Liputan6.com, Jakarta - Rumahnya sangat sederhana. Konstruksinya menggunakan kayu. Letaknya yang berada di paling pojok jalan dengan di cat berwarna pink, membuat rumah Rokayyah (36) dan suaminya, Mujib Rifai paling menonjol di tengah tumpukan sampah di sekelilingnya.
Rokayyah bersama keluarganya tinggal di Jalan Kali Betik, RT 02/007, Koja Jakarta Utara. Mereka memanfaatkan material bekas untuk rumahnya. Selain jadi tempat tinggal, Rokayyah juga menyiasati sebagian lahan untuk membuka warung.
"Yang penting anak sehat, suami tidak lika-liku. Saya sudah senang walaupun hidup begini," kata-kata yang selalu diulangi Rokayyah (36) saat berbincang-bincang kepada Liputan6.com, Kamis siang (5/9/2019).
Advertisement
Saat berbincang hangat dengan Rokkayah, aroma menyengat tercium setiap kali tarikan napas diembuskan. Bau itu berasal dari gunungan sampah yang berada di seberang rumahnya.
Sejak menetap di kawasan tersebut, Rokkayah mengaku pemandangan tumpukan sampah bukanlah hal yang aneh baginya. Namun, dulu tak sebanyak seperti sekarang.
"Dulu sampah nya ada cuma belum sampai ke sini," kata Rokkayah sambil menggendong anaknya, Silvana.
Rokkayah mengaku semua itu berawal dari ajakan seorang haji kaya raya bernama Usman.
"Saya lagi kerja ditawarin anak buah Pak Haji Usman. Mau nggak jaga tanah di sana. Di sana ada rumahnya enak. Saya jawab iya, daripada luntang-lantung hidup di Jakarta," ucap Rokkayah.
Rokkayah adalah penghuni yang pertama menginjakan kaki di lahan tersebut.
"Dulu situasinya sepi, tak ada orang yang berani melintas. Apalagi tinggal. Mau masuk saja sudah disambut sama ular. Belum lagi cerita-cerita dari warga soal makhluk tak kasat mata," katanya.
"Dulu jalan tidak seperti ini. Saya yang bikin sama bapak pakai sampah dan tumpukan tanah," ucap dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Menggantungkan Hidup Mengais Sampah
Lambat laun, permukiman pun berkembang seiring dengan jumlah sampah yang menumpuk di kawasan tersebut. Sebagian warganya memang mengantungkan hidup dari mengais sampah termasuk Rokkayah dan suaminya.
Bekerja mencari botol mineral dan dus bekas sudah menjadi rutinitas Rokkayah dan warga lainnya. Kumandang adzan subuh menjadi alarm bagi Rokkayah untuk segera bergegas ke atas gunungan sampah yang tak jauh dari rumahnya.
"Pengen makan, mulung dulu le. Ambil apa di sampah dijual buat makan. Buat anak buat sekolah ya gitulah namanya pingin hidup. Yang penting makan halal buat anak gitu aja," ucap dia.
Banyak sedikitnya sampah yang dikumpulkan, Rokkayah mematoknya dengan karung. Setiap penuh, ia pun kembali dulu ke kediamannya.
Dalam sehari, dia mengaku setidaknya mengantongi uang Rp 500 ribu. Rp 50 ribu disisikan untuk membuka usaha. Akhirnya pada 2016, bersama suaminya, Rokkayah bisa membuka warung nasi.
Rokkayah memiliki empat orang anak. Yang tertua bernama Aini. Sedangkan tiga lainnya Silvana, Nova, dan Ocha. Kehidupan di tengah kepungan sampah membuat mereka terbiasa dengan bau busuk.
"Ya mau gimana lagi. Kami sudah terbiasa. Ini kalau lagi hujan saja ulet pada masuk," ujar dia.
Rokkayah berkelakar, daya tahan tubuh anak-anaknya juga kuat. Selama ini, ia mengaku bersyukur tidak pernah mengalami sakit parah.
"Hamil di sini, ketemu makanan apa aja di sampah. Cuci dimakan. Makannya di sampah mau gimana le. Alhamdulilah nggak pernah sakit parah paling cuma batuk dan pilek," kata dia.
Advertisement