Sukses

HEADLINE: Pin Emas Anggota Baru DPRD Jakarta Bikin Riuh, Terancam Dihilangkan?

Sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta 2019-2024 menolak pemberian pin emas. Alasannya, mereka menilai itu adalah pemborosan uang negara.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota DPRD DKI Jakarta terpilih belum juga bekerja. Tapi, riuh suara mereka sudah menggema. Bukan soal program kerja untuk memajukan Jakarta ke depan, tapi soal pin emas.

Pin emas akan dibagikan ke 106 anggota DPRD DKI 2019-2024 yang akan dilantik pada 26 Agustus 2019 mendatang. Ada dua pin emas 22 karat yang akan dibagikan, yaitu seberat 2 gram dan 5 gram. Total anggaran yang dibutuhkan adalah Rp 1.332.351.130.

Pembagian pin emas memicu kontroversi setelah sejumlah anggota DPRD menolak pin tersebut. Mereka beralasan, pin emas adalah bentuk pemborosan uang negara.

"Pengadaan pin emas tidak berpengaruh substantif kepada kinerja DPRD ke depan. Anggaran yang ada lebih baik digunakan ke arah yang bermanfaat, seperti peningkatan program pelayanan masyarakat," ujar anggota DPRD DKI terpilih dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Idris Ahmad, Rabu 21 Agustus 2019.

Menurut Idris, tidak ada aturan yang mewajibkan pembuatan pin yang menjadi simbol keanggotaan legislatif harus berbahan dasar emas.

"Bila fungsinya sebatas simbol, bahan kuningan tembaga atau lainnya yang lebih murah bisa menjadi alternatif. Di Medan, Magetan, dan Ponorogo saja sudah mulai mengganti pin emas jadi berbahan kuningan. Berarti tidak wajib kan?” kata Idris.

PSI Jakarta telah mengusulkan kepada Sekretariat Dewan untuk menggunakan pin yang terbuat dari kuningan, khusus untuk delapan anggota terpilih dari PSI pada saat pelantikan nanti.

"Kami bersedia menggunakan pin tembaga kuningan dan ini sudah dilakukan di daerah-daerah lain. Sebetulnya, perlu atau tidaknya pengadaan seperti pin emas harus dibuka ke publik dan dibahas betul di DPRD Jakarta," ucap Idris.

Wakil Ketua DPW PSI DKI Jakarta Rian Ernest menambahkan, pihaknya taat di garis partai melawan korupsi dan inefisiensi keuangan negara.

"Silakan saja dicap pencitraan. PSI akan jalan terus," ujar Ernest kepada Liputan6.com, Kamis (22/8/2019).

Ernest menyatakan, dari awal pihaknya tegas menolak upaya penghamburan uang negara. Pin emas, kata dia, tak ada pengaruhnya untuk menunjang kinerja anggota dewan. 

"Yang jelas, setahu kami tidak ada peraturan mewajibkan berbahan emas," ujarnya.

Senada, caleg terpilih dari PDIP Imah Mahdiah juga menyuarakan hal yang sama. Hanya, jika memang pin emas tersebut tidak bisa dikembalikan, dia akan menyimpannya.

"Saya lihat dulu peraturannya, apakah bisa jadi hak milik atau tidak. Kalau jadi hak milik, saya akan sumbangkan ke Jangkau-nya Pak Ahok," ujarnya.

Ke depan, pihaknya akan mendorong, peraturan penggunaan pin emas sebagai bentuk penghargaan anggota DPRD cukup dengan menggunakan bahan yang lebih murah saja, misalnya berbahan kuningan.

"Kuningan harganya jauh lebih murah," jelasnya.

Infografis Heboh Pin Emas Wakil Rakyat Jakarta. (Liputan6.com/Triyasni)

Reaksi berbeda disampaikan anggota DPRD terpilih dari Demokrat, Mujiyono. Dia menyatakan, penolakan pin emas sebagai aksi yang lebay dan norak.

"Itu pencitraan yang lebay dan norak. Pin emas itu kan hanya simbol," ujarnya kepada Liputan6.com, Kamis (22/8/2019).

Mujiyono yang merupakan petahana ini menyatakan, pin emas adalah simbol sukses seorang politikus setelah melalui proses perjuangan panjang di pileg. Di pileg, seorang caleg harus berjibaku meluangkan waktu dan biaya agar terpilih.

"Jangan dilihat dari biaya yang dikeluarkan. Jelas tidak sebanding dengan yang kita keluarkan selama masa kampanye di pileg. Tapi simbol itu yang penting," ujarnya.

Wakil Ketua Demokrat DKI ini menyatakan, pin emas yang diberikan nanti adalah dua buah dengan masing-masing beratnya 2 dan 5 gram dengan kualitas emas 22 karat.

