Sukses

HEADLINE: Anggota DPR Kembali Ditangkap KPK, Kenapa Tak Pernah Jera?

Catatan ICW, total ada 22 anggota DPR periode 2014-2019 telah ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi.

Liputan6.com, Jakarta - Kabar wakil rakyat ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti tidak ada habisnya. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu seakan tidak pernah belajar dari pengalaman rekan-rekannya yang lebih dulu tersandung korupsi.

Baru-baru ini, KPK mengamankan 11 orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di Jakarta selama dua hari sejak Rabu 7 Agustus 2019 kemarin. OTT tersebut diduga terkait suap impor bawang putih yang melibatkan anggota Komisi VI DPR.

KPK kemudian menjemput anggota Fraksi PDIP, Nyoman Dhamantra di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng untuk dibawa ke gedung lembaga antirasuah di Kuningan, Jakarta Selatan. Anggota Komisi VI DPR itu diperiksa intensif menyusul asistennya yang lebih dulu diamankan dalam OTT.

Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada April 2019, terdapat 22 anggota DPR RI periode 2014-2019 yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Belum lagi anggota dewan tingkat daerah. Angka tersebut memperlihatkan bahwa penindakan koruptor belum memberi efek jera anggota dewan.

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz mengatakan, terdapat beragam alasan kenapa anggota DPR tidak pernah jera bermain-main dengan uang panas. Salah satunya tingginya biaya politik, meski itu bukan alasan utama anggota dewan berperilaku korup.

"Ini kan jenis korupsi politik, korupsi anggota DPR itu disebabkan karena perilaku tamak. Perilaku tamak kan enggak ada batasannya, uang seberapa pun tak akan pernah cukup oleh mereka. Menurut saya variabelnya banyak penyebabnya, tidak tunggal kenapa mereka tidak kapok," kata Donal kepada Liputan6.com, Kamis (8/8/2019).

Menurut peneliti ICW itu, rata-rata motif korupsi wakil rakyat adalah untuk memperkaya diri dengan cara instan. "Jadi sudah hilang arah tujuan politik untuk jembatan demokrasi, tetapi politik sudah menjadi sarana paling cepat untuk memperkaya diri bagi sebagian orang," ucap Donal.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menilai, banyaknya anggota dewan tersandung korupsi karena penggunaan kekuasaan dan kewenangannya dinilai belum transparan. Akibatnya, jual beli pengaruh atau kewenangan tak terhindarkan.

Untuk mencegah itu, dia berharap DPR memperbaiki sistemnya terutama dalam penggunaan kewenangan agar dibuat transparan dan akuntabel. Selain itu, harus diimbangi dengan pengawasan internal dan eksternal.

"Baik internal DPR maupun internal partai politiknya. Selama ini sepertinya pengawasan itu yang tampaknya tidak bekerja dengan baik sistemnya, parpol juga demikian pengawasan pada kader-kadernya masih kurang," kata Oce kepada Liputan6.com.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata secara tersirat mengakui sanksi yang diberikan kepada koruptor belum bisa memberikan efek jera. Dia mengusulkan, koruptor tidak hanya menjalani hukuman kurungan dan denda, tapi juga sanksi sosial.

"Nanti saya usulkan kita mau bikin sanksi sosial, kan belum ada nih misalnya Jakarta kan Minggu ada CFD (hari bebas kendaraan bermotor), nah tahanan tipikor itu saat kita jalan, olahraga, dia disuruh nyapu pakai baju terpidana kasus korupsi," kata Alex kepada Liputan6.com.

Sanksi sosial diyakini akan memberikan efek jera lebih tinggi. Sebab, yang menanggung malu tentu bukan hanya pelaku sendiri, tapi keluarga koruptor juga akan terkena dampaknya.

Selain itu, peran masyarakat juga sangat diperlukan dalam memberikan efek jera koruptor. Menurut Alex, masyarakat harus dididik supaya tidak permisif terhadap koruptor.

"Sekarang misal terpidana korupsi bebas, itu masih ada ramai-ramai jemput dan mereka di masyarakat masih diterima sebagai warga negara yang terhormat lagi. Kan masih tetap kaya dia," ucap Alex.

"Jadi ya memang multidimensi kasus korupsi ini, tidak semata-mata unsur pidana, tapi bagaimana membangun kesadaran bersama. Ya memang tugas kita bersama, enggak mungkin itu semuanya diserahkan ke KPK, omong kosong," kata komisioner KPK itu menandaskan.

