Sukses

5 Hal terkait Hukuman Kebiri Kimia di Jatim yang Pertama Kali Terjadi

Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pidana kebiri kimia kepada Muhammad Aris.

Liputan6.com, Jakarta - Muhammad Aris (20), warga Dusun Mengelo, Desa/Kecamatan Sooko, Mojokerto, Jawa Timur dijatuhi hukuman kebiri kimia. Dia juga harus menjalani hukuman penjara selama 12 tahun dan denda Rp 100 juta.

Sejak 2015 lalu, Muhammad Aris terbukti telah mencabuli 9 anak yang tersebar di Mojokerto. Modusnya, sepulang kerja menjadi tukang las, dia mencari mangsa.

Kemudian, dia membujuk korbannya dengan iming-iming dan membawanya ke tempatnya sepi lalu melakukan perbuatan asusila pada korban.

"Selain itu majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pidana kebiri kimia kepada Aris," kata Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto Rudi Hartono.

Berikut 5 hal terkait hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan kepada Muhammad Aris dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 6 halaman

Muncul Pro Kontra

Komisioner KPAI Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum Putu Elvina mengungkapkan, Presiden Joko Widodo mendesak menterinya segera menyelesaikan PP.

Mengingat perlindungan anak dari tindakan pencabulan perlu ditegakkan. Apalagi, hukuman kebiri sudah memiliki payung hukum.

"Saat menjalankan hukuman kebiri ini, ada rehabilitasi dari tim bersama. Mereka bisa mengawasi," ujar Putu Elvina.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Prof dr Wimpie Pangkahila SpAnd mengungkapkan bahwa pihaknya pernah dilibatkan dalam pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 1/2016.

Aturan itu merupakan cikal bakal UU 17/2016. Untuk saat ini, dia bersikap menolak adanya hukuman kebiri. Sebab, banyak sisi negatifnya.

"Lebih baik hukum seumur hidup atau hukum mati saja," ujar Wimpie.

Androlog dr Aminuddin Aziz SpAnd menambahkan, ada dua strategi kebiri kimia. Pertama, dengan mengurangi produksi testosteron dengan pemberian obat, misalnya jenis GnrH agonisatau GnRH antagonis.

Keduanya bekerja memengaruhi otak untuk membuat produksi luteinizing hormone (LH) rendah. Sehingga rangsangan produksi testosteron pada testis menjadi rendah.

Cara kedua, dengan mengurangi efek testosteron dengan pemberian antitestosteron atau antiandrogen. Misalnya siproteron asetat atau medroksiprogesteron.

Perlu dicatat, pemberian dua obat tersebut tidak berefek lama dalam pengurangan testosteron dalam tubuh pelaku. Hanya beberapa minggu, bergantung jenis obat yang diberikan.

"Ada yang hanya satu minggu malah," kata Aminuddin.

Apakah pemerintah akan menyuntikkannya secara berkala? "Kalaupun dilakukan dalam jangka panjang, harus diperhatikan efek obat-obatan kastrasi ini bisa merugikan secara sistemik."

Ada efek tulang keropos, anemia, atropi otot, sampai penuaan dini. Belum lagi, lanjut Aminuddin, sebetulnya ada celah yang bisa dilakukan si penerima.

Yang bersangkutan bisa datang ke dokter untuk melakukan terapi hormon. Lalu, dokter akan memberikan injeksi testosteron setelah ada bukti memiliki kadar testosteron rendah.

Pelaku bisa saja secara rutin diberi LOH/hipogonadisme. Misalnya testosteron undekanoat, testosteron suksinat, testosteron topikal, dan testosteron oral.

"Kemampuan seksualnya balik lagi. Selesai," kata dia.

Menurut Aminuddin, adanya kasus pemerkosaan ini sejatinya bukan akibat kadar testosteron tinggi. Tapi memang pada otak pelaku. Dia sering menemukan orang dengan kadar testosteron tinggi, tapi mampu mengendalikan diri.

 

3 dari 6 halaman

Masih Tunggu Eksekutor

Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto tengah mencari ahli medis untuk melakukan eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap terpidana pemerkosa 12 bocah, M Aris. Mereka khawatir Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak melakukannya.

Hal itu diungkapkan Kepala Kejari Kabupaten Mojokerto Rudy Hartono. Menurut dia, rencana eksekusi tersebut merupakan kewajiban yang harus dijalankan.

"Yang jelas, sikap saya, akan segera melaksanakan putusan. Karena itu wajib," kata Rudy, Sabtu 24 Agustus 2019.

Untuk menerapkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jatim itu, Rudy juga akan berkonsultasi ke atasnya. Sebab, dia juga mengaku belum tahu petunjuk teknis kebiri kimia tersebut. "Saya ini mencari petunjuk dulu," tambah Rudy.

Menurut dia, dokter boleh saja menolak menjalankan putusan pengadilan. Tetapi, eksekusi kebiri kimia merupakan perintah undang-undang.

"Jadi harus dilakukan. Kalau tidak mau menjalankan undang-undang, itu juga pidana," tutur mantan Kajari Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, itu.

Dia mengatakan, dokter semestinya bisa memosisikan diri sebagai korban atau keluarga korban. Sehingga bisa merasakan pedih korban.

Rudy memaparkan, pihaknya sudah memberikan perhatian khusus terhadap kasus tersebut sejak kepolisian melimpahkan ke jaksa penuntut umum (JPU). Selain menjadi kasus kejahatan anak, jumlah korban kebejatan Aris mencapai belasan anak.

