Sukses

PDIP Pastikan Amandemen UUD 1945 Hanya Terbatas Pasal 3

Basarah menyatakan, wacana amandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 merupakan upaya jalan tengah untuk menjembatani aspirasi rakyat.

Liputan6.com, Jakarta Politis PDI Perjuangan, Ahmad Basarah memastikan bahwa amandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) hanya dilakukan pada pasal 3.

"Yaitu dengan menambahkan norma baru 'Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis garis besar haluan negara dengan Ketetapan MPR'", kata Basarah di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (4/9/2019).

Kata Basarah, garis-garis besar haluan negara bisa juga dinamakan Haluan Pembangunan Nasional (HPN). Dan karena wewenang MPR RI hanyalah menetapkan, maka HPN tetap akan disusun oleh presiden.

"(Melalui) Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Riset Nasional (BRN) dengan prosesnya secara partisipatif melibatkan seluruh kekuatan bangsa," tutur Basarah.

Basarah menyatakan, wacana amandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 merupakan upaya jalan tengah untuk menjembatani aspirasi rakyat. Menurutnya, saat ini rakyat menginginkan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen.

"Dengan alasan amandemen 1999 hingga 2002 sudah kebablasan," katanya.

Namum ia melanjutkan, di pihak lain ada yang menganggap bahwa amandemen sudah tepat. Dan tidak perlu lagi dilakukan perubahan.

"Di tengah perbedaan aspirasi tajam itulah muncul kesepakatan jalan tengah, yaitu melakukan amandemen terbatas UUD 1945 untuk kembali menghadirkan Haluan Negara," jelas Basarah.

2 dari 2 halaman

Khawatir Bangkitnya Otoritarianisme

Mantan Ketua DPR RI sekaligus politikus Golkar, Akbar Tanjung, mengkhawatirkan bangkitnya otoritarianisme karena wacana dikembalikannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Nantikan MPR menjadi lembaga tinggi negara. Dikhawatirkan presiden nanti dipilih oleh MPR sehingga rakyat tidak bisa menggunakan hak pilih mereka," kata Akbar Tanjung di tempat sama.

Kekhawatiran ini menurut Akbar berangkat dari cermin masa lalu di era Orde Baru yang mana GBHN menjadikan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Konsekuensinya, maka presiden dipilih oleh MPR dan pertanggungjawaban presiden terhadap MPR bukan rakyat.

Menurut Akbar, jikalau memang GBHN itu diperlukan untuk dihidupkan lagi, maka dilakukan dengan merubah pasal di Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan Konstitisi tersebut harus disertai penjelasan kepada publik mengenai alasan dan kepentingannya.

Akbar melihat bahwa ada beberapa ketetapan MPR RI yang telah menjiwai GBHN. Dia mencontohkan keberadaan TAP MPR XI 1998 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih dan Bebas KKN. Dalam TAP MPR tersebut, menurut Akbar sudah menjiwai haluan negara Indonesia.

"Kemudian yang kedua TAP MPR Nomor 7 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia. Ini kan penting, mengacu pada Undang-Undang 1945 juga," katanya.

"TAP MPR Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional coba kan ini kan TAP MPR," lanjutnya.

Dan beberapa TAP MPR lain yang menurut Akbar merupakan ruh dari GBHN namun bukan dalam bentuk GBHN, melainkan TAP MPR. Oleh kerenanya, bagi Akbar tidak perlu lagi pemerintah menyebutkan haluan negara secara formal karena ruhnya sudah ada di beberapa ketetapan MPR yang disebutkan.

"Kalau subtansinya (sudah ada di TAP MPR) dan menurut saya yang paling penting itu substansinya," jelas politis Golkar itu.