Sukses

Ini Kekhawatiran Abraham Samad Bila Revisi UU KPK Dibahas DPR-Pemerintah

Menurutnya, UU KPK saat ini masih sangat tepat untuk digunakan sebagai perangkat undang-undang untuk memberantas korupsi secara masif.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menyebut revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diusulkan oleh DPR RI mengancam agenda pemberantasan korupsi. Menurutnya, KPK hendak dimasukkan sebagai lembaga penegak hukum, berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan di bawah Presiden.

Poin yang dikhawatirkan Ketua KPK periode 2011-2015 ini adalah pasal mengenai penyelidik dan penyidik. Dalam draf revisi UU tersebut menyebutkan bahwa penyidik maupun penyelidik KPK harus berasal dari Kepolisian, Kejaksaan ataupun Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat oleh pemerintah.

Dengan demikian, apa yang dilakukan KPK selama ini yaitu merekrut, mengangkat dan mensahkan penyelidik dan penyidik internalnya, termasuk yang telah memeriksa kasus-kasus korupsi dan selesai memeriksa kasus itu, dianggap tidak sah.

"Konsekuensinya kalau revisi UU KPK disetujui, semua koruptor yang tengah menjalani hukuman harus dikeluarkan dari tahanan pada saat itu juga. Karena (penyidiknya) dianggap tidak sah," kata Samad di Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/9/2019).

Namun, ia kembali menegaskan bahwa dirinya bukan menolak dilakukannya revisi UU KPK. Akan tetapi yang dia tolak adalah substansi dari revisi serta perubahan yang ada di dalam rancangan revisi UU KPK.

"Intinya menolak karena melihat draf dari isi revisi mengandung pelemahan terhadap agenda-agenda terhadap pemberantasan korupsi, jadi bukan melemahkan KPK secara kelembagaan," terang Samad.

Menurutnya, UU KPK saat ini masih sangat tepat untuk digunakan sebagai perangkat undang-undang untuk memberantas korupsi secara masif.

"Kalau UU KPK sudah tidak relevan dengan konteks kekinian dan tidak bisa lagi diandalkan, maka tidak ada alasan untuk tidak diubah," ujarnya.

Samad juga mengkhawatirkan soal adanya Dewan Pengawas KPK. Dalam draft revisi UU KPK disebut harus mendapat izin dari Dewan Pengawas apabila melakukan penyadapan dan penggeledahan.

"Di KPK ada zero tolerance. KPK punya pengawasan internal yang berkaitan dengan kinerja, penyadapan dan sebagainya," kata Samad.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Majelis Kode Etik

Ia menambahkan, pengawas internal memiliki kewenangan untuk memeriksa pimpinan KPK bermasalah. Seperti yang pernah dia rasakan kala menjabat Ketua KPK kala itu, karena adanya dugaan pelanggaran etik.

Bahkan, pemeriksaan terhadap dirinya telah mencapai pembentukan majelis kode etik, yang beranggotakan dari orang-orang independen.

"Jadi pembentukan dewan pengawas untuk internal sangat tidak relevan. Karena KPK sudah punya mekanisme sendiri, yang memungkinkan pimpinan KPK diperiksa. Jadi kalau ada yang bilang KPK terlalu kuat dan tidak bisa disentuh adalah salah besar," tegasnya.