Sukses

BJ Habibie dalam Kenangan: Saya Ingin Hidup sampai 100 Tahun

Usia lanjut, tak mempu membendung semangat seorang BJ Habibie dalam menjalani hidup.

Jakarta - Usia lanjut, tak mampu membendung semangat seorang BJ Habibie dalam menjalani hidup. Dia selalu mengerjakan segala keperluannya, selagi bisa.

Presiden ke-3 RI itu tidak mau merepotkan para pembantu dan ajudannya. Misalnya, saat hendak mengambil makanan. Suatu saat, Paspampres akan membawakan nasi dan lauk kepadanya, sosok murah senyum itu menolak.

"Biarkan saya ambil sendiri. Kalau sering diambilkan, nanti kepercayaan diri saya menurun," kata BJ Habibie kepada Paspampres, seperti dilansir Jawapos mengutip artikel edisi koran Jawa Pos untuk memperingati hari ulang tahun Habibie ke-80 pada Juni 2016.

Dengan seizin Tuhan, Habibie bertekad berumur panjang. "Setelah 90 minus 10, selanjutnya 100 minus 10. Begitu seterusnya," ujar Habibie.

Oleh karena itu, dia berusaha menikmati hidup, mendekatkan diri ke Ilahi dan hidup sehat. 

 

Habibie menegaskan, tengah menikmati momen cinta ilahiah. Kadang dia merasakan bisa berkomunikasi dengan Ainun yang tengah berada di alam lain. "Itu membuat saya tidak pernah merasa kesepian, karena Ainun adalah dalam diri saya," ucap Habibie.

Kondisi itu pula yang membuat BJ Habibie masih bersemangat menjalani aktivitas sehari-hari. Dia masih sering menjadi dosen tamu ataupun pembicara. Bahkan, untuk urusan olahraga, dia masih sangat rajin.

"Saya maunya renang nonstop selama dua jam. Namun, karena dokter hanya membatasi 45, ya bagaimana lagi," ungkapnya. "Paspampres ada yang kaget saya kuat renang selama itu," imbuhnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Habibie Melawan Kanker Ovarium Aiunun

Sosok Habibie yang pantang menyerah juga terlihat saat Ainun didiagnosis kanker pada 12 Maret 2010. Dia kaget bukan main. Jiwanya terguncang hebat saat melihat hasil pemeriksaan kesehatan Ainun. Perempuan yang dicintainya itu ternyata mengidap penyakit yang tidak ringan. Kanker ovarium. Stadium lanjut. Pikirannya kalut. “Gila kalian ini,” teriak Habibie pe­nuh emosional kepada dokter yang memeriksa Ainun.

Meski bingung, Habibie berusaha mengendalikan diri. Sambil Ainun menyelesaikan pemeriksaan MRI, tangan Habibie dengan cekatan meraih ponselnya. Dia menghubungi stafnya, Marulloh. “Saya bilang saya akan berangkat langsung ke Jerman sore ini. Lewat mana pun saya harus ke Jerman,” cerita Habibie.

Lalu, Marulloh telepon dua jam sebelum keberangkatan. “Katanya, sudah tidak ada kursi. Lewat Paris, London, dan yang lainnya semua penuh. Fully booked karena mau Easter. Gila! Masak tidak ada satu pun,” ungkap Habibie.

Tidak mau menyerah, Habibie menelepon petinggi Lufthansa di Jerman. Dia menceritakan kondisinya. Istrinya butuh segera dibawa ke Jerman.

“Gila! Saya butuh. Akhirnya, mereka mengumumkan kondisi saya di pesawat. Akhirnya, ada bule-bule Londo yang memberi kami seat. Katanya, penerbangan mereka bisa ditunda. Sementara saya urgen,” kata ayah dua putra itu.

Semua yang dibutuhkan telah siap. Habibie hanya perlu membawa Ainun ke bandara dan mereka akan langsung lepas landas menuju Jerman. Semua persoalan itu diselesaikan Habibie selama Ainun menjalani pemeriksaan MRI. Begitu Ainun keluar dari ruang pemeriksaan, Habibie langsung memintanya bergegas. “Saya tidak mau. Saya tidak mau mati di luar negeri. Saya mau mati di sini,” kata Habibie menirukan perkataan istrinya.

Habibie menjelaskan, itu bukan soal mati di mana. Namun, soal bagaimana dia berupaya memberikan yang terbaik kepada istrinya. Habibie ingin istrinya mendapatkan perawatan terbaik dari dokter terbaik juga. Jerman adalah jawabannya. Tiga jam setelah pemeriksaan, Habibie dan Ainun beserta rombongan bertolak ke Jerman.

 

3 dari 3 halaman

Tegar untuk Ainun

Di tengah perjalanan, Ainun mengalami sesak napas. Berdasar perhitungan, oksigen yang tersedia di kabin pesawat hanya mampu bertahan sampai satu jam sebelum pesawat mendarat. “Mampus! Akhirnya, pesawatnya dipercepat. Pesawat landing persis oksigen habis. Begitu pintu dibuka, ambulans sudah siap membawa kami ke klinik,” kata Habibie.

Berat. Itulah yang dirasakan Habibie saat mengetahui istrinya sakit dan dia harus cepat mengambil tindakan. Habibie bisa saja menangis. Namun, dia kasihan kepada Ainun. Jika dia menangis, Ainun apalagi. “Saya harus gagah. Tough. Saya lawan perasaan-perasaan itu,” ujarnya.

Pada 24 Maret 2010, Ainun masuk rumah sakit Ludwig Maximilians Universitat, Klinikum Gro’hadern, Muenchen. Dia menjalani 12 kali operasi. Di ruang perawatan, Habibie setia menemani Ainun. Tidak sedetik pun dia meninggalkan Ainun.

“Dua bulan saya enggak mau pergi dari kamarnya. Kalau ada yang berani masuk, saya sentak satu-satu. Profesor doktor terkenal di dunia dimarah-marahin Habibie. Katanya seperti mahasiswa dipelonco,” ujar Habibie.

Pada 22 Mei 2010 pukul 17.30 waktu Muenchen, Ainun meninggal dunia setelah melewati masa kritis selama sehari. Jenazah Ainun dipulangkan ke Indonesia pada 24 Mei 2010 dan tiba di Jakarta pada 25 Mei 2010.

Habibie sudah melakukan yang dia bisa untuk menyelamatkan istrinya. Namun, Tuhan berkehendak lain.

 

Ikuti artikel Jawapos lainnya di sini