Sukses

Pakar Hukum UGM: Revisi UU Kuatkan KPK Jika untuk Jaga Independensi

Nurhasan menilai, adanya Dewan Pengawas akan berfungsi memperkuat KPK jika diarahkan untuk menjaga independensi dan profesionalisme KPK

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati rencana revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna.

Sejumlah kalangan menyayangkan bahwa substansi poin-poin revisi UU KPK tersebut justru berpotensi mengebiri kekhususan Komisi Anti Rasuah tersebut. Mulai dari mengancam independensi hingga melemahkan kekuatan atau kewenangan spesial KPK.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nurhasan Ismail turut menyuarakan pandangan hukum terkait polemik itu. Menurut Nurhasan, perubahan suatu UU akan memberikan penguatan atau pelemahan terhadap obyek yang diatur tergantung pada karakter substansi perubahan.

"Isu perubahan UU KPK bisa dinilai memperkuat atau memperlemah kedudukan KPK tergantung substansi perubahan. Oleh karenanya harus dicermati satu-persatu sehingga bisa dinilai sebagai penguatan atau sebaliknya,”ujar Nurhasan di Yogyakarta Sabtu (07/09/2019).

Terkait adanya Dewan Pengawas KPK, menurutnya, bisa untuk mengawasi kinerja KPK, termasuk tindakan penyadapan. Adanya Dewan Pengawas akan berfungsi memperkuat KPK jika diarahkan untuk menjaga independensi dan profesionalisme KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yang dipunyai.

Namun sebaliknya, perubahan dinilai melemahkan KPK jika diarahkan untuk menghambat KPK melaksanakan tugas dan wewenangnya secara independen dan profesional.

Begitu juga terkait kewenangan penyadapan. Menurut Nurhasan, perubahan UU akan dinilai melemahkan KPK jika dimaksudkan untuk meniadakan kewenangan penyadapan dan menghambat proses penyadapan.

"Apakah revisi itu akan meniadakan dan menghambat proses penyadapan yang benar-benar diperlukan dalam rangka menemukan alat bukti, yang urgen diperlukan untuk memperjelas tindak korupsinya? Bagaimana jika justru sebaliknya, untuk mendorong ke arah penyadapan yang profesional dan vital untuk memperkuat pembuktian? Itu yang harus dicermati, sehingga tujuan revisi adalah semata-mata demi memperkuat kedudukan dan kewenangan khusus KPK dalam hal penyadapan," ucap Nurhasan.

Nurhasan juga menyoroti substansi Surat Penghentian Penyidikan atau SP3. Tidak diberikannya kewenangan SP3 kepada KPK dinilai bertentangan dengan nalar filosofis dan sosiologis hukum.

Tidak adanya kewenangan SP3 bertentangan hakekat dan karakter manusia yang lemah dan terbuka berbuat salah, karena para manusia di KPK bukan Malaikat," ucap dia. 

Dari sisi sosiologis, tidak adanya kewenangan SP3 telah menyebabkan KPK terperosok pada perbuatan yang melanggar hak asasi manusia, dari orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka namun kemudian tidak terbukti melakukan korupsi.

"Oleh karenanya perubahan UU KPK yang akan memasukkan kewenangan SP3 harus dimaknai sebagai pelurusan kinerja KPK & bukan pelemahan KPK,” tambahnya.

2 dari 2 halaman

Penyidik Polri dan Kejaksaan

Terkait poin revisi yang meminta agar latar belakang penyidik yang harus berasal dari Polri dan Kejaksaan. Menurutnya, hal itu harus dipahami dari beberapa aspek. Pertama bahwa KPK merupakan lembaga Adhoc yang akan tetap ada selama korupsi masih berlangsung.

Dalam kedudukannya yang demikian, maka wajar jika penyidik diambil dari Polri & Kejaksaan. Kedua, kalau KPK harus mengangkat penyidik independen dan profesional, maka konsekuensi logisnya akan memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk mempersiapkan penyidik independen tersebut.

"Paling tidak, Ini harus dinilai sebagai pemborosan sumber daya ekonomi dan manusia, sementara sudah ada penyidik yang siap untuk dimanfaatkan. Jika dalam perubahan UU memasukkkan substansi ini, maka hal tersebut harus dimaknai sebagai penegasan agar tidak terjadi pemborosan dana dan sumber daya penyidik yang sudah ada,” pungkasnya.