Liputan6.com, Penajam Paser Utara - Jumat sore, 6 September 2019, warga berkumpul di sebuah warung kopi di pinggir jalan, Desa Semoi II, Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Ada yang menyeruput kopi hitam, lainnya menyantap soto daging berkuah bening atau mengunyah kacang goreng renyah. Mereka berbincang seru. Topiknya tentang rumor harga tanah yang mendadak meroket.
Lokasi di mana mereka tinggal, yang sepinya bukan main karena dikepung hutan, digadang-gadang jadi pusat ibu kota baru Indonesia. Bakal bertetangga dengan istana presiden dan gedung-gedung pemerintahan, tempat berkantor para pejabat yang jadi penentu kebijakan negeri ini.
Meski masih ada lokasi lain yang dipertimbangkan, yakni Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara, warga tetap optimistis.
Advertisement
"Di sini sih yakin betul bakal jadi tetangga pusat pemerintahan. Orang udah dihitung-hitung, menempel lagi sama Bukit Soeharto," kata Agus Sulistio, perangkat desa.
Warga lain dengan antusias mengiyakan. "Senang, nanti bakal ramai di sini," timpal pemilik warung. "Dulu banyak setannya. Namanya hutan. Kadang dengar anjing menangis, kalau dah dengar itu, kitanya yang takut."
"Iya ya, nggak nyangka jadi ibu kota baru. Mana dulu kan di sini hutan semua," timpal Kuswara, petani desa sekaligus pemilik tanah.
Kuswara bukan warga asli Sepaku. Dia adalah eks transmigran asal Jawa Barat. Ia tinggal di sana sejak berusia 15 tahun. Ikut orangtuanya yang dipindahkan dari Jawa, di bawah program transmigrasi di masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Setiap keluarga yang mendaftar transmigrasi diberi tanah dua hektare. Untuk modal hidup. Luas memang, tapi lahan itu berada di hutan belantara. Bermodal nomor, para transmigran harus mencari sendiri jatah mereka di tengah rimba.
"Di atas kapal, banyak ibu-ibu menangis takut tidak bisa hidup. Turun dari kapal, tambah nangis lagi lihat hutan belantara. Kok hutan semua ini. Dikasih nomor rumah, nangis lagi mencari rumahnya. Masuk hutan," kenang Kuswara.
Akhirnya, banyak yang tidak betah. Tanah dilego dengan harga murah ke pendatang lain. Yang penting cukup untuk ongkos pulang ke tanah Jawa. Kala itu, sama sekali tak terbayang lahan mereka bakal ramai, bahkan jadi lokasi ibu kota baru RI.
Mereka yang memilih bertahan harus bekerja keras. Hanya bermodal parang dan kapak, mereka membuka lahan. Tak hanya semak yang harus dibabat. Lawan mereka adalah tumbuhan berkayu keras, seperti Ulin, kayu besi.
"Setelah tahun 1980-an baru ada senso-senso (gergaji mesin) itu," kata Kuswara. Setelah lahan dibuka, barulah mereka bisa menanam padi.
Ternyata, kesabaran Kuswara dan warga lain menetap berbuah manis. Mereka dapat rejeki nomplok. Di benak pria 57 tahun itu terbayang lembaran rupiah, jika ia memutuskan menjual tanah.
"Broker-broker itu bilangnya, 'kalau mau Rp 1 miliar, tak bayar punyamu', " kata Kuswara. Ia punya total empat hektare tanah, di dua tempat, yang dibagi jadi lima sertifikat.
Tertarik mau jual tanah? "Saya bilang, ah ndak, saat ini aku belum mau dijual, soalnya aku banyak anak. Enggak tahu kalau ke depan, " jawab dia.
Saksikan video terkait ibu kota baru RI berikut ini:
Penyesalan Ibu Dahlia
Kami bertemu Ibu Dahlia di Kantor Kecamatan Sepaku. Dia ingin berkonsultasi dengan Pak Camat soal lokasi tanah milik adiknya di kawasan Semoi III, Sepaku, Penajam Paser Utara. Lahan itu, yang luasnya hampir 2 hektar, masih berstatus tanah girik. Belum sertifikat.