Perhatian itu terlihat dari tingginya tuntutan hukuman penjara saat sidang di PN Mojokerto pertengahan April lalu. Saat itu Aris yang duduk di kursi pesakitan dituntut JPU pidana penjara 17 tahun dan denda Rp 100 juta subsider kurungan 6 bulan.

"Padahal, hukuman maksimal kejahatan anak dalam undang-undang hanya 15 tahun. Saya kasih tambahan dua tahun karena mengingat kejahatan pelaku yang sangat besar," jelasnya.

Namun, hakim memberikan penilaian berbeda. Kata Rudy, hakim memberikan hukuman penjara 12 tahun dan hukuman tambahan ke anak tukang las tersebut berupa kebiri kimia.

"Saya cuma menuntut 17 tahun. Tanpa kebiri. Jadi, bukan kami yang menuntut hukuman itu. Tetapi, hakim yang menjatuhkan hukuman itu," ungkapnya.

 

4 dari 6 halaman

Masih Tunggu Petunjuk Teknis

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Richard Marpaung menuturkan, pihaknya dan Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto akan meminta petunjuk Kejaksaan Agung untuk pelaksanaan hukuman kebiri kimia kepada Muhammad Aris.

Hal ini mengingat penerapan hukuman kebiri kimia baru pertama kali dilakukan di Indonesia sehingga hadapi kesulitan untuk melaksanakannya.

"Kami akan melaporkan kepada Kejaksaan Agung. Sekaligus minta petunjuk pelaksanaannya mungkin hari ini atau besok. Kalau hari ini Kejaksaan Mojokerto akan melaporkan,” ujar Richard saat dihubungi Liputan6.com, Senin (26/8/2019).

Terkait ada penolakan terhadap penerapan hukuman kebiri kimia, Richard menuturkan hukuman tidak bisa dibatalkan. Hukuman tersebut dapat dibatalkan oleh pengadilan lebih tinggi yaitu Mahkamah Agung (MA). Richard menegaskan, kalau pihaknya masih menunggu petunjuk pelaksanaan teknis dari Kejaksaan Agung.

Adapun diputuskan hukuman tambahan dengan hukuman kebiri kimia, menurut Richard karena berdasarkan Kejaksaan Negeri Mojokerto kalau kasus tersebu sudah luar biasa.

Richard menambahkan, penerapan hukuman kebiri kimia ini juga tidak serta merta dilakukan secepatnya. Penerapan hukuman kebiri kimia tersebut dilakukan dalam waktu dua tahun setelah eksekusi hukuman pidana kemudian rehabilitasi.

"Jangka waktu dua tahun ini sesuai Undang-Undang (UU). Kemudian rehabilitasi. Jadi ini tidak berlaku selamanya," kata dia.

 

5 dari 6 halaman

Komisi VIII DPR Setuju

Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi PKB Marwan Dasopang mendukung hukuman kebiri kimia terhadap pedofil atau pemerkosa anak. Dia mengatakan, hukuman para tersangka pedofil anak harus memiliki efek jera.

Menurutnya, efek jera tersebut perlu diberikan untuk mencegah kasus serupa terulang, bahkan lebih luas. Sebab, kata Marwan, tidak sedikit pelaku pedofilia juga pernah menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual anak.

"Begitu kita telusuri dan dalami masa lalunya, sebagian besar adalah korban juga. Maka bila tidak dihukum berat seperti kebiri, potensi mengulangi dan menularkan korban yang akan berpeluang membuat korban lagi," kata Marwan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/8/2019).

Kedati, Marwan menambahkan untuk memberikan efek jera diperlukan juga edukasi serta pendekatan dan perbaikan sosial untuk mencegah kasus kekerasan seksual anak terjadi kembali.

"Jadi kalau aspek untuk jera hanya melalui kebiri, enggak mungkin, jadi harus ada pendekatan pendidikan, ada pendekatan perbaikan sosial, tapi untuk menyelamatkan satu orang demi yang lain itu sudah pasti," ucapnya.

 

6 dari 6 halaman

IDI Jatim Menolak

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, eksekusi atau hukuman kebiri kimia bertentangan dengan kode etik dan sumpah dokter.

Oleh karena itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur (Jatim) menolak menjadi eksekutor untuk hukuman kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual.

Ketua IDI Jatim, dr Poernomo Budi Setiawan menuturkan, hukuman kebiri kimia bertentangan dengan kode etik dan sumpah dokter. Dalam hal ini, profesi dokter untuk menyembuhkan dan merehabilitasi, bukan menyakiti.

"Dari sisi kompetensi, sebetulnya kebiri itu apa. Kompetensi adalah sesuatu yang diperoleh dokter dari ilmu pengetahuan dan latihan praktis. Tapi ilmu pengetahuan kita tidak ada mengenai pengebirian. Juga tidak pernah dipraktikkan. Sehingga dari sisi kompetensi kami menolak dan merasa tidak memiliki kompetensi itu. Apalagi dari sisi etik jelas menolak," ujar Poernomo kepada Radio Suara Surabaya, melansir suarasurabaya.net, Senin (26/8/2019).

Poernomo menuturkan, pihaknya belum tahu pasti siapa yang akan eksekusi hukuman tersebut. Namun dalam hal ini, IDI tetap menolak untuk menjadi eksekutornya, meskipun pemerintah menunjuknya. IDI baik pusat hingga daerah menolak jika diminta sebagai eksekutor.

"Pertimbangan lain dari sisi kompeten, apakah memasukkan kebiri kimia itu tidak membawa dampak pada organ lain. Nah, kalau pemerintah menunjuk dokter, IDI tidak bisa," ujar dia.