"Itu kalau dirupiahkan paling hanya Rp 3,3 jutaan (per gram Rp 475.500). Uang senilai itu untuk lima tahun pemakaian. Apa bisa itu dibilang pemborosan? Kalau mau kritis banyak tuh hal lain yang memang benar-benar pemborosan. Silakan nanti dikritisi kalau sudah masuk," ujarnya Mujiyono.

Lebih jauh menegaskan, membicarakan pin emas bukan hal krusial saat ini. Menurutnya, yang terpenting adalah bagaimana sebagai anggota dewan nantinya bisa berkontribusi dan keberadaannya bisa dirasakan masyarakat secara langsung.

"Prestasi, kerja. Itu yang utama. Jangan cuma sibuk urusin yang remeh kayak gitu," tambah dia.

Terpisah, Ketua Fraksi Partai Gerindra DKI Jakarta Abdul Ghoni menyatakan, permasalahan pin emas untuk anggota DPRD yang baru tidak krusial untuk jadi polemik. 

"Kalau PSI tidak mau, ya sudah kembalikan. Kalau mau sekalian jangan nanggung, tolak juga yang lain-lainnya. Gaji, tunjangan-tunjangan yang lain. Kalau mau pencitraan harus total," ujarnya, Kamis (22/8/2019).

Ghoni menyatakan, pemberian pin emas sudah sesuai aturan Permendagri yang tertuang dalam turunan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.  

"Pin itu simbol lembaga, bukan untuk gaya-gayaan," tukasnya.

Dia mengaku tak masalah jika pin tersebut tak terbuat dari emas. Esensi pin tersebut adalah pada lambang sebagai bentuk representasi lembaga.

"Tak masalah kalau diganti kuningan. Tapi jangan ini dijadikan alasan pemborosan. Sudah ada aturan mainnya dan jelas," ungkapnya.

Berdasar pengalamannya, pin yang dipakai anggota DPRD DKI sangat berguna sebagai identitas saat kunjungan, terlebih waktu kunjungan ke luar negeri.

"Pengalaman saya waktu dinas ke luar negeri seperti Jepang, Korea atau Malaysia, mereka sangat menyukai pin yang kita kenakan. Bahkan banyak yang meminta untuk cinderamata," jelasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Rp 1,3 Miliar Berlebihan?

Kontroversi pin emas DPRD DKI juga mendapat sorotan dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi). Peneliti Formappi Lucius Karus menyatakan, pengadaan pin emas anggota DPRD DKI yang menelan biaya fantastis sebesar 1,3 miliar berlebihan.

Menurutnya, pin hanyalah aksesoris pengenal anggota, yang tak ada kaitannya dengan kerja anggota dewan.

"Sebagai wakil rakyat, mestinya anggota DPRD sudah dikenali oleh konstituennya karena untuk mendapatkan kursi di DPRD itu, anggota DPRD pasti berkampanye, memperkenalkan diri kepada konstituennya. Modal dikenal itu jadi salah satu alasan kenapa seorang anggota bisa dipilih dari banyak caleg lain," ujar Lucius Karus, Kamis 22 Agustus 2019.

Dia menyatakan, pin sesungguhnya tak begitu penting dan tak punya urgensi. "Karena tidak penting, maka sungguh tak masuk akal jika harus dibalut emas yang membuat biaya pengadaannya bertambah mahal," tambahnya.

Mestinya, dia menambahkan, urusan aksesoris ini tak perlu diprioritaskan. Bagi mereka semestinya yang harus ditunjukkan sebagai pengenal adalah kerja sebaik-baiknya, terutama memperjuangkan aspirasi konstituen dan memastikan anggaran DKI yang besar dipakai untuk kepentingan warga DKI.

"Kalau kerja sebagai anggota DPRD terbukti, tak perlu upaya lain untuk dikenal konstituen. Mereka akan mengapresiasi kerja mereka sekaligus menaruh kepercayaan pada anggota. Modal bagi karir politik selanjutnya tak sulit lagi jika sudah mendapatkan kepercayaan itu," ujarnya.

Lucius menambahkan, sudah waktunya DPRD berpikir soal bagaimana menjadikan lembaga itu bermanfaat bagi rakyat yang dibuktikan dengan kinerja yang maksimal. 

"Usulan PSI agar pin emas itu diganti dengan yang lebih sederhana bisa diterima. Agar dana tak habis sia-sia untuk sesuatu yang tak bermanfaat," ucapnya.

Pengamat politik Jakarta Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (KATAR) Sugianto menyatakan, apa yang dilakukan wakil PSI di DKI harus diapresiasi. Sebagai new comer, politikus PSI berhasil mengawali langkah dengan baik, yakni mengawal anggaran negara dari pemborosan.

"Hanya, idealnya PSI harus total. Mereka juga harusnya memperjuangkan bagaimana pin emas itu batal diberikan dan anggaran bisa dialihkan ke hal lain yang lebih penting. Soal bagaimana caranya? PSI lebih tahu," jelasnya, Kamis (22/8/2019).  