Masalahnya Dahlia dan sang adik tidak tahu lokasi persis lahan itu berada. Entah di mana. Padahal, mereka ingin mencoba peruntungan baru dari hasil jual beli tanah. Agar tidak mengulangi kesalahan sebelumnya.
Dahlia mengisahkan, pada akhir Agustus 2019, ada orang dari Yogyakarta menyambangi rumahnya. Tanah miliknya yang luasnya 1 hektare dibeli seharga Rp 150 juta. Tunai!
Perempuan itu awalnya mengira, dapat rejeki nomplok. Tak pernah sebelumnya ia melihat dan memegang tumpukan uang dengan nominal sebesar itu. "Warga tuh susah lihat duit cash, apalagi kami orang kampung kalau misalkan harga aslinya Rp 450 juta, dibayar tunai Rp 100 juta, pasti langsung dilepas."
Keputusan itu ia sesali. "Eh, besoknya ditawar orang lain Rp 450 juta. Apa enggak pening kepala," tutur perempuan asal Makassar itu.
Ia makin kecewa. Rumor yang beredar, konon tanah per hektare di lingkungannya disebut-sebut telah tembus Rp 1 miliar. Bahkan, katanya, bisa lebih mahal. Dahlia yang tadinya untung, malah merasa buntung.
Camat Sepaku, Risman Abdul mengaku kantornya makin sibuk belakangan ini. Ada saja orang datang, mengurus sertifikat hingga menanyakan soal tanah ‘gaib’ milik mereka.
Ada saja yang mengaku empunya tanah, bawa surat girik, tapi tidak tahu di mana lokasi lahan milik mereka.
"Itu banyak. Banyak masyarakat kita, semula saya tidak kenal, tapi tiba-tiba datang masuk ke ruangan saya, laporan dengan membawa surat-surat tanah, terutama surat-surat keterangan atas tanah yang mereka pegang, yang kemudian mereka minta dibantu dicarikan letak tanahnya. Nah ini kan agak merepotkan kita," jelasnya.
Sementara, berdasarkan laporan para lurah dan kepala desa, mulai ramai spekulan tanah dadakan di 11 desa dan empat kelurahan di Kecamatan Sepaku.
Makelar tanah menawar lahan milik warga dengan harga menggiurkan. Nominalnya bahkan mencapai miliaran rupiah per hektare.
"Tapi untuk diketahui bahwa sampai dengan hari ini, belum ada proses surat menyurat tanah yang sampai ke meja saya terkait dengan jual beli," tambah dia.
Pak Camat menegaskan, satu pun belum ada. "Sehingga ada isu harga tanah sampai sekian miliar itu saya belum tahu persis. Cuma isunya seperti itu," sebut Risman.
Ia menduga, makelar mengincar untung besar dengan berani membeli tanah warga meski statusnya belum sertifikat.
Untuk masalah yang seperti ini, pihak kecamatan hanya bisa mengarahkan warga ke perangkat desa dan kelurahan. Sebab, untuk surat keterangan atas tanah status segel, yang menerbitkan adalah desa dan kelurahan.
"Solusinya adalah satu, mereka harus menunjukkan objek yang mereka cari. Jadi objeknya harus jelas. Tanah yang berada di surat itu mana, nah untuk menjawab itu ya kepala desa dan lurah, karena mereka yang lebih paham," kata Risman.
Wilayah Kecamatan Sepaku memiliki luas 1.172,36 kilometer persegi. Sementara, jumlah pemukiman penduduk yang saat ini dihuni masyarakat hanya sekitar 30 ribu hektare. Mereka rata-rata merupakan eks transmigrasi sejak tahun 1975.
Adapun jumlah penduduknya saat ini mencapai 36.300 orang dengan total keluarga sekitar 11.300 KK. Sebagian dari mereka berspekulasi, letak pasti pusat pemerintahan ibu kota baru, ada sekitar tanah negara, di kawasan Bukit Soeharto.
