Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi III Arsul Sani menjelaskan alasan Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kembali bergulir di masa akhir jabatan anggota DPR 2019-2024. Arsul menyebut revisi UU ini sudah lama dibahas pada tahun 2017.
Pada 2017, pembahasan revisi UU KPK mentok di Badan Legislasi (Baleg). Kata Arsul saat itu banyak hal yang diperdebatkan.
"Jadi gini kan ketika 2017 itu teman-teman pengusul itu menyusun dan sudah sempat diperdebatkan di Baleg itu kan kita juga perdebatkan rame," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (5/9/2019).
Advertisement
Arsul menceritakan, saat itu dia menjadi anggota Baleg. Dia menolak pasal yang membatasi umur KPK. Pada perjalanannya, pembahasan penuh kontroversi. Sehingga pemerintah dan DPR sepakat untuk menunda revisi.
"Saat itu kemudian karena menjadi kontroversi maka pemerintah dan DPR sepakat untuk menunda," kata Arsul.
Namun pada pembahasan 2017, ada kesepakatan pada empat pokok masalah. Empat poin yang disepakati saat itu adalah pembentukan dewan pengawas, penyadapan atas seizin pengawas atau pengadilan, menegaskan posisi KPK sebagai lembaga eksekutif, sampai status kepegawaian KPK.
"Nah ini yang dijadikan basis oleh Baleg untuk dibahas pada periode ini," kata Arsul.
Saksikan video pilihan berikut ini:
6 Poin yang Disepakati
DPR telah menyetujui revisi UU KPK sebagai usulan dewan dalam sidang paripurna, Kamis (5/9/2019). Ada enam poin yang sudah disepakati oleh DPR dalam revisi tersebut.
1. Kedudukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Meskipun KPK merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan, namun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK bersifat independen. Pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tunduk kepada peraturan perundang- undangan di bidang aparatur sipil negara.
2. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat melakukan penyadapan. Namun pelaksanaan penyadapat dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK.
3. KPK selaku lembaga penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia (integrated criminal justice system). Oleh karena itu, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
4. Di dalam upaya meningkatkan kinerja KPK di bidang pencegahan tindak pidana korupsi, setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan setelah berakhir masa jabatan.
5.. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas KPK yang berjumlah 5 (lima) orang. Dewan Pengawas KPK tersebut, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh organ pelaksana pengawas
6. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama (satu) tahun. Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas dan diumumkan kepada publik. Penghentian penyidikan dan penuntutan dimaksud dapat dicabut apabila ditemukan bukti baru yang berdasarkan putusan praperadilan.
Reporter: Ahda Bayhaqi
Sumber: Merdeka
Advertisement