan terhadap Ending Fuad Hamidy yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin 20 Mei 2019.

"Berdasarkan fakta dan pertimbangan hukum, perbuatan terdakwa (Ending) telah memenuhi unsur memberi sesuatu," ujar Rustiyono saat itu.

Menurut hakim, Miftahul Ulum menerima uang dengan rincian, Rp 2 miliar pada Maret 2018. Penyerahan terjadi di Kantor KONI. Kemudian, Rp 500 juta diserahkan pada Februari 2018 di ruang kerja Sekjen KONI. Selanjutnya, Rp 3 miliar melalui staf protokol Arief Susanto yang menjadi orang suruhan Ulum.

Kemudian, Rp 3 miliar kepada Ulum di ruang kerja Sekjen KONI pada Mei 2018. Selanjutnya, penyerahan Rp 3 miliar dalam mata uang asing. Uang diserahkan sebelum lebaran di Lapangan Tenis Kemenpora pada 2018.

Menurut hakim, meski Imam dan stafnya membantah menerima uang, pemberian uang itu diakui oleh para terdakwa dan saksi lainnya.

Dalam kasus suap dana hibah KONI ini, Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 150 juta, sedangkan Bendahara KONI Johnny E Awuy dituntut 2 tahun dan denda Rp 100 juta.

Keduanya dianggap terbukti memberi suap Rp 400 juta, satu unit Toyota Fortuner, dan satu unit Samsung Galaxy Note 9 kepada Mulyana selaku Deputi IV bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

Suap ini sebagai pemulus dana hibah pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi Olahraga Nasional pada multi event Asian Games ke-18 dan Asian Para Games ke-3 pada 2018 senilai Rp 30 miliar dan kedua, dana pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun 2018 sejumlah Rp 17,971 miliar.

Pada surat tuntutan yang dibacakan, perbuatan suap yang dilakukan Ending diperkuat oleh keterangan saksi Supriyono, mantan bendahara PPK Kemenpora yang membenarkan dirinya diminta Mulyana membeli mobil namun atas nama sopir Mulyana bernama Widi Ramadhani.

Sumber uang untuk pembelian mobil tersebut berasal dari KONI yang diserahkan Ending. Pemberian suap kembali terjadi pada Juni. Kepada Jhonny, Ending meminta agar memberikan jatah Mulyana sebanyak Rp 300 juta.