Liputan6.com, Jakarta - Anggota DPR Komisi III Nasir Djamil menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi era Taufiequrachman Ruki sebagai Plt Ketua KPK, mengusulkan dua poin dalam revisi UU No 30 Tahun 2002. Yaitu terkait dewan pengawas dan soal pemberhentian kasus.
Ketua KPK periode 2011-2015 Abraham Samad menyebut, Ruki harus bertanggung jawab atas rencana ini.
Namun, Ruki membantahnya. Dia mengatakan, surat yang ditandatangani lima pimpinan termasuk dirinya bukanlah usulan kepada pemerintah untuk revisi UU KPK.
Advertisement
Dia menjelaskan, surat tersebut merupakan jawaban pimpinan KPK atas surat Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang meminta pendapat dan pandangan KPK mengenai revisi UU KPK yang terus bergulir di DPR.
Saat itu, kata Ruki, semua pimpinan KPK menolak revisi tersebut.
"Ditandatangani kami berlima. Tidak cuma Taufieq sendiri, tapi lima pimpinan. Apa jawaban kami terhadap surat itu? Pertama pada prinsipnya kami pimpinan KPK tidak setuju keinginan beberapa anggota DPR untuk merevisi UU KPK," kata Ruki saat dikonfirmasi, Sabtu (7/9/2019).
Â
Saran
Menurut dia, pimpinan KPK saat itu menyarankan agar pemerintah dan DPR merevisi dan harmonisasi UU nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor, KUHP, dan KUHAP sebelum merevisi UU KPK.
"Jadi sebelum UU Nomor 30 tahun 2002 diubah, pemerintah ubah ini (UU Nomor 31 tahun 1999, KUHP, dan KUHAP) dulu," pungkas Ruki.
Anggota DPR Komisi III Nasir Djamil menyebut KPK era pimpinan Plt Taufiequrachman Ruki mengusulkan dua poin dalam revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Yaitu terkait dewan pengawas dan soal pemberhentian kasus.
"Soal pengawasan, soal SP3 ya mungkin itu kendala yang selama ini dihadapi KPK, oleh karena itu Plt pimpinan KPK kemarin itu, Pak Ruki dan kawan-kawan mengusulkan seperti itu," ucapnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/9/2019).
Menurut Nasir, Ruki tidak mengajukan secara pribadi. Tetapi kelembagaan. Sehingga usulan revisi UU KPK atas nama lembaga antirasuah itu.
"Sistem harus ada ga mungkin pak Taufiequrachman Ruki kemudian itu catatan pribadi enggak lah pasti sudah konsultasi dengan pimpinan lain dan bidang mengurus masalah itu," ucapnya.
Nasir sepakat perlu adanya SP3 demi kepastian hukum tersangka. Dia mengklaim hal tersebut menjadi penting untuk perlindungan hak asasi manusia.
Dia menyebut SP3 itu pun tidak harga mati. Sebab, yang kasusnya sudah dihentikan dapat lanjut selama ada bukti baru.
"Artinya SP3 bukan harga mati ketika ditemukan bisa dibuka lagi," kata dia.
Â
Â
Advertisement