Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai ceroboh atas lepasnya mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyas Temenggung (SAT) dari jeratan kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Ini kecerobohan KPK sejak proses penyelidikan dan penyidikan berbuah putusan lepasnya SAT dari segala tuntutan hukum di tingkat kasasi," ujar Ahli hukum Romli Atmasasmita saat dikonfirmasi, Kamis (15/8/2019).
Menurut tim perumus UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, putusan Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan Syafruddin merupakan kejutan bagi KPK.
Advertisement
"Argumentasi hukum dan beberapa ahli hanya didasari semangat antikorupsi. Tidak mempertimbangkan dengan hati-hati fakta yang ada terkait penerbitan SKL oleh Syafruddin," kata Romli.
Padahal, menurut Romli, kekuatan hukum terletak pada fakta bukan opini atau semangat menghukum semata-mata. Dalam menghukum seseorang, KPK memerlukan bukti-bukti yang kuat.
"Hukum tidak dapat ditegakkan dengan mata tertutup seperti lambang dewi keadilan, yang terlanjur dibenarkan," kata dia.
Romli mengatakan, seharusnya KPK berkaca pada penanganan kasus BLBI terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang sempat ditangani Kejaksaan. Saat itu Kejaksaan menghentikan kasus tersebut lantaran dinilai bukan ranah pidana.
"Pertanyannya, bagaimana KPK mengambil alih kasus ini dari kejaksaan, karena baik subjek maupun objek kasusnya adalah identik, terlepas dari tempus delictinya? Apakah KPK telah melakukan koordinasi dan supervisi sesuai aturan Pasal 6 UU KPK? Sayangnya, sampai saat ini tidak pernah ada penjelasan dari KPK," kata dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Dibebaskan MA
Syafruddin bebas dari jeratan kasus korupsi penerbitan SKL BLBI setelah MA mengabulkan permohonan kasasinya. Dalam putusan itu, terjadi dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari para hakim.
Ketua Majelis Hakim Salman Luthan menyatakan sependapat dengan Pengadilan Tinggi DKI yang menyebut kasus Syafruddin merupakan ranah pidana.
Sedangkan Hakim Syamsul Rakan Chaniago menyatakan perbuatan Syafruddin masuk dalam ranah perdata. Sementara Hakim Askin mengatakan bahwa perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan administrasi.
Advertisement