Taman Hutan Raya Bukit Soeharto masuk di antara dua kabupaten, yakni Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. Salah satu irisan antara tata wilayah tersebut ada di Desa Semoi II, Sepaku, Penajam Paser Utara.
Advertisement
Ramai-Ramai Dongkrak Harga Lewat IMB
Pukul 16.00 WITA, Kamis sore 5 September 2019, kantor desa sudah tutup. Namun, warga yang datang ke sana tak lantas balik kanan. Berjalan kaki, mereka mendatangi rumah perangkat desa yang letaknya tak terlalu jauh dari sana.
Mereka berniat mengurus surat izin mendirikan bangunan alias IMB. Dulunya, warga tak peduli. Tapi belakangan, selembar kertas itu dirasa amat penting.
Ternyata, ada kaitannya dengan jual beli tanah di ibu kota baru. Warga optimistis, dengan lahan bersertifikat, ditambah IMB, harga penjualan tanah akan meroket.
Salah satu warga bernama Yarmi mengatakan, isu harga tanah naik awalnya hanya jadi bahan obrolan warga. Tapi, beberapa orang mulai menunjukkan keseriusan, dengan mengurus legalitas tanah dan bangunan lain. Warga lain yang menyaksikan lalu ikut-ikutan.
"Tujuan mengurus IMB karena ada wacana ibu kota baru," ujar Yarmi. Ia lalu tersenyum lebar.
Perangkat Desa Semoi II, Agus Sulistiyo mengakui, sudah banyak warga yang datang ke kantor desa untuk melegalkan bangunan yang didirikan.
Apalagi, berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) Penajam Paser Utara (PPU) Nomor 16 Tahun 2019, tentang Pemutihan IMB yang diurus per 1 Agustus hingga 31 Desember 2019 tidak dipungut bayaran. Gratis.
Bagi warga, ini aji mumpung. Apalagi, belakangan,. Desa Semoi II sering kedatangan orang dari luar daerah menanyakan soal penjualan tanah. Ada warga yang mengaku lahannya ditawar Rp 500 juta. Lainnya bahkan mengaku diiming-imingi hingga Rp 1 miliar per hektare, untuk tanah bersertifikat lengkap dengan IMB.
"Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, wajah-wajah baru dengan kendaraan-kendaraan yang belum pernah terlihat. Saya tidak katakan itu makelar atau apa, mungkin, hubungannya dengan penawaran tanah. Itu sudah banyak," terang Agus, yang mengaku warga asli Semoi II.
Agus mengatakan, saat ini, harga tanah di wilayah Kabupaten Sepaku masih berkisar antara Rp 100 juta hingga Rp 200 juta per hektare. Maka dari itu, tawaran rupiah para pendatang sangat menggiurkan.
Yang sulit dikontrol adalah, cara penawar tanah atau pun makelar menghadapi warga. Banyak dari mereka langsung datang dengan uang tunai ratusan juta bahkan miliaran di tangan. Tanpa pikir panjang, warga langsung menerima.
"Kami mengimbau, kalau mau jual tanah, pikir-pikir, karena masih banyak kebutuhan untuk anak cucu mereka. Ibaratnya, menjual tanah sama saja menjual mata pencaharian karena masyarakat kami mencari uang dengan berkebun, " kata Agus.
Sementara itu, beberapa warga yang ditemui Liputan6.com di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara, seluruhnya mengaku senang dengan pengumuman pemindahan ibu kota. Mereka tak khawatir kehilangan mata pencaharian atau banjir para pendatang.
Bagi warga, adanya ibu kota di lokasi mereka tinggal, malah dirasa akan membawa banyak ilmu dan wawasan baru. Satu hal yang menjadi harapan, agar kondisinya bisa tetap hidup saling rukun seperti yang sudah dirasakan saat ini.
Selain itu, masyarakat sebenanrya menyadari bahwa perubahan status jadi ibu kota juga akan mempengaruhi iklim mata pencaharian.