Tak hanya itu, untuk menepis ini bukan pencitraan semata, PSI harus melakukan pengawalan anggaran secara berkesinambungan saat sudah sah menjadi anggota DPRD nanti.

"Di dalam banyak hal-hal yang perlu dikritisi. Kita tunggu konsistensi mereka," katanya.

Satu contoh yang bisa dikritisi adalah kunjungan kerja yang tidak perlu yang banyak dilakukan anggota dewan selama ini. Tak hanya kunker dalam negeri, anggota dewan DKI juga 'boros' dengan kunjungan ke mancanegara.

"Berani enggak nanti PSI melawan dan mengkritisi ini? Kalau tidak, berarti apa yang dilakukan selama ini hanya untuk mencari panggung semata," katanya.  

 

3 dari 3 halaman

Ini Aturan Kemendagri

Sekretaris Dewan DPRD DKI Jakarta M Yuliadi menyatakan, tak masalah jika ada anggota dewan yang menolak pin emas. Termasuk PSI Jakarta yang sudah menegaskan menolak pin emas.

"Nanti kita simpan. Sewaktu ada PAW (pergantian antara waktu) anggota dewan kita nggak perlu bikin lagi. Persiapan kalau ada PAW, kan kita simpan," kata Yuliadi, Rabu 21 Agustus 2019.

Yuliadi akan meminta anggota DPRD terpilih dari PSI untuk membuat surat pernyataan penolakan pin emas tersebut. "Jadi biar saya enggak disalahin. Saya simpan saja (pinnya)," ujarnya.

Dia mengatakan, pin emas adalah atribut untuk membedakan masyarakat dengan anggota dewan.

"Kalau mereka enggak mau pakai emas ya terserah saja. Kalau Korpri kan banyak di mana-mana, tapi kalau lambang DPRD kan enggak sembarangan, agak susah," ujar dia.

Yuliadi mengatakan, penolakan pin ini baru pertama kali dialaminya sejak menjabat Sekwan. Jika pun PSI memilih menggunakan replika yang terbuat dari bahan lain, menurutnya tak masalah dan tak melanggar aturan.

"Boleh (pakai replika), takutnya hilang. Ini kan mahal. Kalau mereka kerja takut hilang," ujar Yuliadi.

Dia mengingatkan, pin emas tidak boleh dijual meski dengan tujuan disumbangkan.

Sementara itu, Direktur Fasilitasi Perencanaan Keuangan Daerah Ditjen Keuangan Daerah Kemendagri Arsan Latif mengatakan, baju dinas dan atribut anggota DPRD sudah diatur dalam PP nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.

Menurutnya, pin yang akan diberikan kepada anggota dewan, nilainya tidak boleh melebihi batas minimal kapitalisasi aset (capitalization threshold) dalam kategori belanja barang. 

"Karena ini disiapkan dan diserahkan kepada anggota DPRD dalam bentuk atribut, maka dia pasti tidak memenuhi kriteria yang dianggap sebagai belanja modal. Maka, pin kalau disebut atribut, tidak boleh melebihi capital threshold. Ada Rp 500 ribu ada yang Rp 1 juta per barang. Jadi kalau ada yang dianggap belanja modal, itu pasti milik daerah," kata Arsan kepada Liputan6.com, Kamis 22 Agustus 2019.

Katakanlah, masih kata dia, kapitalisasi aset di DKI Rp 1 juta per barang. Maka, nilai pinnya sudah mesti tak sesuai kategori belanja barang.

"Kalau di tingkat pelaksanaan, di sana ngecek. Contoh, ada APBD untuk pin, boleh? Boleh-boleh saja sepanjang tidak memenuhi belanja kriteria modal. Jika pin itu sudah bentuk emas 10 gram misalnya, berarti Rp 10 juta satu pin, sedangkan capital threshold Rp 1 juta. Maka, tidak bisa dicairkan. Walaupun dibeli, tidak bisa diserahkan, karena tidak sesuai perundang-undangan," jelas Arsan.

Dia menuturkan, jika pin dimasukan dalam kategori belanja modal, sah saja. Tapi itu harus dikembalikan usai masa jabatan anggota DPRD DKI selesai.

"Begitu pin digunakan sebagai belanja modal, sah-sah saja. Begitu diserahkan oleh DPRD dia menggunakan milik daerah, dan wajib mengembalikan dan menggantikan jika hilang," jelasnya.

Itu sebabnya, harus dicek, karena pin tersebut bukan barang habis sekali pakai.

"Nah begitu enggak ada yang mengembalikan, kita lihat dokumennya. Bukan barang pakai habis lho. Ini barang inventaris. Begitu tidak mengembalikan, kena tuntutan ganti rugi karena menghilangkan milik daerah. Jadi tadi mempersoalkan pin-nya tapi melihat statusnya sebagai apa," pungkasnya.