Sukses

Cerita Madu Arab Sembuhkan Malaria Bung Karno Jelang Proklamasi Kemerdekaan

Jelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sukarno terserang malaria. Suhu tubuhnya panas. Dokter pribadinya pun langsung mengambil tindakan.

Liputan6.com, Jakarta - Halaman rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur, Nomor 56 Jakarta Pusat, terlihat ramai. Pagi itu, Jumat 17 Agustus 1945, pukul 08.00 WIB, puluhan pemuda bersiap menyambut hari kemerdekaan Indonesia.

Sementara sang sohibul bait, Sukarno, masih tertidur lelap di ranjangnya. Saat itu, kondisi fisiknya memang tidak sehat.

Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya, Api Sejarah menuturkan, dua jam sebelum pembacaan teks Proklamasi, suhu badan Sukarno masih tinggi. Dia terserang malaria.

Selain itu, Sukarno juga mengalami kelelahan usai beraktivitas tiada henti. Mulai dari kegiatan di Rengasdengklok hingga begadang semalaman merumuskan naskah proklamasi di kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, perwira penghubung Angkatan Laut Jepang di Jakarta.

"Badanku menggigil dari kepala sampai ke kaki. Suhu tubuhku naik sampai 40 derajat. Meski sakitku sangat parah, aku tak dapat pergi tidur begitu sampai di rumah. Aku langsung ke meja tulisku dan duduk di sana selama berjam-jam," kata Sukarno dalam autobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat.

Dalam buku Samudera Merah Putih 19 September 1945, Jilid 1 (1984) karya Lasmidjah Hardi, alasan Presiden Sukarno memilih tanggal 17 Agustus sebagai waktu proklamasi kemerdekaan adalah karena Bung Karno mempercayai mistik. (Dok.Arsip Nasional RI)

Tak berapa lama, Soeharto Sastrosoeyoso pun tiba. Dokter pribadi Bung Karno itu memberanikan diri masuk ke kamar Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tersebut. Ia lantas membangunkannya.

Sukarno pun terbangun. Dia mengaku tak enak badan. "Pating greges (badannya demam)," kata Sukarno seperti ditulis Ahmad Mansur.

Lantaran suhunya tinggi, tubuh Bung Karno diberi suntikan yang berisi cairan chinine-urethan intramusculair. Ia juga diminta meminum obat broom-chinine untuk menurunkan suhu tubuhnya. Dengan begitu, pada hari ke-8 Ramadan, Bung Karno tidak berpuasa.

Tak hanya diberi suntikan, Bung Karno saat itu juga meminum madu asal Hadramaut, Yaman, pemberian, Faradj Martak, saudagar Timur Tengah, yang dekat dengan Bung Karno.  

Konon, madu , asal Hadramaut  itu memiliki kemampuan membunuh aneka bakteri tanpa efek samping. Madu ini bersifat antibiotik, antiseptik, dan antijamur. Soekarno pun disebut rutin mendapat pasokan satu dus madu Sidr satu atau dua bulan sekali.

Obat yang diminum itu ternyata mujarab. Pukul 09.30 WIB atau 30 menit sebelum pembacaan teks Proklamasi, Bung Karno bangun dari tidurnya dengan kondisi lebih baik. Panas di tubuhnya sudah menurun. Kendati telah sembuh, Sukarno menolak membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta.

Sesaat sebelum acara dimulai, Hatta pun tiba di kediaman Sukarno. Dia mengenakan setelan putih-putih. Hatta langsung menuju kamar untuk menjemput Sukarno.

Sukarno pun bangkit dari tempat tidur. Ia mengenakan setelan yang sama dengan Hatta. Didampingi Fatmawati, keduanya lalu berjalan menuju teras rumah.

Di teras rumah, sejumlah tokoh sudah menunggu. Terlihat antara lain Ahmad Subardjo, Soewirjo, Soekarni, Soejono, Latuharhary, SK Trimurti, dan AG Pringgodigdo.

Selain itu, massa juga telah mulai berkumpul sejak pukul 07.00 WIB. Mereka datang dengan membawa bambu runcing, sekop, tongkat, golok, dan berbagai senjata lain. Jikalau saat itu ada hambatan dari musuh, mereka sudah siap bertarung hingga darah penghabisan.

Mereka berjaga-jaga di sekitar rumah Bung Karno untuk memastikan tak ada tentara Jepang ataupun Sekutu yang menggagalkan rencana proklamasi kemerdekaan Indonesia.

"Pesan sudah tersebar bahwa Bung Karno akan menyatakan kemerdekaan. Kita harus melindungi Bung Karno. Petani, pedagang kelontong, nelayan, pegawai negeri, anak-anak muda, dan orang tua, semua mengalir ke Pegangsaan Timur 56," ujar massa yang tertulis dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

 

 

2 dari 2 halaman

Tangis Haru Usai Pembacaan Proklamasi

Momen yang dinantikan itu akhirnya tiba. Sekitar pukul 10.00 WIB, Sukarno tampil membacakan naskah proklamasi dengan suara mantap. Semua mendengar dengan serius.

“Saudara-saudara sekalian, saya telah meminta Saudara hadir di sini untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita, bangsa Indonesia telah berjuang, untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan, telah beratus-ratus tahun.

Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya, ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti.

Di zaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakikatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kekuatannya.

Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seiya sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.

Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu.

Dengarkanlah Proklamasi Kami.

Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta 17-8-45

Atas nama bangsa Indonesia

Sukarno-Hatta

Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat Tanah Air kita dan bangsa lain. Mulai saat ini kita menyusun negara kita. Negara Merdeka! Negara Republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu," tutur Sukarno.

Tangis haru langsung terlihat di wajah para pemuda dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang hadir. Ada yang berpelukan, ada pula yang memekikkan teriakan "Indonesia Merdeka!".

Setelah pembacaan teks proklamasi, upacara dilanjutkan dengan pengibaran bendera. Pada awalnya SK Trimurti diminta untuk menaikkan bendera, namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit.

Karena itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Suhud untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih yang dijahit Fatmawati beberapa hari sebelumnya.

Karena tak ada protokoler acara, usai pengibaran bendera Merah Putih, mereka yang hadir kemudian membubarkan diri. Sukarno kembali ke kamarnya. 

Euforia rakyat bebas dari penjajahan, secara pelan tapi pasti, menyebar ke seluruh penjuru negeri. Indonesia Merdeka!