Saksikan Video Pilihan berikut Ini:

2 dari 3 halaman

'Deja Vu' di Kongres PDIP

Penangkapan Nyoman Dhamantra bak 'deja vu' bagi pelaksanaan Kongres V PDIP di Bali. Pada Kongres IV PDIP yang juga dilaksanakan di Bali, 9 April 2015 lalu, salah satu kader partainya, Andriansyah ditangkap KPK.

Mantan anggota Komisi IV DPR itu ditangkap terkat kasus Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Mitra Maju Sukses. Suap itu sudah diterima Adriansyah sejak menjabat sebagai Bupati Tanah Laut, Kalimantan Selatan hingga menjadi anggota DPR.

Kini peristiwa serupa kembali terjadi. Anggota Komisi VI Fraksi PDIP Nyoman Dhamantra ditangkap KPK saat partainya tengah menggelar hajatan besar di Bali. Nyoman ditangkap terkait OTT dugaan suap impor bawang putih.

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sejatinya telah mewanti-wanti kadernya agar menunjukkan kedisiplinannya dengan mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Harapannya agar tidak ada kader yang ditangkap KPK saat kongres seperti peristiwa sebelumnya.

Hal itu disampaikan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam acara malam kebudayaan jelang Kongres V PDIP, Denpasar, Bali, Rabu 7 Agustus 2019.

Menurut Hasto, Megawati bahkan telah menerbitkan surat perintah berisi instruksi kepada seluruh kader partai di struktur, eksekutif, legislatif seluruh Indonesia untuk tidak melakukan dan mencegah penyalahgunaan wewenang serta kekuasaan. Apalagi, melakukan korupsi dengan mengatasnamakan Kongres V PDIP.

Dalam surat itu tegas dinyatakan bahwa setiap yang melanggar akan langsung dipecat. "Surat itu dikeluarkan pada 5 Agustus," ujar Hasto.

Diakui Hasto, pihaknya tak mau kejadian saat kongres pada 2015 terulang kembali. Saat itu, seorang kader partai dipecat dengan tidak hormat.

"Kami belajar pada kongres 2015 lalu di mana ada kader kami yang dipecat dengan tidak hormat. Pemecatan seketika ketika di dalam kongres ini melakukan perbuatan yang tidak terpuji," kata Hasto.

3 dari 3 halaman

22 Anggota DPR Tersangka KPK

Hingga April 2019, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, terdapat 22 anggota DPR RI periode 2014-2019 yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah itu, belum ada lagi anggota DPR yang ditetapkan tersangka korupsi KPK.

"Tiga orang di antaranya bahkan menjadi tersangka di tahun pertama masa jabatan, yaitu Ardiansyah (Fraksi PDIP), Patrice Rio Capella (Fraksi Nasdem), dan Dewi Yasin Limpo (Fraksi Hanura)," bunyi laporan ICW bertajuk 'Evaluasi DPR 2014-2019 Periode Minim Prestasi, Penuh Kontroversi', 7 April 2019.

Legislator yang tersandung korupsi didominasi kader Partai Golkar sebanyak delapan orang. Disusul kader Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang masing-masing berjumlah tiga orang.

KPK juga telah menetapkan tersangka terhadap dua legislator dari Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) dan dua anggota Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masing-masing satu kadernya di DPR telah ditetapkan tersangka korupsi. Hanya saja ICW tidak merinci nama-nama legislator yang tersandung korupsi.

"Dapat dikatakan, korupsi oleh anggota DPR/D periode 2014-2019 sangat memprihatinkan. Tidak hanya dikarenakan jumlahnya yang banyak, melainkan juga dilihat dari jabatan anggota tersebut. Pada periode ini, Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menjadi tersangka korupsi. Dua anggota dewan tersangka juga merupakan ketua umum partai, yaitu Setya Novanto (Ketua Umum Partai Golkar) dan Muhammad Romahurmuziy (Ketua Umum PPP)," tulis ICW.

Korupsi legislator di tingkat daerah juga tidak kalah memprihatinkan. Catatan ICW, KPK pada 2018 menetapkan belasan hingga puluhan legislator di beberapa daerah, yakni anggota dan mantan anggota DPRD Sumatera Utara (44 orang), DPRD Kota Malang (41 orang), DPRD Jambi (13 orang), dan DPRD Lampung Tengah (6 orang) sebagai tersangka.

Para legislator itu disangka menerima suap dari kepala daerah terkait fungsi dan kewenangan mereka sebagai anggota dewan, khususnya dalam pembahasan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).