Liputan6.com, Jakarta - Calon pimpinan KPK harus menekan kontrak politik dengan DPR. Kontrak politik tersebut berupa surat pernyataan tertulis berupa komitmen dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menentang surat pernyataan tertulis tersebut. Menurutnya, Komisi III terlalu paranoid sehingga sampai meminta capim KPK harus menaati undang-undang.
Baca Juga
"Ya nggak boleh, makanya itu sangking parnonya teman-teman di komisi III itu, sampai pimpinan KPK suruh taat UU. Sebenarnya itu gak boleh, otomatis kan harus taat," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2019).
Advertisement
Fahri mengatakan, KPK merupakan lembaga superbody. Bisa menyadap, menangkap, dan geledah tanpa dasar undang-undang. Menurutnya hal itu yang membuat adanya surat pernyataan tertulis.
"Makanya diminta, eh taat UU. Harusnya kan udah harus taat gak perlu diminta. Cuman kan kejadian selama ini gak gitu," jelasnya.
Diberitakan, Komisi III DPR akan meminta calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) periode 2019-2023 membuat surat pernyataan tertulis. Surat itu berisi komitmen para capim terkait materi yang kemungkinan akan ditanya dalam uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper.
"Cuma surat pernyataan biasanya standar. Nah kali ini untuk fit and proper test capim KPK surat pernyataannya tidak standar. Tetapi yang standar plus nanti ditambah hal-hal yang merupakan komitmen," kata Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (9/9/2019).
Arsul mencontohkan salah satu komitmen yang akan dilihat Komisi III dalam surat saat fit and proper test. Semisal terkait revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Rapat Singkat
Komisi III menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Koalisi Masyarakat Sipil. Rapat yang membahas seleksi calon pimpinan (capim) KPK itu semula dijadwalkan dimulai pukul 13.00 WIB.
Namun, RDPU baru dimulai pukul 13.55 dan selesai pukul 14.50 WIB. Rapat itu hanya dihadiri tiga perwakilan koalisi masyarakat yakni Indonesiaan Police Watch (IPW), Poknas dan Relawan Indonesia Bersatu (RIB) yang merupakan kumpulan relawan Jokowi.
Ketua IPW Neta S Pane menyatakan KPK sangat memerlukan Dewan Pengawas agar KPK tidak liar.
"Sehingga orang KPK tidak liar, semau gue. Proses seleksi capim bisa jadi momentum membenahi KPK dan Paradigma baru," katanya.
"Komisi III jangan dengarkan ICW, komisi III tutup kuoing dan pilih yang terbaik Banyak sekali kebobrokan KPK," tambahnya.
Senada dengan IPW, dua LSM lain juga menyatakan dukungannya terhadap Pansel Capim KPK dan Komisi III.
Sementara itu, Anggota Komisi III dari F PDIP Masinton Pasaribu menyatakan akhirnya ia mengetahui bahwa suara di masyarakat tidak hanya ada satu suara saja, atau tidak hanya menolak capim hasil Pansel KPK saja.
"Kami tidak pernah didatangi kelompok yang katanya menolak, ada pro dan kontra di masyarakat, itulah dinamika dalam demokrasi," kata Masinton.
“Bahwa pandangan terhadap KPK itu ternyata tidak seperti selama ini yang ramai di media, tunggal. Ternyata ada juga yang menginginkan revisi (UU KPK), saya mengapresiasi teman-teman di sini, mau secara manifest, menyampaikan suaranya secara terbuka melakukan kritik, koreksi bahkan tadi evaluasi, satu insititusi yang namanya KPK. Karena kita jarang mendengar suara publik yang manifest secara terbuka. Kenapa, karena takut dibuli, karena sekian tahun dibangun persepsi, KPK itu malaikat,” tambahnya.
Sementara itu, Pimpinan RDPU Herman Heri sempat menunda rapat untuk memberikan waktu bagi kelompok masyarakat lain yang ingin menyampaikan pendapat. Namun, hingga lima menit ditunggu akhirnya rapat disudahi pukul 14.50.
"Rapat kita sudahi," katanya.
Reporter: Ahda Bayhaqi
Sumber: Merdeka
Advertisement