Sukses

Kejantanan Aris Dikembalikan Usai 2 Tahun Dihukum Kebiri Kimia

Jika tidak ada dokter yang bersedia melakukan kebiri kimia ke Aris, terpidana kasus pelecehan seksual anak, jaksa siap mengeksekusi sendiri.

Jakarta - Pemerkosa 12 anak di Mojokerto, M Aris, akan dihukum kebiri kimia saat masa hukuman penjaranya tinggal dua tahun. Karena dia divonis 12 tahun, berarti sanksi kebiri baru dilaksanakan ketika masa hukumannya memasuki tahun ke sepuluh.

"Menjelang akhir masa hukuman badan, terpidana Aris kami eksekusi kebiri kimia,” kata Kepala Kejari (Kajari) Kabupaten Mojokerto Rudy Hartono seperti dilansir dari Jawapos, Kamis (29/8/2019).

Dia menjelaskan, kebiri kimia itu hanya bersifat sementara. Tidak permanen seperti kebiri bedah. Dalam aturannya, kebiri kimia hanya berlaku untuk dua tahun. Dosis obat untuk kebiri kimia paling lama hanya enam bulan.

"Kalau dua tahun, berarti dia nanti dikebiri kimia empat kali," ucap Rudy.

Setelah masa dua tahun berakhir, jaksa harus bertanggung jawab mengembalikan kejantanan Aris. Dengan demikian, ketika keluar penjara, Aris sudah normal. Jaksa juga harus bertanggung jawab menjamin kesehatan Aris ketika sudah bebas.

"Negara wajib memulihkan terpidana sampai pulih saat dia bebas. Misal dia punya masalah jantung karena kebiri atau impotensi, itu tanggung jawab negara," ujar Rudy.

Kini, Kejari Mojokerto masih menunggu petunjuk teknis dari Kejagung untuk pelaksanaan kebiri kimia. Rudy juga belum mengajukan permohonan kebiri kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Jika tidak ada dokter yang bersedia mengebiri Aris, jaksa siap mengeksekusi sendiri.

"Ti­dak harus dokter. Pelajar belajar nyuntik tiga hari sudah bisa. Kami dari kejaksaan juga punya bidan sendiri, perawat sendiri, bisa menjadi eksekutor," tutur Rudy.

 

2 dari 2 halaman

IDI Menolak

Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran (MPPK) IDI dr Pudjo Hartono secara tegas menolak apabila dokter harus menjadi eksekutor kebiri kimia. Kebiri, menurut dia, bertentangan dengan kode etik dan sumpah dokter.

“Bahwa kami tidak akan menggunakan ilmu kami untuk membuat orang menderita,” kata Pudjo.

Dia mencontohkan hukuman mati. Dalam teknis eksekusinya, dokter tidak menjadi eksekutor. Dokter hanya berperan memastikan apakah orang yang dieksekusi sudah mati atau belum. Selain itu, eksekutor hukuman mati dirahasiakan.

Kebiri kimia, menurut Pudjo, membutuhkan biaya yang cukup besar. Harga obat-obatan untuk mengebiri sangat mahal. Selain itu, efek sampingnya banyak. Dia khawatir kebiri kimia berdampak buruk bagi kesehatan orang yang dikebiri.

Pengamat hukum pidana Universitas Airlangga Surabaya Taufik meyakini bahwa tidak semua dokter menolak eksekusi kebiri kimia. Jaksa, menurut dia, bisa merahasiakan dokter dan rumah sakit yang mengeksekusi kebiri. Dia mencontohkan dokter di Amerika Serikat yang juga mengeksekusi hukuman mati.

“Kita bisa mencontoh di Amerika. Identitas dokter yang mengeksekusi dirahasiakan. Rumah sakit tidak ditunjukkan,” katanya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mendukung putusan majelis hakim yang menjatuhkan sanksi kebiri.

Kemen PPPA tidak menoleransi segala bentuk kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak. “Kemen PPPA mengapresiasi putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto,” ucapnya.

Menteri asli Papua itu menerangkan, UU 17/2016 yang berfungsi untuk melindungi dan memberikan keadilan bagi korban anak dalam kasus kekerasan seksual sudah seharusnya digunakan aparat hukum. Yang dilakukan majelis hakim PN Mojokerto menjadi yang pertama di Indonesia. Hal tersebut merupakan langkah maju yang diharapkan mampu memberikan efek jera bagi pelaku.

Dirjen Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar menyatakan, pemerintah tengah menyusun teknis pemberian hukuman tambahan bagi pelaku pencabulan anak. Salah satunya adalah hukuman kebiri.

“Nanti rumusan dalam PP (peraturan pemerintah, Red) dan permen (peraturan menteri)-nya sangat memperhatikan masalah HAM ini,” katanya kemarin.

 

Ikuti berita Jawapos lainnya di sini