Selama ini, masyarakat Kalimantan Timur, khususnya di dua wilayah yang akan menjadi bagian dari ibu kota baru, lebih banyak bertani dan berkebun. Mulai dari kelapa sawit, lada, hingga karet.
Namun menurut, Camat Sepaku, Risman Abdul, warga harus bersiap. "Saya berharap masyarakat kita pintar-pintar membaca situasi peluang yang ada. Jangan sampai masyarakat, mohon maaf, jadi budak di rumahnya sendiri. Jangan sampai masyarakat yang tadinya punya lahan di sini, jadi tukang-tukang parkir. Kan itu yang kita tidak inginkan," kata dia.
Jalan Berliku ke Ibu Kota Baru RI
Presiden Jokowi telah mengumumkan, ibu kota baru pengganti Jakarta berada di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Dana sekitar Rp 466 triliun akan dikucurkan untuk mengubah lokasi sepi penduduk itu jadi pusat pemerintahan RI.
Lokasi ibu kota baru itu jauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Perjalanan udara dan darat harus ditempuh agar bisa sampai ke sana.
Tim Liputan6.com mengawali perjalanan ke Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, dari Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, menuju Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Penerbangan ditempuh selama dua jam mulai pukul 05.55 WIB dan tiba sekitar pukul 09.00 Wita.
Sampai di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan Balikpapan, kami menempuh perjalanan darat menggunakan mobil sewaan yang disupiri warga lokal.
Suasana di Balikpapan sendiri tidak berbeda dengan Jakarta. Sudah ramai dengan pusat perbelanjaan dan restoran cepat saji. Perjalanan kami masih terbilang mulus, sampai dengan mendekati kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto.
Di kawasan KM 38 Jalan Balikpapan-Samarinda, kami berhenti untuk isi bahan bakar dan membeli perbekalan di minimarket. Sampai sini saja, sudah menghabiskan waktu lebih dari 1 jam dengan jarak tempuh sekitar 50 kilometer.
Tidak lama dari situ, kami berbelok ke kiri, memasuki kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Selamat tinggal jalan mulus. Kendaraan berguncang hebat saat melewati jalan aspal yang penuh lubang.
Jalanan berliku, naik turun, campur baur dengan lintasan yang rusak. Belum lagi, lebih banyak kendaraan besar jenis truk yang melintas. Efek goyangan dari truk yang melintas pun bikin pengendara kendaraan yang lebih kecil was-was.
Pilihannya, berhenti untuk memberi jalan atau memacu kecepatan agar menjauh, tapi dengan risiko guncangan hebat. Kami pun harus berpegangan ke handle grip agar kepala tak terbentur interior mobil. Rasa mual pun nyaris tak tertahankan.
Di sepanjang jalan melintasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, terpampang plang bertuliskan imbauan agar pengendara bijaksana memacu kendaraan. Sebab, satwa liar disebut-sebut biasa menyeberang jalan. Salah-salah, bisa memicu kecelakaan.
Kami akhirnya memilih untuk berhenti sejenak mengambil gambar. Tampak juga larangan memberi makan satwa. Dari sini, kami mulai curiga.
Benar saja, mendadak banyak kera yang berkeliaran di kawasan tersebut. Monyet-monyet tersebut terlihat sudah terbiasa mendekat dan berinteraksi dengan pelintas jalan. Kami pun sontak panik, buru-buru naik mobil dan mengambil gambar dari dalam.
Di sekitar Taman Hutan Raya Bukit Soeharto tampak keberadaan tambang batu bara. Dari jauh, terlihat lubang bekas tambang berisi genangan air yang diberi pembatas seadanya.
Truk dan sejumlah alat berat lainnya yang lewat ternyata sebagian lalu-lalang menuju ke dan dari tambang yang ada.
Jalanan rusak ini kami lalui sampai dengan Kantor Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Perjalanan pun memakan satu jam lebih dari kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Total waktu perjalanan yang ditempuh sekitar 2 jam 30 menit.
Secara umum, gambaran pemukiman warga di Kecamatan Sepaku dikelilingi oleh lahan pertanian dan perkebunan. Baik itu kelapa sawit, lada, karet hingga sayuran dan buah lainnya. Biasanya letak kebun berada langsung di belakang rumah.
Selebihnya, masih ada juga tanah yang dibiarkan tidak terurus, penuh semak mirip hutan. Rata-rata penduduk di sana memiliki paling sedikit 2 hektare tanah, jatah transmigran saat mereka dipindahkan dari Jawa ke Kalimantan Timur, sekitar tahun 1975 silam.
Pemukiman yang kami datangi salah satunya Desa Semoi II, Sepaku, Penajam Paser Utara. Untuk melihat kondisi geografis di sana, saya meminta izin kepada pemilik lahan setempat untuk naik ke perbukitan. Hasilnya, pemandangannya pun terbilang bagus dan asri. Kondisi kebun tampil dengan berbagai tanaman yang tertata rapih.
Kuswara 57, si pemilik lahan mengatakan, posisi tanahnya ini bersebelahan langsung dengan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto yang digadang-gadang akan dijadikan pusat pemerintahan baru. Ini membuatnya sangat senang.
"Perasaan saya itu punya hidung seperti Gunung Galunggung sana lah besarnya, saking senangnya," ujar Kuswara.
Tantangan untuk Para Pendatang
Kuswaran yakin, wilayah tempat tinggalnya bakal ramai. Namun, kata dia, banyak hal yang harus dibereskan sebelum ibu kota baru terwujud.
Salah satunya, malaria. Pria berusia 57 tahun itu mengatakan bahwa malaria sempat menjadi musuh utama warga Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. "Kami sudah terbiasa. Tapi nanti jangan sampai lengah," kata dia.
Masuk sore hari, warga Desa Semoi II biasa menghabiskan waktu di rumah, sementara sebagian orang tua mengajak anak-anaknya mandi di sungai. Di Kecamatan Sepaku, masyarakat biasa mengandalkan air bersih yang didapat lewat sungai, juga dari bor galian tanah.
Hanya saja, air tanah nyatanya berwarna kuning. Meski jauh dari bening, warga tetap menggunakannya, bahkan untuk konsumsi.
Soal listrik dan air, Camat Sepaku Risman Abdul mengatakan, tidak ada masalah. Listrik di wilayah tersebut selalu dalam kondisi stabil dan jarang mati mendadak. Sementara terkait air, rencananya akan dibangun bendungan skala nasional penyedia air bersih di Kecamatan Sepaku. Hanya saja, dia belum merinci proyek tersebut.
"Perencanaannya sudah, ada lokasinya sudah disiapkan untuk tapak bangunannya kurang lebih 20 hektare, areal genangannya itu 220 hektare. Di sini. Jadi saya pikir, itu tadinya rencana untuk mengalirkan ke Balikpapan. Tapi dengan ditetapkannya ini (ibu kota), menjadi salah satu yang menunjang kebutuhan ibu kota ini," tutur Risman di Kantor Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Tim Liputan6.com menghabiskan waktu hingga pukul 17.30 Wita di wilayah Kecamatan Sepaku. Bercengkerama dengan warga, bahkan sampai ditraktir pecel ayam -- yang membelinya pun harus menempuh perjalanan cukup jauh. Saat duduk-duduk di saung warga, mendadak bungkusan makanan tiba.
Kami pun pamit ke Balikpapan untuk bermalam. Kembali pula melintasi jalan rusak lantaran hanya itu satu-satunya akses jalan menuju Kecamatan Sepaku dan sebaliknya. Bedanya, kali ini lebih mengkhawatirkan.
Sepanjang jalan di kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto itu, tidak ada penerangan. Kami hanya mengandalkan cahaya dari lampu mobil dan Bulan. Jarang pula berpapasan dengan kendaraan lain. Kami hanya bisa berdoa dengan perasaan was-was.
Advertisement